Seorang perempuan Palestina memegang foto anaknya yang dibunuh pasukan Israel dalam unjuk rasa menentang normalisai hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain di Nablus, Selasa (15/9). | EPA-EFE/ALAA BADARNEH

Kabar Utama

Palestina Ancam Keluar dari Liga Arab

Palestina menilai Liga Arab telah bungkam atas pelanggaran mencolok terhadap resolusinya sendiri.

RAMALLAH -- Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mendesak negara-negara Arab memboikot acara seremonial penandatanganan perjanjian normalisasi Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Acara tersebut diagendakan dilakukan di Gedung Putih, Amerika Serikat, Selasa (15/9) waktu setempat.

Shtayyeh mengatakan, penandatanganan itu akan tercatat sebagai hari kelam dalam sejarah bangsa Arab. "Hari ini akan ditambahkan ke kalender penderitaan Palestina dan kalender kekalahan Arab," katanya pada Senin (14/9), dilaporkan laman kantor berita Palestina, WAFA.

Dia mengatakan, saat ini kabinetnya tengah mempertimbangkan untuk merekomendasikan agar Presiden Palestina Mahmoud Abbas merevisi hubungan dengan Liga Arab. Menurut dia, Liga Arab telah bungkam atas pelanggaran mencolok terhadap resolusinya sendiri.

photo
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh. - (AP/Majdi Mohammed)

Pendirian Liga Arab diinisiasi enam negara, yakni Mesir, Irak, Yordania, Lebanon, Saudi, dan Suriah pada 1945. Saat ini, organisasi itu beranggotakan 22 negara di Timur Tengah dan Afrika, termasuk Palestina.

Shtayyeh memandang Liga Arab saat ini sebagai simbol ketidakmampuan Arab. "Normalisasi Arab dengan Israel ini berbahaya bagi martabat Arab. Besok, Inisiatif Perdamaian Arab akan dibunuh. Solidaritas Arab akan mati," ujarnya menambahkan.

Diadopsi pada 2002, Inisiatif Perdamaian Arab mensyaratkan normalisasi negara-negara Arab dengan Israel dengan ketentuan “setelah” pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Palestina menuduh UEA dan Bahrain bertindak melanggar ketentuan Inisiatif Perdamaian Arab tersebut karena nyatanya hingga saat ini Palestina belum merdeka dan Yerusalem justru diklaim sepenuhnya milik Israel.

Palestina menuduh kedua negara Teluk itu mengkhianati isu Palestina, Masjid al-Aqsha, dan Yerusalem serta menikam rakyat Palestina dari belakang. Palestina akan memanggil duta besarnya di Abu Dhabi dan Manama untuk memprotes kesepakatan damai dengan Israel.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Luar Negeri UEA Syekh Abdullah bin Zayed, dan Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid al-Zayani diagendakan menandatangani perjanjian damai di Gedung Putih pada Selasa waktu setempat. Presiden AS Donald Trump akan menyaksikan proses penandatanganan bersejarah tersebut.

UEA dan Israel menyepakati perjanjian normalisasi hubungan diplomatik pada 13 Agustus lalu. Hal itu merupakan kesepakatan perdamaian pertama yang dicapai Israel dengan negara Arab dalam 26 tahun terakhir. Tel Aviv terakhir kali meneken perjanjian semacam itu pada 1994 dengan Yordania setelah sebelumnya menormalisasi hubungan dengan Mesir pada 1979.

Pada Jumat (11/9) pekan lalu, Israel mencapai kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik dengan Bahrain. Menteri Dalam Negeri Bahrain, Rashid bin Abdullah al-Khalifa, mengatakan, normalisasi dengan Israel untuk melindungi kepentingan negaranya. "Kesepakatan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel datang dalam kerangka melindungi kepentingan yang lebih tinggi dari Kerajaan Bahrain, yang berarti melindungi entitas negara," dilansir situs Kementerian Dalam Negeri Bahrain mengutip al-Khalifa.

Al-Khalifa mengatakan, Bahrain terus mendukung perjuangan Palestina untuk menjadi negara yang merdeka. Normalisasi Bahrain-Israel, katanya, tidak bertentangan dengan Insiatif Perdamaian Arab dan keputusan legitimasi internasional.

Sementara, Benjamin Netanyahu mengatakan, kesepakatan damai dengan UEA dan Bahrain akan menguntungkan perekonomian Israel. "Kesepakatan itu akan memompa jutaan dolar AS ke dan untuk ekonomi Israel," ujarnya dilansir Times of Israel, kemarin.

Sebelum berangkat ke Washington, Netanyahu menyatakan kepada warga Israel bahwa tindak lakunya ini adalah perjalanan yang bersejarah.

Persatuan

Kemarahan terhadap normalisasi Israel dengan UEA dan Bahrain ikut mendorong faksi-faksi di Palestina memulihkan persatuan. Mereka menggalang perbaikan hubungan antara Jalur Gaza yang dikontrol Hamas dan Tepi Barat yang berada di bawah kendali Fatah. Negosiasi itu dinilai jauh lebih menjanjikan daripada upaya sebelumnya. 

photo
Perwakilan faksi-faksi di Palestina mengenakan masker saat menghadiri unjuk rasa menentang normalisai hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain di Gaza, Selasa (15/9).  - (AP/Khalil Hamra)

Pada Sabtu lalu, Hamas dan Fatah menyetujui gerakan kepemimpinan bersatu yang terdiri atas semua faksi. Kepemimpinan itu akan menjadi ujung tombak perlawanan rakyat yang komprehensif terhadap pendudukan Israel.

Aljazirah melansir, Hamas dan Fatah juga menyerukan hari penolakan ketika normalisasi diteken. Warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat merencanakan demonstrasi Hari Kemarahan di Gaza dan Tepi Barat. Protes lainnya diperkirakan terjadi di luar kedutaan besar Israel, Amerika Serikat, UEA, dan Bahrain di seluruh dunia.

Pembentukan kelompok kepemimpinan bersama adalah kemajuan dalam pembicaraan persatuan intra-Palestina. Capaian ini setelah pertemuan 3 September lalu yang telah lama ditunggu-tunggu antara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, pimpinan Hamas Ismail Haniyah, pimpinan Jihad Islam Ziyad al-Nakhala, dan para pemimpin dari berbagai entitas di Palestina. Pertemuan diadakan di Ramallah, Tepi Barat dan Beirut, Lebanon.

Anggota Biro Politik Hamas Husam Badran mengatakan, faktor-faktor yang mendorong rakyat Palestina bersatu adalah proposal “Kesepakatan Abad Ini” yang diajukan secara sepihak oleh Presiden AS Donald Trump, rencana aneksasi Israel atas Tepi Barat, dan normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel.

Badran menyebut pertemuan kepemimpinan faksi-faksi Palestina sebagai langkah kemajuan besar. "Desakan sejumlah negara Arab untuk menormalisasi hubungan mereka dengan penjajah telah mendorong pembentukan kepemimpinan yang bersatu untuk perlawanan rakyat ke puncak agenda aksi Palestina," kata Badran dikutip laman Aljazirah, Selasa.

photo
Seorang perempuan Palestina memegang foto warga Palestina yang ditahan Israel Israel dalam unjuk rasa menentang normalisai hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, di Nablus, Selasa (15/9). - (EPA-EFE/ALAA BADARNEH)

Tiga komite telah dibentuk pada pertemuan tersebut. Komite pertama berfokus pada pembentukan kepemimpinan lapangan terpadu untuk mengaktifkan perjuangan rakyat melawan pendudukan Israel. Komite kedua bertanggung jawab mencapai visi yang disepakati untuk mengakhiri pembagian antara Gaza dan Tepi Barat. Dan, komite ketiga bertugas menghidupkan kembali Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Panitia diberi batas waktu lima pekan untuk menyampaikan rekomendasi kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Abbas telah berjanji akan menyetujui rekomendasi apa pun dari komite-komite tersebut. 

Hamas dan Fatah telah terpecah sejak 2007 ketika Hamas menguasai Gaza dari pasukan keamanan Fatah menyusul ketegangan berbulan-bulan. Pada 2006, Hamas memenangkan pemilihan umum yang diadakan di seluruh wilayah Palestina. Namun, kemenangan Hamas dalam pesta demokrasi langsung ini tak diakui negara-negara Barat yang kemudian berujung perpecahan faksi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjembatani jurang pemisah keduanya, tetapi belum ada yang membuahkan hasil.

Hubungan keduanya mulai membaik secara signifikan akhir-akhir ini. Dalam beberapa bulan terakhir, dua gerakan utama Palestina itu, didorong oleh rencana aneksasi Israel, terlibat dalam pembicaraan positif yang berpusat pada penolakan terpadu atas rencana Israel-Amerika. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat