Penyidik Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) Bareskrim Polri tiba di gedung Bundar, Kejakasaan Agung, Jakarta, Rabu (2/9). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Nasional

Berkas Dua Jenderal Polisi Kasus Djoko Tjandra Dilimpahkan

Kejakgung klaim tewasnya saksi kunci kasus Djoko Tjandra tak mengganggu penyidikan Pinangki. 

JAKARTA -- Berkas perkara empat tersangka kasus penghapusan red notice Djoko Sugiarto Tjandra dinyatakan selesai dan dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU). Keempat tersangka yang dilimpahkan adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo (PU), Tommy Sumardi (TS), Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte (NB), dan Djoko Tjandra (JST).

Dalam kasus itu, Djoko dan Tommy diduga menyuap kedua jenderal polisi itu untuk menghapus status buron di interpol. "Terdapat perkembangan penyidikan tindak pidana red notice tersangka PU, TS, JST, dan NB. Penyidik tipikor kemarin (Rabu, 2/9), pukul 13.00 WIB, telah melimpahkan atau melakukan tahap satu penyerahan berkas perkara atas nama tersangka PU, TS, JST, dan NB ke JPU," kata Kepala Bagian Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (3/9).

Berkas perkara tersebut diterima oleh Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung (Kejakgung). "Untuk selanjutnya berkas perkara tersebut akan dipelajari," kata dia. Berkas itu akan dinyatakan P-21 atau lengkap setelah dianalisis tim jaksa. Namun, berkas akan dikembalikan ke penyidik Polri kalau masih ada kekurangan.

Pemberkasan perkara surat jalan palsu dan dokumen lain juga masih dalam proses pelimpahan. Kasus ini menersangkakan tiga orang, yaitu Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan pengacara Anita Kolopaking.

"Untuk berkas surat jalan palsu Djoko Tjandra, (Kamis) siang ini sedang dijilid, tinggal dibuatkan surat pengantar untuk dilimpahkan ke JPU," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, kemarin. 

Sementara itu, kasus suap dan gratifikasi pembebasan Djoko Tjandra dari jerat hukum masih dalam proses penyidikan di Kejakgung. Kasus ini menersangkakan Djoko Tjandra, jaksa Pinangki Sirna Malasari, dan politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Andi Irfan Jaya.

Nama yang terakhir baru ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (2/9). Kemarin, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad M Ali mengaku telah mencabut keanggotan Andi Irfan dari partainya. 

"Itu berlaku secara standar lah di partai, bahwa siapa pun kader partai yang terlibat tindak pidana yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka maka KTA (kartu tanda anggota)-nya dicabut sebagai anggota," kata Ahmad Ali saat dihubungi Republika, Kamis (3/9).

Penetapan tersangka Andi itu setelah penyidik memeriksa Pinangki. Pada Rabu itu, penyidik juga menyatakan berkas perkara Pinangki telah rampung. Andi dan Pinangki diduga menawarkan proposal fatwa MA untuk membebaskan Djoko dari vonis penjara pada November 2019 dan Januari 2020.

Meski upaya penerbitan fatwa tersebut gagal, Djoko sudah memberikan uangnya. Hari menerangkan, uang 500 dolar AS itu Djoko berikan ke Andi. Uang itu kemdian diberikan ke Pinangki.

Saksi kunci tewas

Dalam kasus Pinangki, Kejakgung juga menemukan kelompok itu tak sebatas Pinangki dan Andi, tetapi tersistemastis dengan melibatkan banyak pihak. Kelompok itu diduga dibawahkan ketua kelompok bernama Heriyadi, yaitu ipar Djoko Tjandra. Sayangnya, Heriyadi dinyatakan telah meninggal.

“Ini saya baru selidiki itu, karena ada indikasi yang bersangkutan meninggal orangnya. Saya mau pastikan benar meninggal apa enggak,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono, kemarin. “(Dia) ketua tim katanya." 

Ali menambahkan, ketua tim tersebut bukan cuma penghubung, melainkan juga orang yang berperan mengatur strategi membebaskan Djoko dari status buron dan terpidana atas putusan MA 2009 lalu.

Pengacara Djoko, Soesilo Aribowo, memastikan, sosok kunci tersebut tidak lain adalah Heriyadi. Kata Soesilo, ipar Djoko itu meninggal pada Februari 2020. “Iya, itu terkait dengan ipar Pak Joker (Djoko Tjandra—Red). Heriyadi namanya,” ungkap Soesilo lewat pesan singkat.

Ia memastikan, Heriyadi adalah WNI yang meninggal di Indonesia. “Kena Covid-19." 

Status kewarganegaraan Heriyadi dan tempat ia meninggal berbeda dengan keterangan dari Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Hari Setiyono yang menyebut Heriyadi bukan WNI dan sudah tewas di Malaysia. “Infonya bukan WNI. Kalau tidak salah, meninggalnya di Malaysia,” ujar Hari, kemarin. 

Direktur Penyidikan Jampidsus Febrie Adriansyah mengatakan, meninggalnya Heriyadi tak mengganggu proses penyidikan. Penyidik, kata dia, masih punya alat bukti, pun saksi lain yang dapat menguatkan sangkaan pidana terhadap para penerima uang haram dari terpidana korupsi Bank Bali 1999 tersebut.

 “Enggak mengganggu lah. Ada alat bukti lain dan kita sedang mencari saksi-saksi lain juga,” kata Febrie. Febrie menerangkan, yang meninggal tersebut memang sosok penting karena sebagai penghubung aktif aliran uang Djoko ke sejumlah tersangka saat ini. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat