Didin Hafidudin | Daan Yahya | Republika

Refleksi

Rumah Besar Umat Islam Indonesia

Kesatuan dan persatuan umat Islam punya pengaruh yang besar terhadap bangsa dan negara.

OLEH DIDIN HAFIDHUDDIN 

Pada Jumat malam Sabtu yang lalu, 7 Agustus 2020, telah dilaksanakan Milad ke-45 Majelis Ulama Indonesia (MUI). Walaupun dilaksanakan secara virtual dan sederhana, mengingat kondisi pandemi, tetapi terasa kesyahduan dan kekhusyuannya yang mencerminkan semangat muhasabah yang sangat kuat dari para pengurus MUI dan para tokoh umat yang hadir pada saat itu

Muhasabah dalam pengertian bahwa MUI sebagai rumah besar dan wadah tempat berkumpulnya para alim ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim Indonesia, yang memiliki tugas dan tanggung jawab keumatan dan kebangsaan yang sama. Walaupun dengan latar belakang yang berbeda, harus tetap dipertahankan keberadaannya dan dikuatkan peran dan fungsinya menjadi khadimul ummah (pelayan umat) sekaligus menjadi shadiqul hukumah (mitra kritis pemerintah) yaitu mendukung kebijakan pemerintah jika berpihak pada kepentingan masyarakat banyak berdasarkan keadilan dan kejujuran, dan mengoreksi kebijakan pemerintah jika tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.

Jika kita melihat Alquran, ada dua ayat yang secara eksplisit berisi kata-kata ulama. Yaitu surat Asy-Syuara [26] ayat 197 dan Surat Fathiir [35] ayat 28 serta satu ayat yang tidak secara eksplisit memuat kata ulama tetapi berkaitan dengan tafaqquh fid dien yaitu surat At-Taubah [9] ayat 122.

Ketiga ayat tersebut memuat kriteria ulama atau memuat sifat dan karakter utama yang harus dimiliki oleh para ulama, di samping tentu ditunjang oleh berbagai hadits tentang ulama.

 
Ulama itu adalah sosok yg memiliki akhlakul karimah, memiliki integritas pribadi yang kuat. Menjadi panutan umat dalam tingkah laku kesehariannya.
 
 

Pertama, Ulama itu harus mutafaqqieh fid dien atau fiqhuddien, yaitu memahami ilmu agama secara mendalam sehingga menjadi rujukan masyarakat untuk bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Ulama adalah sosok yang dekat dengan masyarakat. Ulama adalah orang-orang yang dipercaya oleh masyarakat.

Kedua, ulama itu adalah sosok yang memahami perkembangan zaman perkembangan keadaan dalam berbagai bidangnya dengan berbagai sisinya baik sisi positif yang memberikan harapan maupun sisi-sisi negatif yang mengkhawatirkan. Demikian tulis Imam Al-Baihaqi dalam kitab Dalaailun Nubuwwah ulama adalah sosok yang memiliki fiqhun naas, memahami kondisi kemanusiaan dan fiqhul waaqi’ , memahami realitas kehidupan masyarakat.

Ketiga, ulama itu adalah sosok yang memiliki akhlakul karimah, memiliki integritas pribadi yang kuat. Menjadi panutan umat dalam tingkah laku kesehariannya.

Umat bukan sekedar melihat pandangan dan opininya akan tetapi juga melihat perilaku kesehariannya. Tidak ada gap antara yang diucapkan dengan yang dilakukan. Pikirannya lurus, akidahnya benar, ucapannya terstruktur bermuatan yang hak dan berpihak pada yang hak.

Jauh dari ucapan yang menyakitkan, memfitnah dan mengadu domba. Mari kita renungkan sebuah hadits yang berisikan warning dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda: "Dari Ali bin abi Tholib RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: "Akan datang pada ummatku suatu zaman, yang tidak tersisa dari Islam kecuali namanya, dan tidak tersisa dari Alquran kecuali tulisannya, masjid mereka mewah akan tetapi sepi dari petunjuk, ulama mereka sejelek-jelek manusia di kolong langit, darinya keluar fitnah dan kepada mereka fitnah tersebut kembali".” (HR Baihaqi).

Dengan ketiga kriteria tersebut di atas, para ulama, termasuk MUI pusat maupun daerah memiliki tiga tugas pokok yang sangat penting. Pertama, himayah wa taqwiyyah ad-dien menjaga dan memelihara agama dari paham-paham dan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Misalnya MUI telah menetapkan dalam fatwanya Nomor 7 tahun 2005 bahwa ada tiga paham pemikiran yang dianggap berkaitan dengan keislaman yang sangat membahayakan, yaitu sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme.

Sekulerisme bermakna agama dipisahkan dari kehidupan. Agama hanya ditempatkan pada urusan pribadi, di tempat-tempat tertentu dan waktu-waktu tertentu. Agama tidak boleh hadir di pasar pada kegiatan ekonomi, tidak boleh hadir di gedung birokrasi, tidak boleh hadir di kampus dan lembaga-lembaga pendidikan termasuk tidak boleh hadir dalam dunia politik. Padahal Islam adalah agama yang syumuliyyah mencakup semua bidang kehidupan, agama yang akan memberikan keselamatan dunia dan akhirat.

 
Bagi umat Islam kondisi ini seharusnya menjadi peluang untuk mewujudkan ajaran Islam dalam semua bidang kehidupan. 
 
 

Liberalisme menempatkan akal di atas wahyu dan berfikir tentang keagamaan yang tidak diikat oleh landasan keilmuan dan tidak diikat oleh norma-norma yang baku. Sebagaimana diketahui bahwa akal memiliki posisi yang sangat penting dalam pandangan ajaran Islam, termasuk untuk memahami ajaran Islam, baik yang bersifat tanziliyah (ayat Alquran yang diturunkan) maupun kauniyah (alam semesta sekaligus isinya) tetapi harus dalam bimbingan wahyu ilahiyah.

Pluralisme adalah paham yang menyatakan semua agama sama dan tidak ada kebenaran mutlak, semua kebenaran bersifat relatif. Semua pemikiran tersebut sangat membahayakan bagi perkembangan kehidupan agama.

Kedua, himayah wa taqwiyyah al-ummah dalam pengertian menjaga dan memelihara umat, agar terjaga akidahnya, syariahnya, maupun akhlakknya. Negara kita memang bukan negara agama, bukan pula negara sukuler. Akan tetapi, negara yang menghormati ajaran agama. Yang sekaligus mendorong masyarakat untuk melaksanakan ajaran agama dalam semua tatanan kehidupan.

Bagi umat Islam kondisi ini seharusnya menjadi peluang untuk mewujudkan ajaran Islam dalam semua bidang kehidupan. Pendidikan yang islami, ekonomi yang islami, politik yang islami, seosial budaya yang islami, dan kehidupan lain yang islami.

Kita yakin dengan seyakin-yakinnya keberkahan akan diturunkan dari langit dan dimunculkan dari bumi, ketika masyarakat beriman dan bertakwa pada Allah SWT. Firman-Nya dalam QS. Al-A’raf [7] ayat 96. Termasuk dalam masa pandemi Covid-19 ini peranan MUI sangat penting untuk membimbing dan membantu masyarakat agar tetap sehat dan dijauhkan dari berbagai musibah.

 
Dalam pada itu kesatuan dan persatuan umat Islam Indonesia merupakan sesuatu yang terus menerus harus dipertahankan dan diperjuangkan. 
 
 

Ketiga, himayah wa taqwiyah ad-daulah menjaga dan menguatkan negara. Keutuhan NKRI dalam bingkai kebhinekaan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 adalah merupakan sebuah keniscayaan sekaligus sebuah kebutuhan. NKRI adalah warisan para syuhada, para alim ulama, para pejuang, sekaligus para pendiri republik ini.

NKRI harus kita jaga agar tetap utuh dan kita jaga dari rongrongan kelompok-kelompok dalam maupun luar negeri yang ingin memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa dan sekaligus ingin mengambil keuntungan material dari alam yang subur di negara kita.

MUI dengan semua komponen umat dan bangsa harus bahu-membahu, menjaga NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 agar tetap menjadi pilar kebangsaan yang kokoh, yang mengayomi semua kelompok masyarakat. Sehingga masyarakat Indonesia tetap memiliki kepribadian yang sesuai dengan sila-sila Pancasila dan terutama sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.

Dalam pada itu, kesatuan dan persatuan umat Islam Indonesia merupakan sesuatu yang terus menerus harus dipertahankan dan diperjuangkan. Tidak ada alasan untuk berpecah belah apalagi hanya karena masalah-masalah furuiyah yang seharusnya sudah kita tinggalkan. Kesatuan dan persatuan umat Islam akan punya pengaruh yang sangat besar terhadap kekuatan bangsa dan negara.

Dirgahayu MUI yang ke 45. Semoga semakin kuat dan semakin dipercaya oleh umat dan bangsa.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat