Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) bersiap menjalani sidang etik di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9). | Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Nasional

Dewas KPK Sanksi Ringan Firli

Sanksi Dewas KPK dinilai cacat karena Firli sudah dua kali melanggar kode etik KPK. 

JAKARTA -- Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memutuskan Ketua KPK Firli Bahuri bersalah telah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku pimpinan KPK. Namun, Firli hanya diberikan sanksi ringan, yaitu berupa teguran tertulis II agar tidak mengulangi perbuatannya.

"Agar terperiksa sebagai ketua KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku KPK," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat membacakan putusan, Kamis (24/5). Menurut dewas, hal yang meringankan Firli adalah tidak pernah dihukum karena kode etik. 

Firli Bahuri diadukan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman terkait penggunaan helikopter mewah saat perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatra Selatan pada 20 Juni 2020. Firli diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku integritas pimpinan KPK.

Dewas menilai, Firli tidak mengindahkan kewajiban dan tidak menyadari sepenuhnya seluruh sikap serta tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi. Tumpak mengatakan, Firli yang seharusnya menunjukkan keteladanan, malah berlaku sebaliknya.

photo
Majelis Etik KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (tengah), Albertina Ho (kiri) dan Artidjo Alkostar bersiap memimpin sidang etik dengan terperiksa Ketua KPK Firli Bahuri dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9). - (Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO)

Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan, sanksi diberikan dengan melihat dampak dan akibat berbuatan Firli kepada KPK. Dewas menilai, perbuatan Firli telah menimbulkan tanggapan negatif dari berbagai kalangan masyarakat.

Hal tersebut berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap Firli dalam kedudukannya sebagai Ketua KPK. "Dan setidak-tidaknya berpengaruh terhadap pimpinan KPK secara keseluruhan," kata Albertina.

Menurut dia, kalau perbuatan tersebut berdampak ke institusi atau lembaga, maka akan diberikan hukuman sedang. "Kemudian kalau dampaknya itu kepada pemerintah atau negara, itu tentu saja akan dijatuhkan (hukuman) berat," katanya.

Dia meminta Firli lebih berhati-hati karena hukuman dengan tingkatan serupa tidak bisa diberikan kedua kali. "Tapi harus yang lebih berat lagi, harus di atasnya."

Firli mengaku menerima keputusan yang diambil dewas tersebut. Dia juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. "Kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman dan saya, tentu putusan saya terima, dan saya pastikan saya tidak akan pernah mengulangi itu, terima kasih," kata Firli singkat.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyayangkan dewas tidak mendalami peristiwa tersebut karena ada dugaan konflik kepentingan. Menurut dia, ada dugaan gratifikasi melalui potongan harga dari yang memberi sewa lantaran tengah berurusan dengan KPK. "Potensi ditindaklanjuti masih ada dan kami cukup menghormati apa pun keputusan Dewas KPK," kata dia.

Ia menilai pelanggaran kode etik oleh Firli menjadi tamparan bagi lembaga antirasuah tersebut. Sebagai pelapor, ia berharap KPK bisa berbenah. "Saya berharap putusan ini memacu KPK untuk lebih serius lagi bekerja dalam bentuk pemberantasan dan enggak perlu tabu akan OTT (operasi tangkap tangan)," kata Boyamin, kemarin.

Putusan cacat

Peneliti dari Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai keputusan Dewas KPK cacat karena melihat masalah itu secara sederhana. Dewas tidak menimbang pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada 2018.

Saat itu, ICW melaporkan Firli karena diduga melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Firli saat itu dinyatakan terbukti melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi pelanggaran berat. 

"Sementara di putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," kata dia lewat penyataan resmi, kemarin. 

ICW juga menilai, Dewas KPK semestinya dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut. Dalam putusannya, dewas tidak menyebutkan bagaimana Firli membayar jasa helikopter itu.

ICW juga menilai pelanggaran kode etik harusnya sudah lebih dari cukup untuk Firli mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, pimpinan KPK harus memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. 

Ketua Komisi III DPR Herman Herry hanya meminta pelanggaran kode etik oleh Firli menjadi pelajaran bagi lembaga ad hoc tersebut. Ia mengingatkan, setiap kerja institusi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara profesional dan dalam koridor kode etik.

“Keputusan ini harus menjadi pelajaran bagi pimpinan dan seluruh pegawai KPK untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan setiap kerja-kerja di KPK,” kata Herman. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat