Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus (tengah) memberikan keterangan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (14/12/2020). Revisi UU ITE dinilai perlu langkah konkret  | Republika/Putra M. Akbar

Kabar Utama

Revisi UU ITE Perlu Langkah Konkret 

Terjadi lonjakan kasus UU ITE selepas Presiden Jokowi menjabat.

JAKARTA — Dua menteri di kabinet mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membuka kemungkinan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Terkait dengan hal itu, sejumlah pihak meminta ada langkah konkret untuk menyambut inisiatif tersebut. 

"Jika dalam perjalanannya tetap tidak dapat memberikan rasa keadilan maka kemungkinan revisi UU ITE juga terbuka. Kami mendukung sesuai arahan Bapak Presiden," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate melalui pesan singkatnya kepada Republika, Selasa (16/2). 

Namun, sebelum wacana revisi UU ITE benar-bener direalisasikan, pemerintah akan melakukan berbagai langkah antisipasi terdekat. Sebab, revisi UU dinilai membutuhkan proses legislasi yang cukup panjang dengan DPR. 

Kemenkominfo berharap Mahkamah Agung, kepolisian, dan kejaksaan membuat pedoman resmi penafsiran pasal UU ITE. "Kominfo mendukung Mahkamah Agung, kepolisian, kejaksaan membuat pedoman resmi penafsiran terhadap pasal-pasal UU ITE yang dianggap kontroversial agar lebih jelas dan dapat menghindari penafsiran yang beragam," ungkap Johnny.

Ia tak menyebutkan rencana penyerahan draf revisi UU ITE dari pemerintah ke DPR. 

Johnny menyatakan, pasal-pasal yang kerap dipersoalkan dalam UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2, telah beberapa kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Dua pasal itu yang kerap kali dianggap sebagai ‘pasal karet’ telah beberapa kali diajukan uji materiel ke Mahkamah Konstitusi (MK) serta selalu dinyatakan konstitusional," ujar Sekjen Partai Nasdem tersebut. 

Pasal 27 ayat 3 mengatur tentang defamasi alias pencemaran nama baik. Pasal itu dinilai berpotensi digunakan untuk merepresi ekspresi legal warga, aktivis, dan jurnalis. Pasal itu juga rentan digunakan untuk merepresi warga yang mengkritik polisi, pemerintahan, dan presiden. 

Sedangkan, pasal 28 ayat 2 mengatur tentang ujaran kebencian. Pasal itu dinilai dapat disalahgunakan menjadi alat represi terhadap pemeluk agama minoritas, juga warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah. 

Terbukanya revisi UU ITE pertama kali disampaikan Presiden Jokowi dalam rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Senin (15/2). "Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ini karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini, revisi. Terutama, menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Presiden.

Jokowi juga meminta kepolisian membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE. 

Setelah pernyataan Jokowi itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, pemerintah berencana melakukan inisiatif untuk merevisi UU ITE. "Pemerintah akan mendiskusikan inisiatif untuk merevisi UU ITE," ujar Mahfud MD di akun Twitter pribadinya, Selasa (16/2). 

Mahfud mengatakan, pada 2007-2008, banyak pihak yang mengusulkan dengan penuh semangat untuk membentuk UU ITE. Namun, jika saat ini UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, pemerintah terbuka untuk merevisinya.

"Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknyalah, ini kan demokrasi," kata dia. 

Terkait dengan hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan sejumlah LSM pegiat hak sipil terkemuka meminta wacana revisi disertai langkah konkret. "Pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retoris ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret," tulis keterangan resmi Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima Republika, Selasa (16/2). 

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS, Sukamta, juga menganggap perlu ada langkah konkret untuk merevisi UU ITE. Terlebih, revisi bakal memakan waktu lama jika menyerahkannya ke DPR. "Kemungkinan UU ITE yang sudah direvisi baru bisa diterapkan pada tahun 2023 atau 2024 di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi. Jadi, jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya move politik kosong belaka," ujarnya. 

Sukamta yang juga bertindak sebagai anggota Panja Revisi UU ITE pada 2016 menjelaskan, dalam dinamika pembahasan, mayoritas fraksi pendukung koalisi pemerintah menginginkan pasal-pasal karet yang belakangan dipermasalahkan tetap dipertahankan, tetapi dengan pengurangan ancaman maksimal untuk pidana penjara. Dengan begitu, tidak akan ada lagi kriminalisasi dengan penahanan sebelum ada putusan hukum tetap dari pengadilan. 

"Pada implementasinya, ternyata masih banyak proses hukum kasus pencemaran nama baik di lapangan yang tidak sesuai dengan spirit revisi tersebut. Malah, terakhir kriminalisasi melebar ke pasal-pasal lain, seperti pasal soal hoaks dan pasal keonaran yang juga dianggap pasal karet," tuturnya. 

photo
Data Kriminalisasi atas Hak untuk Berekspresi - (id.safenet.or.id)

Sementara itu, Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) mendata ada 287 kasus terkait kebebasan berekspresi daring dalam UU ITE. Lonjakan kasus tercatat selepas Presiden Jokowi menjabat. Perinciannya, tiga kasus pada 2008, lalu 2009 satu kasus, 2010 dua kasus, 2011 tiga kasus, dan 2017 tujuh kasus. 

Pembatasan ekspresi dengan UU ITE melonjak pada tahun 2013 menjadi 20 kasus dan 36 kasus pada tahun berikutnya. Kasus itu menurun pada 2015 menjadi 30 kasus. Lonjakan tertinggi terjadi pada 2016 mencapai 83 kasus.

Pada tahun itu bersamaan dengan uji materiel UU ITE ke Mahkamah Konstitusi oleh politisi Golkar Setya Novanto dan politisi Gerindra Habiburahman. Pada 2017 hingga 2019, pembatasan ekspresi dengan UU ITE mengalami penurunan kasus menjadi 53 kasus (2017), 25 kasus (2018), dan 24 kasus (2019). 

"Data tersebut berdasarkan monitoring media dan pengaduan ke SAFEnet," kata Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Ika Ningtyas kepada Republika, Selasa (16/2). SAFEnet menyatakan, hak untuk berekspresi meliputi jaminan atas keberagaman konten, serta bebas menyatakan pendapat dan penggunaan internet dalam menggerakkan masyarakat sipil.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat