Jamaah haji menjaga jarak saat melaksanakan tawaf di Masjidil Haram | Reuters

Hikmah

Cobaan Nabi Ibrahim

Pengorbanan Nabi Ibrahim merupakan teladan dan nilai kehidupan yang dilestarikan hingga detik ini.

Oleh Ustaz M Towil Akhirudin

Ustaz M Towil Akhirudin

Guru Pesantren Darunnajah Cidokom Bogor Jawa Barat

Erdy Nasrul

Wartawan Republika

 

Dunia mengenalnya sebagai Ibrahim, nabi yang hidupnya penuh dengan cobaan. Buku-buku mencatatnya sebagai khalilullah (kekasih Allah), abul anbiya (bapak para nabi), abu dhuafa (ayah kaum lemah), abu tauhid (bapak agama tauhid), dan qalbun salim (hati yang bersih).

Hidup sekitar 2000 tahun sebelum masehi, dia sejak remaja sudah mendapatkan wahyu untuk mengajak masyarakat mengimani Allah yang esa. Ibrahim mendakwahkan ajaran Allah kepada ayahnya Azar, orang yang sudah membesarkannya dan mengajarkan cinta-kasih. Namun ajakan tersebut berbalas makian. Bahkan sang ayah mengancam akan merajamnya jika terus menentang budaya masyarakat Babilonia yang menyembah berhala. Ujian pertama ini membuatnya rela berpisah dari orang yang dia kagumi. Orang yang dulu pernah menggendongnya dan mencintainya sepenuh hati. 

Keberanian dan keteguhan mengimani wahyu Allah membuatnya semakin kuat untuk mendakwahkan ajaran tauhid. Dia tak segan menghadapi masyarakat penyembah berhala. Pada saat merayakan peristiwa besar, orang-orang Babilonia meninggalkan perkampungan. Ibrahim ketika itu tetap di rumah, tidak mengikuti perayaan tadi. Secara diam-diam, dia menghancurkan banyak berhala kecil dan membiarkan berhala paling besar tetap utuh.

Kembali ke perkampungan, masyarakat terkejut menyaksikan berhala-berhala hancur lebur. Mereka bertanya kepada Ibrahim siapa yang menghancurkan berhala-berhala tersebut. Ibrahim kemudian menjawab, bahwa yang melakukan hal tadi adalah berhala yang besar. Mereka tidak menerima penjelasan Ibrahim, hingga akhirnya, raja Namrudz bin Kan’an menghukum kekasih Allah dengan dibakar hidup-hidup. Ini adalah cobaan kedua yang dihadapi Ibrahim. 

Ketika itu belum ada cerita orang selamat setelah dibakar. Pasti mati menjerit tak tahan disiksa nyala api hingga mati. Namun dengan kuasa Tuhan (intervensi Allah), api yang tadinya panas berubah menjadi dingin. Qul ya nar kuni bardan wa salaman ala Ibrahim (QS. al-Anbiya: 69). Artinya, wahai api jadilah dingin dan selamatkan Nabi Ibrahim. Selamatlah sang nabi dari petaka yang mengerikan.

Sarah, penguasa zalim, dan Hajar

photo
Masjid Kubbatus Shakhrah terdapat di area Masjid al-Aqsha Palestina. Negeri ini pada zaman dahulu merupakan tempat tinggal Nabi Ibrahim. - (Reuters)

Beranjak dewasa dan kepribadiannya semakin matang, Ibrahim menemukan wanita cantik bernama Sarah di Syam, daerah yang terletak di timur Laut Mediterania, barat Sungai Eufrat, utara Gurun Arab dan sebelah selatan Pegunungan Taurus. Cinta membuat keduanya berlanjut ke pelaminan. Keduanya memadu kasih sambil mendakwahkan wahyu Ilahi kepada umat manusia. Ketika itu, cobaan yang lebih berat datang. Dalam sebuah perjalanan ke Mesir, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Bukhari, Ibrahim dan Sarah harus berhadapan dengan penguasa zalim yang gila wanita,  'Amr bin Amru' Al-Qais bin Saba’.

 

 

Berita kedatangan Ibrahim bersama wanita paling cantik sampai ke telinga si penguasa

 

 
 

Berita kedatangan Ibrahim bersama wanita paling cantik sampai ke telinga si penguasa. Dikisahkan, ‘Amar akan merebut wanita cantik meski sudah bersuami, lalu menewaskan si suami. Ibrahim meminta Sarah mengaku sebagai saudaranya. Dengan begitu, sang penguasa tak membunuh khalilullah

Ketika itu Ibrahim dikenal banyak orang sebagai nabi yang mengajarkan ajaran Allah. Banyak orang segan kepadanya. Pada suatu hari, seorang utusan datang dan bertanya, siapakah Sarah. Ibrahim menjawab, bahwa wanita itu adalah saudaranya. Kemudian utusan tadi memanggil Sarah dan membawanya untuk menghadap ‘Amar. Dalam sendirian, Ibrahim berwudhu dan shalat memohon kepada Allah untuk melindungi Sarah dan mengazab siapa pun yang hendak menzaliminya.

Tiba di istana, Sarah dibiarkan dalam sebuah ruangan. Seperti Ibrahim, Sarah juga berwudhu dan mendirikan shalat memohon perlindungan kepada Allah. Melihat hal tersebut, penguasa ‘Amar mendekati Sarah.

Tiba-tiba, badan si penguasa tak bisa digerakkan. Sarah takut. Jika raja ini mati, maka Sarah akan dituduh sebagai pembunuhnya. Istri Ibrahim ini kemudian berdoa lagi, memohon agar dia dilindungi dari fitnah. Lalu si raja dapat bergerak. Lagi-lagi dia berjalan mendekati Sarah.

Sarah berdoa lagi memohon perlindungan Tuhan. Si raja mendadak beku tak bisa bergerak. Dan lagi istri Ibrahim berdoa agar si raja tidak mati seketika sehingga dirinya tidak dituding sebagai pembunuh. Pria penguasa itu tak lagi membeku. Dia bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Sejak itu, si raja tak berani menyentuh Sarah dan menganggap wanita itu sebagai penyihir. Raja memerintahkan Sarah keluar dari istana dengan membawa budak wanita bernama Hajar. 

Kelak budak wanita ini dipersunting Ibrahim menjadi istri kedua. Dari rahimnyalah lahir buah cinta yang sudah lama dinanti, yaitu anak. Sudah lama Nabi Ibrahim menjalani rumah tangga dengan Sarah, namun Allah belum menganugerahkan buah hati kepada mereka. Tuhan Yang Mahapengasih baru memberikan anak kepada Ibrahim melalui rahim Hajar. Wanita ini melahirkan Ismail dan keturunannya menjadi pembesar jazirah Arab.

Terpisah 1.500 kilometer

photo
Muslim di Turki melaksanakan Idul Adha di Hagia Sophia - (Reuters)

Ibrahim begitu cinta kepada Ismail. Meski terpisah 1.500 KM, Ibrahim rela berjalan jauh dari Baitul Maqdis (Palestina) menuju Makkah untuk menemui sang anak. Dia menggendong, memeluk dan menciumi Ismail dengan penuh kasih. 

Di tengah kecintaannya kepada Ismail, Ibrahim memimpikan Allah menyuruhnya untuk menyembelih si anak tercinta. Tak hanya sekali, Ibrahim memimpikan hal itu berkali-kali, sehingga dia meyakini bahwa ini bukan sekadar bunga tidur, tapi benar-benar perintah Allah.

Ibrahim sadar bahwa Ismail bukanlah miliknya. Ismail sadar bahwa dirinya juga bukan miliknya. Maka ketakwaan kepada Tuhan menjadikan keduanya sebagai hamba Allah yang tersohor kesabarannya.

Ibrahim seorang nabi dan rasulullah. Pemimpin umat pada masanya, yang juga seorang ayah. Namanya harum di semua umat manusia. Tatkala Ibrahim meminta pendapat putranya Ismail tentang perintah Allah tadi, sang anak mampu memberikan jawaban yang tegas dan lugas. Tidak perlu banyak cakap dan soal. "Wahai ayah... laksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu! Niscaya kau akan mendapati diriku insya Allah termasuk golongan orang-orang yang bersabar."

Sebuah peristiwa yang indah dan mengharukan. Tiada bandingnya. Ketulusan dua sosok manusia mulia ini terukir indah dalam sejarah umat manusia. Bahkan di Alquran.

Ibrahim memakaikan baju putih pada Ismail. Lalu mengajaknya ke lokasi penyembelihan, yaitu Al-Manhar di lembah Mina, tempat yang kini menjadi destinasi Muslim untuk melaksanakan lempar jumrah (ula, wustha, dan aqabah) dan dekat dengan Masjid al-Baiat, tempat pertemuan warga Madinah yang menyatakan beriman kepada Nabi Muhammad 14 abad silam. Bangunan itu dipercantik oleh Abu Ja’far al-Manshur (714-775 M) agar dunia mengabadikan tempat pertemuan Rasulullah dan kaum Anshar tadi. 

Kemudian Ismail berpesan kepada ayahnya; "Saat menyembelihku, janganlah melihat wajahku, khawatir hal itu membuatmu mengasihaniku, sehingga tidak bisa secepatnya menyembelihku. Ikatlah kedua tanganku, lalu hadapkan wajahku ke tanah."

Maka Ibrahim meletakkan wajah putranya ke tanah, agar tidak timbul rasa kasihan hingga membuatnya ragu untuk menyembelihnya. Sesaat kemudian kembali Ismail berpesan kepada ayahnya; 'Wahai ayah, aku tidak memiliki pakaian yang bisa dijadikan kafan bagi jasadku selain baju ini. Lepaskanlah baju ini supaya bisa digunakan untuk kafanku."

Namun karena kehendak Allah, keikhlasan dua manusia mulia ini telah terbukti. Hadirlah seekor domba putih, bertanduk, besar, gemuk dan memiliki mata bagus. Seekor domba yang berkualitas. Sebagai pengganti dari Ismail yang akan disembelih.

Inilah kesejatian hidup, bahwa manusia hidup bukan untuk dirinya sendiri. Hidup manusia bukanlah miliknya. Allah-lah Yang Maha Kuasa dan yang paling berhak memiliki hidup manusia.

Hikmah yang berlimpah dari kisah kasih ayah dan anaknya. Orang tua tidak harus sampai merasa anak adalah miliknya. Begitupun anak harus merasa dirinya bukan miliknya. Semua hanya milik Allah Ta'alla.

Yang ada hanya titipan. Yang menitipkan adalah Tuhan Alam Semesta. Yang dititipkan adalah manusia. Maka titipan harus dipelihara. Dan setiap titipan akan kembali kepada-Nya.

Tidak semua manusia adalah Ibrahim. Tidak semua anak dapat sanggup menjadi Ismail. Namun semua insan wajib belajar menghadapi hidup seperti yang dilakukan Ibrahim dan Ismail. Bagaimana mereka begitu konsisten menjalani perintah Allah. Bagaimana mereka tetap berkomitmen melaksanakan instruksi Sang Pencipta, meski harus mengorbankan orang yang paling disayangi.

Takwa adalah jawabannya. Dengan tetap berpegang teguh kepada takwa, menjalani segala yang diperintahkan, dan menjauhi larangan Allah, seseorang akan hidup dengan optimisme menggapai ridha Allah.

photo
Jamaah haji melempar jumrah pada puncak haji - (REPUBLIKA)

Peristiwa Ibrahim dan Ismail ini selalu kita kenang setiap 10 Dzulhijjah, sehari setelah jamaah haji melaksanakan wukuf atau 24 jam setelah kiswah Ka’bah diganti dengan yang baru, atau saat jamaah haji dengan penuh lelah bersusah payah berjalan menuju jamarat untuk memulai lempar jumrah.

Pada hari itu, Allah mengajak kita untuk melaksanakan ibadah kurban. Kurban dalam bahasa Arab disebut qurban, bentuk masdar dari kata qaraba yang berarti dekat. Ibadah kurban bermakna mendekatkan diri kepada Allah. Dengan mengorbankan apa yang disayangi, seseorang akan semakin cinta kepada Allah.

Syariat menganjurkan kita untuk kurban dengan menyembelih kambing, domba, sapi, atau kerbau. Kemudian membagikan hasil sembelihan kepada masyarakat sekitar untuk bersuka ria.

Ibrah kehidupan Ibrahim

photo
Daging kurban siap diedarkan untuk masyarakat. - (Biro Foto Republika)

Kita harus selalu mengambil hikmah perjalanan Ibrahim yang begitu konsisten mengimani Allah dan mendakwahkan ajarannya. Ibrah kehidupan Sang Nabi mengajarkan kita beberapa hal yang relevan untuk kehidupan saat ini dan yang akan datang.

Pertama adalah untuk berpendirian. Setiap orang harus memiliki pendirian berbasis keimanan yang kuat, yang tak gentar menghadapi tantangan yang dihadapi. Keimanan yang kokoh membuat kita selalu yakin bahwa takut hanya kepada Allah. Selain Allah adalah makhluk yang sejajar dengan diri kita.

Kedua, meminta tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat, seperti yang dilakukan Ibrahim dan Sarah di Mesir saat menghadapi penguasa zalim. Shalat dan doa adalah upaya menyegarkan pemikiran dan sikap kita untuk selalu mengingat Allah, baik di kala suka maupun duka.

Ketiga adalah berkorban. Bahwa apa yang kita miliki, sejatinya adalah milik Allah semata, termasuk diri kita sendiri. Karena itu, kita tak boleh sombong, harus selalu rendah diri. Segala yang ada akan hancur kecuali Allah semata. Kullu syai’in halikun illa wajhahu (al-Qashash: 88).

Sunah Ibrahim dan Ismail tadi mengajarkan umat manusia tentang pengorbanan. Bahwa apa yang dimiliki harus dikorbankan untuk kemaslahatan yang lebih besar, untuk tegaknya ketakwaan dan keimanan kepada Allah.

Jiwa inilah yang ada pada diri para pendahulu kita, yang menjadi dasar tegaknya Islam hingga detik ini. Rasulullah, para sahabat, tabi’in, ulama, sejak lama mengorbankan apa yang dimiliki untuk keberlangsungan dan penyebaran Islam yang meluas hingga ke seantero dunia. Islam menjadi inspirasi peradaban, agama yang mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun nilai kehidupan, seperti pada masa Abbasiyah (750 M – 1258 M) dan (1299-1923).

Bangsa Indonesia juga berdiri berdasarkan pengorbanan yang luar biasa. Para pahlawan yang terdiri dari ulama, santri, dan tentara, mengorbankan nyawanya sehingga Republik Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat. 

Karena itu, meski Idul Adha sudah dilewati, kita harus tetap bersyukur kepada Allah dan selalu mendoakan para pendahulu yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk keberlangsungan kehidupan kita saat ini.

Keempat, penguasa harus menjadi teladan dalam beriman, bukan malah cinta kekuasaan sehingga lupa akan jati dirinya sebagai hamba Allah, seperti ‘Amar yang hendak mengambil Sarah dari Ibrahim, dan Nimrod yang mengaku sebagai tuhan. 

Jati diri manusia adalah hamba Allah yang lemah, yang harus meminta bantuan dan bersinergi dengan makhluk lainnya. Kebersamaan ini akan menghasilkan prestasi hebat dan membuat diri semakin menyadari kekurangannya.

Kelima, hidup kita harus dipasrahkan untuk Allah semata. Dialah zat yang maha segalanya. Tempat semua ciptaan kembali. Tingkat kepasrahan kita mungkin tak setinggi Ibrahim, tapi kita harus selalu berusaha untuk meneladani sang nabi dan mengikuti khittahnya. Ayo sama-sama kita berusaha. Insya Allah akan ada jalan, sehingga kita mampu menghadapi berbagai cobaan.

photo
Muslim di Palembang memenuhi masjid raya untuk melaksanakan Shalat Idul Adha - (Antara)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat