Warga berolahraga di Kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Ahad (30/8). Pemerintah melalui Kementerian Perekonomian dan Kementerian Kesehatan membagikan 40 ribu masker secara gratis kepada pengunjung yang sedang berolahraga di kawasan tersebut dalam | Republika/Thoudy Badai

Tajuk

Enam Bulan Lawan Covid-19

Enam bulan kita berperang melawan Covid-19 ini, kita belum menang.

 

Sudah enam bulan kita hidup bersama Covid-19. Sudah enam bulan pula kehidupan kita berubah total. Selama 180 hari ini kita beradaptasi dalam kebiasaan baru, utamanya menjaga kebersihan, mengenakan masker, mencuci tangan, adab bersin dan batuk, menjaga jarak, dan lainnya.

Namun, kita melihat fakta, Covid-19 belumlah pergi. Malah semakin parah akhir-akhir ini. Pandemi meluas sekaligus terpusat. Orang-orang yang terkena Covid-19 makin banyak yang tanpa gejala. Seolah sehat padahal menyimpan virus yang dapat menularkan ke orang terdekatnya secepat kilat.

Statistik kasus harian memprihatinkan. Indikator utama pertambahan kasus harian dan tingkat kasus positif dari yang diuji pemerintah tetap tinggi. Kasus positif di Indonesia sekarang relatif stabil di 2.700-3.000 kasus per hari.

Sepertiga dari kasus itu terjadi di Jakarta, yang kondisinya terus memburuk. Menjadikan Ibu Kota sebagai zona hitam Covid-19. Kasus positif Covid-19 harian di Jakarta tidak menunjukkan tren penurunan! Kini kasus positif di Jakarta stabil di 900-1.000 kasus per hari!

Baik pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta bisa saja berdalih dan berkelit bahwa angka pasien sembuh semakin tinggi. Apalagi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menilai situasi pandemi Covid-19 di daerahnya membaik, dengan fakta kasus harian memburuk.

Ada fakta, jumlah pasien sembuh semakin banyak memang harus diapresiasi. Namun, jangan sampai fakta ini menutupi fakta bahwa pemerintah tidak mampu mencegah penularan Covid-19 semakin meluas. Inilah yang terjadi di lapangan.

 
Padahal, pemerintah sendiri yang menyatakan lonjakan kasus positif harian akan berdampak luas, utamanya pada fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. 
 
 

Tolok ukur keberhasilan melawan pandemi Covid-19 sederhana. Yang pertama jelas adalah angka kasus harian. Apakah menurun atau meningkat. Kemudian angka pelacakan orang yang dekat dengan pasien Covid-19. Lalu angka positivity rate dari jumlah orang yang dites per hari. Apakah menurun atau meningkat. Lalu angka tes harian per hari terhadap jumlah penduduk.

Keempat indikator ini di Indonesia justru belum membaik. Angka kasus terus melonjak, warga yang dilacak dekat dengan pasien Covid-19 tetap rendah, jumlah warga yang dites masih sedikit, dan tingkat kasus positif terhadap jumlah warga yang dites masih tinggi dari rata-rata internasional. Jadi, situasinya kita harus akui memburuk.

Yang kita anggap sebagai contoh keberhasilan negara melawan Covid-19, misal: Selandia Baru dan Vietnam. Keduanya dianggap sukses melawan Covid-19 karena pertumbuhan kasus positif hariannya nyaris nihil. Bukan dilihat pasien sembuh, atau jumlah terduga berdasarkan tes. Jangan ada yang ditutup-tutupi, apalagi berbohong kepada rakyat dari fakta ini.

Padahal, pemerintah sendiri yang menyatakan lonjakan kasus positif harian akan berdampak luas, utamanya pada fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Semakin banyak dokter dan perawat yang terkena Covid-19 di satu wilayah, akan melumpuhkan bukan hanya layanan kesehatan Covid-19, melainkan juga layanan kesehatan umum di situ. Di sinilah bahaya yang lebih besar akan terjadi.

Semakin banyak dokter dan perawat yang meninggal dunia, juga memperburuk situasi. Sebab, 'menciptakan' seorang dokter, apalagi dokter spesialis, membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tidak bisa dalam tiga bulan atau enam bulan. Kehilangan ini yang rasanya belum dipahami luas oleh kita semua.

 
Yang kita butuhkan adalah satu pemahaman, kerja sama, gotong royong, dan kepatuhan, serta tidak mengingkari data dan fakta.
 
 

Karena itu, enam bulan kita berperang melawan Covid-19 ini, kita belum menang. Butuh kerja amat keras untuk bisa membalikkan situasi. Butuh kerja sama seluruh pihak. Bukan hanya dokter dan perawat yang bekerja keras, melainkan juga masyarakat yang patuh dan pemerintah yang terus adaptif mengeluarkan kebijakan melawan pandemi.

Kita tetap butuh sosialisasi amat masif tentang pentingnya menggunakan masker di ruang terbuka dan tertutup. Kita tetap butuh penegakan disiplin terhadap masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Kita tetap butuh obat dan vaksin yang kini sedang terus diuji coba di laboratorium.

Di sisi lain, kita tidak memungkiri kegiatan ekonomi harus tetap berjalan. Melarang kegiatan ekonomi dalam kondisi sekarang, yang menurut Badan Pusat Statistik, sudah menyerupai situasi sebelum pandemi, adalah mustahil. Sebab itu, solusi terbaik dari terburuknya adalah berkegiatan ekonomi dengan mengacu protokol kesehatan yang ketat.

Apakah Indonesia butuh strategi baru melawan Covid-19? Rasanya tidak. Yang kita butuhkan adalah satu pemahaman, kerja sama, gotong royong, dan kepatuhan, serta tidak mengingkari data dan fakta. Biasakan yang benar, bukan benarkan yang biasa.

Saat ini kita semua berada di garis terdepan melawan Covid-19. Itu yang menjadi bahan refleksi enam bulan pagebluk. Sembari kita menunggu, semoga vaksin dan obat Covid-19 segera ditemukan dan bisa digunakan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat