Tan Malaka, Soedirman dan Sutan Syahrir | Ilustrasi Daan Yahya-Republika

Halaman 7

Di Antara Dua Orang Kiri

Oleh Di Antara Dua Orang Kiri


 Kolonel Soedirman terseret ke dalam konflik politik elite-elite nasional dua bulan setelah ia terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di satu sisi, ada duet Sutan Syahrir dan Amir Syafruddin dengan kekuatan kabinet sosialisnya. Di sisi lain, muncul Tan Malaka, bapak Republik beraliran Marxis, yang mendirikan Persatuan Perjuangan sebagai kekuatan politik baru untuk menekan pemerintah. Dalam beberapa literatur disebutkan, selama enam bulan pertama 1946 posisi Soedirman menjadi amat penting bagi keutuhan Indonesia saat itu. "Everything now depends on Soedirman." Demikian pendapat penulis Louis Fischer melihat pertarungan politik internal di Indonesia saat itu seperti tertuang dalam bukunya, The Story of Indonesia (1959) yang dikutip dalam Yahya Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 (1982).

 

 

”Secara pribadi, Pak Dirman dengan Syahrir itu memang tidak bagus hubungannya. Kurang bagus. Syahrir terlalu ke Barat. Syahrir kerap menyampaikan: Panglima tentara haruslah bisa berbahasa Belanda atau bahasa asing lainnya. Sementara, Pak Dirman di mata Syahrir itu tidak memiliki kemampuan berbahasa asing yang bagus. Itu salah satu persoalan pribadinya."

 

Letkol Caj Kusuma
 


 ”Se c a r a p r i b a d i , Pak Dirm a n d e n g a n Syahrir itu memang tidak bagus hubungannya. Kurang bagus. Syahrir terlalu ke Barat. Syahrir kerap menyampaikan: Panglima tentara haruslah bisa berbahasa Belanda atau bahasa asing lainnya. Sementara, Pak Dirman di mata Syahrir itu tidak memiliki kemampuan berbahasa asing yang bagus. Itu salah satu persoalan pribadinya." Demikian pendapat Kepala Bidan Dokumen Pusat Sejarah TNI (Pusjarah) Letkol Caj Kusuma saat diwawancarai Republika perihal sosok Soedirman dalam sejarah. Wawancara berlangsung di ruang Balairung Pahlawan, gedung Pusjarah TNI, Jakarta, Selasa (15/1).


Konteks politiknya saat itu memang agak memanas. Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Menhan Amir Syarifuddin Harahap menginginkan pembentukan sebuah pemerintahan yang ideal dan modernis. Demokrasi yang dianut Syahrir berarti meletakkan kepemimpinan sipil di atas kepemimpinan militer. Kemudian, dibutuhkan sosok militer yang terbebas dari masa lalu, terutama generasi PETA.


Pengangkatan Soedirman (dari kelompok PETA) menjadi panglima TKR dan kelompok militer memilih Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan mementahkan keinginan Syahrir itu. Apalagi, Syahrir-Amir selalu beranggapan generasi militer PETA mewariskan ideologi fasis Jepang. Syahrir lebih condong kepada kepemimpinan Oerip Soemohardjo, didikan KNIL, yang pandai berbahasa asing dan menguasai manajemen tentara.


Dwitunggal Syahrir-Amir selalu menarik tentara untuk tunduk pada pemerintahan sipil. Sementara, Soedirman yang dipilih oleh tentara menjadi panglima selalu menekankan bahwa posisi militer dan pemerintahan sipil itu sejajar. Walaupun pada satu titik, Soedirman selalu mematuhi perintah pemerintah, terutama Presiden Sukarno.


Friksi Syahrir-Amir melawan Soedirman terus dalam situasi tegang. Bahkan, sampai saat Syahrir-Amir bertemu dengan kelompok militer pun, TB Simatupang mengingat, masih terdapat beda pendapat yang keras di antara kedua kubu. Kebijakan-kebijakan lanjutan Syahrir-Amir terhadap militer, seperti pendidikan politik perwira (memasukkan unsur sosialis ke tubuh militer), pengangkatan perwira tandingan, membuat situasi di dalam tubuh tentara makin runyam.


Di tengah situasi ini, pada awal Januari muncul Tan Malaka. Tan Malaka yang dikenal sebagai bapak Republik, karena menulis konsep republik bagi Indonesia sejak 1920-an, memandang elite politik dan jalan diplomasi yang dilakukan pemerintah terlalu lemah. Indonesia butuh oposisi yang kuat. Untuk itu, Tan Malaka menggandeng berbagai partai politik dan kelompok politik mendirikan Persatuan Perjuangan sebagai kekuatan politik baru di luar pemerintahan. Pada tahap awal, cara ini berhasil. Di kongres awal, Persatuan Perjuangan menuntut syarat minimum kemerdekaan. Syarat ini, menurut Tan, yang kurang disadari oleh elite politik yang sibuk berdiplomasi dengan Belanda saat itu.


Syarat minimum kemerdekaan itu, misalnya, pengakuan merdeka 100 persen, membentuk pemerintahan rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.


Tan menegaskan, kemerdekaan 100 persen adalah mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia barulah diplomasi dimungkinkan. Jangan berdiplomasi dulu sebelum musuh keluar. "Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan!" kata Tan, tegas, dalam pertemuan Persatuan Perjuangan yang pertama di Purwokerto, Januari 1946. Pak Dirman hadir di sana.


Setelah pidato Tan, disebutkan Jenderal Soedirman berpidato dengan arah yang kurang lebih sama dengan garis Tan Malaka. Dengan garang, Soedirman mengatakan, "Lebih baik diatom (dibom atom--Red) daripada merdeka kurang dari 100 persen." Sikap Soedirman dan militer terhadap lambannya diplomasi pemerintah terlihat dari pidato tersebut. Militer menginginkan Bung Karno, Bung Hatta, dan Syahrir lebih tegas dan bagai melawan Belanda.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat