Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Mencegah Ekstremisme

Perlu pengawasan agar ketiga regulasi itu tidak menjadi alat represi dan persekusi kelompok tertentu.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Presiden Jokowi sekali lagi menunjukkan keseriusan dan keteguhan, menghadapi ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Ini terlihat dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021. 

Perpres yang diterbitkan pada 6 Januari itu bertajuk panjang: ‘Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ektremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024’. Perpres yang disingkat RAN PE berjumlah 9 halaman dengan Lampiran 113 halaman.

Penerbitan Perpres No 7/2021 melengkapi regulasi negara untuk menghadapi ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Kini ada tiga regulasi yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Jokowi; dua regulasi (UU) yang diterbitkan dengan persetujuan DPR, sedangkan yang satu lagi adalah yang dikeluarkan Presiden Jokowi sendiri sebagai Perpres (executive order).

Pertama, UU Anti-Terorisme Nomor 5 Tahun 2018 yang merupakan revisi UU Anti-Terorisme Nomor 15 Tahun 2003; kedua UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas yang semula Perppu Nomor 2/2017; ketiga Perpres Nomor 7/2021. 

 
Dengan tiga regulasi itu nampak tidak ada lagi celah bagi ekstremisme, radikalisme.
 
 

Dengan tiga regulasi itu nampak tidak ada lagi celah bagi ekstremisme, radikalisme. Tapi ketiganya juga kian membuka terjadinya ekses tindakan aparat negara terhadap terduga ekstremisme. radikalisme dan terorisme.

Ketiga regulasi itu tak bisa dipisahkan satu sama lain. UU Anti-Terorisme Nomor 5/2018 memberi landasan hukum bagi aparat negara bertindak menghadapi terorisme. UU Anti Terorisme lebih memperjelas hal substantif terkait terorisme dan tindakan lebih komprehensif menghadapinya.

UU ini menyatakan, ‘terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang srategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan’.

UU Anti Terorisme juga menetapkan sanksi berat bagi warga yang ikut pelatihan militer di dalam atau di luar negeri untuk melakukan aksi terorisme; sanksi hukum karena merekrut warga lain untuk ikut; sanksi penyebaran propaganda literatur terrorisme; pencabutan paspor; ketentuan penyadapan, penangkapan, penahanan tersangka teroris; perlindungan hukum bagi aparat keamanan dan penegak hukum; dan pelibatan TNI menghadapi terorisme dan pencegahan.

UU Ormas Nomor 16 Tahun 2017 ketika masih Perppu Nomor 2/2017 populer disebut ‘Perppu anti-ormas radikal’. UU ini juga meletakkan dasar bagi pemerintah untuk melarang dan membubarkan ormas tertentu yang dianggap pemerintah sebagai radikal yang mengancam negara.

 
Untuk itu perlu strategi komprehensif upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
 
 

Dengan UU Nomor 16/2017, lebih mudah bagi pemerintah membubarkan organisasi radikal (HTI ketika masih Perppu Nomor 2/2017) atau menyatakan de jure sudah bubar sendiri (FPI karena tidak memiliki SKT dan legal standing). UU ini juga memberi kewenangan pada pemerintah tidak menerbitkan SKT, sehingga organisasi tertentu kehilangan legal standing.

Pemerintah dapat mencabut atau tidak mengeluarkan SKT jika ormas tertentu menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Termasuk di antaranya: ateisme, komunisme/Marxisme/Leninisme atau paham lain yang bertujuan mengganti Pancasila dan UUD 1945. ‘Paham lain’ tidak eksplisit menyebut ‘paham radikal Islam’ yang dalam prakteknya dapat mengenai ormas Islam tertentu.

Sedangkan Perpres Nomor 7/2021 melengkapi upaya penanganan ekstrimisme yang mengarah pada terorisme. Dalam pertimbangannya, penerbitan Perpres didasarkan persepsi tentang meningkatnya ancaman ekstremisme ‘berbasis kekerasan’ yang mengarah pada terorisme. 

 
Perlu langkah mencegah terorisme dari hulunya, bukan hanya dari hilirnya seperti diisyaratkan ketiga regulasi itu.
 
 

Untuk itu perlu strategi komprehensif upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Dengan begitu dapat dilakukan langkah sistematis, terencana dan terpadu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Dalam kaitan itu Perpres ini melibatkan banyak kalangan: sejak dari kampus, penceramah agama sampai pemengaruh (influencer). Perpres ini juga mendorong peningkatan kapasitas komunitas, seperti komunitas perempuan, pemuda, ormas, pelaku usaha, parpol, lembaga pendidikan dan rumah ibadah untuk bisa melakukan upaya mencegah ekstremisme .

Apakah ketiga regulasi itu bisa ampuh mencegah ekstremisme , radikalisme dan terorisme? Boleh jadi belum tentu; karena walaupun UU Anti-Terorisme telah diundangkan sejak 2018, sel-sel terorisme masih gentayangan.

Perlu langkah mencegah terorisme dari hulunya, bukan hanya dari hilirnya seperti diisyaratkan ketiga regulasi itu. Juga perlu pengawasan agar ketiga regulasi itu tidak menjadi alat represi dan persekusi ormas atau kelompok tertentu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat