Ditangkap. Buronan BLBI yang juga terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra, digiring pihak kepolisian setibanya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (30/7) | Republika/Thoudy Badai

Tajuk

Publik Kawal Kasus Djoko Tjandra

Pelaku korupsi dan kolusi wajib dihukum berat. Apalagi, pelaku yang sempat buron. Jangan ada pengistimewaan bagi mereka.

Polisi sudah membawa pulang Djoko Soegiarto Tjandra dari Malaysia ke Indonesia pekan lalu. Ia kini menghuni rumah tahanan Salemba. Fotonya kemarin beredar di pers. Djoko meninjau selnya yang bersih dan terang. Ia bakal sendiri di situ.

Di Rutan Salemba, sembari menunggu persidangan, Djoko rupanya bertetangga dengan polisi yang membantunya. Brigjen Prasetijo Utomo. Dia ini sebelum dinonaktifkan adalah kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri. Brigjen Prasetijo terbukti 'mengawal' Djoko Tjandra naik pesawat ke Pontianak. Oleh Mabes Polri, ia dikenakan hukuman pelanggaran kode etik.

Kita berharap, sorotan terhadap kasus Djoko Tjandra ini tidak kendor. Bukan cuma kasus hak tagih Bank Balinya, melainkan juga kasus para aparat negara yang ikut membantu Djoko Tjandra selama tiga bulan kemarin. Ini harus diungkap dengan gamblang. Jangan ada yang ditutup-tutupi.

Karena selain lurah di tempat Djoko membuat KTP-el yang dipindah, lalu Brigjen Prasetijo Utomo, dan ada Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang juga diduga terlibat,  apakah masih ada yang lain? Ini yang harus diusut tuntas sampai akarnya.

Desakan berbagai pihak sebelum Djoko dibawa ke Indonesia adalah Presiden Joko Widodo membentuk satu tim independen pencari fakta. Tim independen ini bertugas mengusut siapa-siapa yang terlibat dalam pelarian Djoko dan masuknya Djoko kembali ke Indonesia.

Namun, setelah Djoko Tjandra segera disidang, desakan pembentukan tim ini pun ‘tiarap bin senyap’. Kemungkinan besar malah pemerintah tidak akan membentuknya. Dengan menggelindingkan opini bahwa toh sudah ada Djoko di rutan, Brigjen Prasetijo di rutan, dan Jaksa Pinangki sudah kena hukuman nonstruktural. Buat apa lagi bentuk tim? Ini amat mungkin terjadi.

 
Pelaku korupsi dan kolusi wajib dihukum berat. Apalagi, pelaku yang sempat buron. Jangan ada pengistimewaan bagi mereka.
 
 

Persoalan lain yang bisa mencuat adalah setelah Djoko divonis. Berapa pun vonisnya, tentu publik ingin majelis hakim menjatuhkan vonis berat. Djoko terbukti tidak kooperatif dengan buron, kecuali di bagian terakhir ia bisa dibawa pulang ke Indonesia.

Masalahnya ada dua: Vonis koruptor di Indonesia tergolong rendah. Dan kalaupun sudah divonis rendah atau tinggi, Kemenkumham tercatat royal memberikan keringanan hukuman kepada terpidana korupsi. Di sini lubangnya. Oleh nalar keadilan publik ini sukar sekali dimengerti. Walaupun secara aturan hukum, memberi keringanan kepada terpidana itu dibolehkan. Hal itu karena merupakan hak kemanusiaan.

Jadi, memang ada harapan. 'Harapan' bagi Djoko Tjandra ataupun para koruptor lainnya. Jangan khawatir untuk menjalani sidang korupsi di negeri ini. Karena rerata vonisnya, seperti yang diriset Indonesian Corruption Watch, hanya empat tahun. Itu pun potong masa tahanan. Setelah disidang, di lembaga pemasyarakatan masih bisa menikmati potongan masa tahanan oleh pemerintah. Resmi! Dari empat tahun mungkin saja bisa hanya jadi 24 bulan!

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, kemarin berkicau yang intinya jangan sampai Djoko Tjandra divonis ringan, dua tahun katakanlah. Pesan dan harapan kita harus tegas dan jernih. Pelaku korupsi dan kolusi wajib dihukum berat. Apalagi, pelaku yang sempat buron. Jangan ada pengistimewaan bagi mereka.

Karena jelas sekali, apa yang mereka lakukan merusak bangsa. Tidak hanya mencuri uang negara ratusan miliar rupiah atau triliunan rupiah, tetapi juga merusak sistem hukum dan moral penegak hukum serta aparat sipil.

Undang-Undang Antikorupsi di negara ini masih menyebut dan menegaskan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. "Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa."

Menjadi jelaslah bagi kita bahwa 'luar biasa' itu adalah dampak yang ditimbulkan oleh perilaku korupsi. Orang per orang atau berkelompok. Bukanlah 'luar biasa' dalam hal perlakuan bagi terdakwa korupsi, ataupun terpidana korupsi. Yang terakhir ini kita semua melihatnya. Djoko Tjandra mendapatkan perlakuan luar biasa itu. Mulai dari ia bisa membuat dokumen sipil sampai pada dijemput dengan pesawat carteran dan fasilitas ruang tahanan yang bersih dan lapang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat