Pelajar mengamati deretan lukisan pahlawan kemerdekaan karya Basoeki Abdullah di arena Pameran Sejarah dan Budaya Indonesia di Pendopo Pengayoman Temanggung, Jateng, Selasa (28/8). Pameran Sejarah Sepuluh Museum Nasional bertema | ANTARA FOTO

Dialektika

Pedulikah Anda pada Budaya dan Sejarah Kita?

Film sejarah dapat membantu membangkitkan semangat nasionalisme.

Suatu ketika Bung Karno harus bepergian dari Palembang ke Jakarta. Perjalanan itu pun harus ditempuh oleh Proklamator Indonesia itu dengan kapal laut. Sempat kehujanan, kondisi Bung Karno pun kian buruk karena harus memakan nasi basi.

Penyakit mag yang dideritanya lantaran kerap telat makan makin menambah penderitaannya. “Sisi humanis yang bisa diambil itu Bung Karno rela berkorban nggak makan,” ujar Asep Kambali, seorang sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia.

Di mata Asep, sisi lain dari Bung Karno itu menarik untuk diangkat dalam film sejarah. “Menurut saya tak salah mengambil cuilan sejarah kemudian dibuat fiksi. Itu boleh,” kata Asep dalam sebuah ajang diskusi virtual.

Baginya, film sejarah tak melulu bertutur tentang cerita dokumenter. Kendati begitu, sutradara Fajar Nugroho mengakui tak mudah untuk menangkap kisah sejarah dan mengangkatnya menjadi suguhan film yang menarik.

Fajar selalu ingin membuat film sejarah yang berfokus pada kisah humanis tokoh besar.  Misalnya saja bagaimana Bung Karno akan dibunuh di Cikini, saat ambil rapor anaknya. Menurut dia, film bisa berfokus ke peristiwa menarik. “Banyak hal menarik yang tak perlu diceritakan dari nol,” kata sutradara Yowis Ben dan Yowis Ben 2 itu.

Asep pun setuju. Sosok Jenderal Sudirman misalnya. Baginya, perjalanan gerilya sang jenderal menarik karena tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Selain itu, dia juga menjual pakaiannya untuk bisa membeli beras, ayam, hingga daging bagi prajuritnya. “Itu sosok pemimpin sesungguhnya. Itu yang mestinya juga diangkat dari seseorang,” ujar Asep.

Lebih lanjut Fajar beranggapan film sejarah tidak perlu hanya berkutat pada figur  pahlawan. Sebab ada kisah sejarah  seorang petinju, pebulutangkis, pesepak bola, perenang, dan lain-lain. Film sejarah di berbagai bidang menurut dia perlu digalakkan lagi.

Menurut Fajar, film sejarah sulit berkembang karena terlalu banyak intervensi pemerintah atau keluarga yang kerap enggan terlibat lebih jauh dalam proses pembuatan film sejenis. Meski begitu dia berharap Indonesia bisa membuat film sejarah tentang Tanah Air. Banyak kisah menarik yang bisa diangkat, bukan saja soal tokohnya. “Kalau pemerintah terbuka, nggak akan susah,” ujar dia.

Asep sendiri menyarankan agar para sineas turut menggandeng sejarawan atau peneliti sehingga dapat memberikan masukan yang tepat. Bahkan,  Komunitas Historia Indonesia memiliki tim khusus membantu siapa saja yang menginginkan bahan sejarah. "Komunitas bisa mencarikan, bahkan materi paling ringan," ujar Asep.

Asep menambahkan film sejarah boleh tidak akurat, tapi bukan terkait hal vital. ''Misalnya pada kemerdekaan, siapa pengibar bendera, siapa penjahitnya. Hal-hal seperti itu tak boleh dipelesetkan. Namun jika soal masyarakat figuran, tentu boleh berbeda,'' kata dia.

Bagi Asep, film adalah karya seni dan kreativitas. Karena itu, mestinya bebas bagi sineas untuk berkarya. Namun penikmat film, menurut dia, sah-sah saja jika mengekspresikan diri melalui diskusi atas film itu. “Kita punya kesempatan bikin film sejarah yang keren di masa depan,” kata Asep.

 

 
Kita punya kesempatan bikin film sejarah yang keren di masa depan.
 
Asep Kambali, seorang sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia.
 

 

Film animasi

Satu di antara kisah sejarah yang dikemas secara menarik hadir lewat film animasi "Battle of Surabaya". Produser dan penulis film "Battle of Surabaya", Muhammad Suyanto, mengatakan alasannya untuk membuat film dengan latar belakang perang 10 November di Surabaya itu adalah karena kuatnya pesan moral yang ingin disampaikan kepada generasi muda.

"Tidak ada pihak yang menang dalam peperangan, kita ingin dunia penuh kedamaian dan cinta,” pesan Suyanto yang juga Rektor Universitas Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIKOM), Yogyakarta itu.

Film yang telah tayang pada 2015 lalu ini bercerita tentang Musa, remaja yang merupakan tukang semir sepatu, namun kemudian mendapat misi menjadi kurir surat-surat rahasia. Surat ini ditujukan bagi tentara dan milisi pejuang Tanah Air yang setelah kemerdekaan masih berjuang melawan pihak asing yang masih ingin menguasai Indonesia.

Dalam perjalanannya, ia juga mengenal Yumna, seorang remaja putri dengan rasa nasionalisme dan ingin membela Tanah Air. Tak hanya itu, Musa yang berjuang untuk mengemban misi dengan sebaik-baiknya demi kepentingan Indonesia juga harus mempertaruhkan nyawa dan kehilangan orang-orang terdekat di masa perang itu.

Dalam rangkaian peringatan kemerdekaan, film ini sempat diputar kembali. Bagi Asep, ini menjadi satu cara agar generasi muda dapat mengenal dirinya melalui sejarah.

"Sangat penting generasi muda mengetahui sejarahnya. Ibarat silsilah keluarga, kita harus tahu siapa leluhur kita. Oleh karena itu kita juga harus mengenal siapa pendiri bangsa ini," ujar Asep dalam diskusi nonton bareng (nobar) virtual  di Jakarta pada Agustus lalu.

Jumlah peserta nobar virtual itu sebanyak 4.000 pelajar dari 34 provinsi di Indonesia. "Dari film ini kita semua bisa belajar untuk menjadi manusia Indonesia yang memiliki karakter perjuangan, tidak boleh takut dan pantang menyerah, harus berani demi kebenaran dalam memperjuangkan harga diri bangsa Indonesia,” ujar Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hendarman.

photo
Pengunjung berswafoto diinstalasi Garuda Pancasila di Bale Penyawangan Purwakarta, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (28/3/2019). Bale Penyawangan Purwakarta menyajikan sejarah tatar sunda dan para pemimpin Purwakarta hingga masa kini melalui perpaduan arsip, seni dan teknologi serta menjadi sarana edukasi masyarakat untuk mengenal kekayaan dan nilai-nilai Nusantara sebagai peranan penting kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat - (ANTARA FOTO)

Peninggalan budaya

Tidak hanya sejarah, kepedulian kita pun merambah juga hingga peninggalan budaya masa lalu. Kegelisahan terhadap peninggalan masa lalu yang terbengkalai mampu menggerakkan sejumlah kalangan untuk berinistiatif melestarikan peninggalan sejarah tersebut.

Rasa prihatin menguatkan tekad sejumlah orang yang peduli untuk membentuk Komunitas Kabuyutan Cipaku. Mereka punya satu misi yaitu melestarikan sisa peninggalan Kabuyutan Cipaku.

Desa Cipaku sendiri termasuk desa adat atau kabuyutan.  Di desa ini ada situs atau peninggalan sejarah Sumedang seperti makam Prabu Lembu Agung di Astana Gede. Namun, agaknya upaya pemerintah setempat untuk melestarikan situs budaya di desa tersebut dinilai belum optimal sehingga para anggota komunitas pun merasa harus bergerak untuk melestarikan situs bersejarah tersebut.

Komunitas Kabuyutan Cipaku pun menjadi sebuah wadah yang menghimpun lintas generasi, yang memiliki kepedulian dan kecintaan terhadap leluhur dan ajaran yang diwariskannya serta merawat (ngamumule) situs peninggalan leluhurnya.

Selain Komunitas Kabuyutan Cipaku, ada pula Sanan alias Surya Sindhu Patih, seorang pelestari sejarah, budaya, dan cagar budaya terutama di kawasan Gunung Penanggungan di Mojokerto, Jawa Timur.

Mereka inilah yang punya inisiatif untuk melestarikan budaya Indonesia tanpa menunggu uluran bantuan dari pemerintah atau pemangku kepentingan. Keinginan mereka tampaknya hanya satu yaitu budaya Indonesia tetap lestari.

Indonesia adalah negeri yang kaya budaya dengan ribuan suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Namun, kebudayaan yang kita miliki ini pun perlu dilestarikan. Pertanyaaannya adalah siapa yang bertanggung jawab melestarikan budaya itu agar kelak dapat dinikmati generasi mendatang?

Keberadaan individu atau komunitas yang bergerak untuk melestarikan budaya itulah yang membesarkan hati bahwa masih banyak yang peduli dengan kelestarian budaya nusantara. Semangat itu pula yang mendorong BCA untuk memberikan penghargaan  Waskita Nusantara Award untuk Komunitas Kabuyutan Cipaku dan Sanan atas kepedulian mereka terhadap budaya nusantara.

Namun, apakah kita hanya berdiam diri menyaksikan mereka bergerak sendiri untuk melestarikan budaya Tanah Air? Saatnya kita bergerak bersama demi lestarinya budaya nusantara.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat