Tim SAR gabungan mengangkat kantong jenazah korban banjir bandang di Desa Radda, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu (18/7). | ABRIAWAN ABHE/ANTARA FOTO

Nusantara

BNPB Soroti Alih Fungsi Lahan di Luwu

Alih fungsi lahan turut menjadi faktor penyebab banjir bandang di Luwu Utara.

JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyoroti alih fungsi lahan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Alih fungsi lahan yang terjadi secara masif dalam beberapa tahun terakhir disebut BNPB sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya banjir bandang pada pekan lalu.

Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati mengatakan, berdasarkan peta bahaya bencana banjir bandang yang dimiliki BNPB atau InaRISK, Kabupaten Luwu Utara memiliki tingkat bahaya sedang hingga tinggi hampir di seluruh wilayah sempadan sungainya. Hal itu termasuk di enam kecamatan yang terdampak.

Raditya melanjutkan, jika melihat pada data dan gambar yang diambil dari udara, alih fungsi lahan turut menjadi faktor penyebab banjir bandang di Kabupaten Luwu Utara. Pada 9 April 2017, berdasarkan foto udara, tampak belum ada galian di lokasi tersebut. “Namun, 30 Oktober 2018 muncul galian seluas sekitar 60 hektare (ha),” kata dia di Jakarta, Ahad (19/7).

Selanjutnya, pada 30 Agustus 2019, BNPB menemukan masih ada galian tersebut. BNPB kembali melakukan foto udara pada 14 Oktober 2019 dan galian itu sudah ditutupi oleh vegetasi. Namun, kata dia, muncul lagi galian baru di sekitar kawasan tersebut kurang lebih 26 ha.

photo
Foto udara kondisi Kota Masamba yang tertimbun lumpur akibat terjangan banjir bandang di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Jumat (17/7). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/wsj - (ABRIAWAN ABHE/ANTARA FOTO)

Per Ahad (19/7), BNPB mencatat total korban jiwa mencapai 36 orang dan masih ada korban hilang yang belum ditemukan. “Dari Pusdalop kami menerima data 36 orang meninggal dunia, 40 orang hilang namun sebagian telah ditemukan dalam keadaan selamat dan 58 orang luka-luka,” ujar dia.

Selain itu, sebanyak 15.994 jiwa juga terdampak akibat banjir bandang yang terjadi pada Senin (13/7) pekan lalu itu. Banjir juga merendam 4.202 unit rumah warga dan mengakibatkan 14.483 jiwa terpaksa mengungsi.

Raditya merinci, dari 36 korban jiwa tersebut sebanyak 12 orang dari Kecamatan Masamba dan 24 orang dari Kecamatan Baebunta. Kemudian, terdapat juga kelompok rentan yang terdampak bencana tersebut. “Sebanyak 2.530 jiwa lansia, 870 balita dan 124 di antaranya masih bayi serta 137 ibu hamil,” kata dia.

Selama sepekan lalu, banjir besar melanda sejumlah daerah di Indonesia. Selain di Luwu Utara, banjir juga melanda Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Barat, hingga Papua Barat. Di Sorong, Papua Barat, empat orang dinyatakan meninggal dunia.

Banjir di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, bahkan mencapai atap rumah warga. Ribuan kepala keluarga (KK) terpaksa mengungsi ke balai desa hingga gedung sekolah. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Konawe Herianto Pagala mengatakan, banjir mengakibatkan dua desa terisolasi. Warga terdampak banjir di daerah itu, tercatat 2.719 sebanyak KK atau 8.314 jiwa.

photo
Kondisi Desa Laloika dan Desa Wonuamonapa yang terendam banjir, Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/7). - (JOJON/ANTARA FOTO)

“Banjir di Kabupaten Konawe juga merendam rumah ibadah, seperti masjid, dan tanaman padi, cokelat, serta hortikultura yang luasnya puluhan hektare,” ujar dia.

Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indra Gustari menyebut, berdasarkan evaluasi yang dilakukan pada akhir Juni 2020, sebanyak 64 persen wilayah di Indonesia sudah memasuki musim kemarau. “Jadi, masih ada 36 persen wilayah kita yang musim hujan,” kata Indra.

Wilayah-wilayah yang berada pada musim hujan tersebut, masih berpotensi mengalami curah hujan yang tinggi. Terkait curah hujan di Kabupaten Luwu Utara, BMKG melihat curah hujan cukup tinggi di daerah tersebut hampir sepanjang tahun.

“Hampir sepanjang tahun curah hujannya di atas 50 milimeter dan puncak hujan di daerah Kecamatan Masamba, yaitu akhir Maret dan Juni,” ujar dia.

Menurut Kepala Bidang Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim Badan Informasi Geospasial (BIG) Ferrari Pinem, material sedimen yang dibawa oleh banjir bandang biasanya berasal dari perbukitan curam. Kemudian mengalir cepat akibat tingginya curah hujan hingga meluap di sungai yang berada pada dataran atau kipas aluvial di bawahnya.

Berdasarkan data topografi dari DEMNAS, ungkap Ferrari, diperoleh profil kemiringan lereng pada aliran sungai penyebab terjadinya banjir bandang yang melanda Masamba, Sabbang, dan Baebunta. Dari analisis ini dapat diidentifikasi bahwa kemiringan lereng yang curam di hulu dapat menjadi salah satu faktor penyebab banjir bandang pada dataran aluvial di bawahnya.

"Walaupun jarak yang cukup jauh dari hulu sampai ke dataran aluvial, tapi morfometri sungai yang terjal di hulu sudah cukup untuk mengalirkan material sedimen serta ditambah akumulasi aliran dan sedimen pada pertemuan cabang sungai," katanya.

Ferrari menjelaskan, banjir bandang di Masamba dan sekitarnya akibat akumulasi material sedimen terbawa dari hulu di utara karena tingginya curah hujan beberapa hari terakhir. Intensitas hujan sedang hingga tinggi telah terjadi sejak 12 Juli 2020 (sehari sebelum banjir bandang 13 Juli 2020) berdasarkan pengamatan curah hujan dan satelit cuaca (BMKG).

Terdapat pula pertemuan cabang sungai pada perbatasan dengan dataran aluvial. Sehingga, material sedimen yang terbawa meluap karena tak terbendung oleh derasnya aliran air dari hulu dan menurunnya kecepatan aliran pada gradien sungai yang landai di dataran aluvial.

"Akibatnya, banjir bandang melanda wilayah dataran aluvial tersebut. Kasus serupa juga terjadi di Kecamatan Sabang hingga Baebunta, di mana pertemuan beberapa cabang sungai dari perbukitan di hulu, mengakibatkan luapan banjir bandang di dataran aluvial di bawahnya," kata Ferrari dalam rilis kepada Republika.

photo
Peta Morfologi - Badan Informasi Geospasial (BIG)

Dari analisis peta geologi dan peta potensi gerakan tanah (Badan Geologi), daerah bencana merupakan aluvial yang terdiri dari lumpur, lempung, pasir, kerikil dan kerakal di mana bagian utara yang menjadi sumber material bandang tersusun atas Formasi Bone-bone berupa perselingan batu pasir, konglomerat, napal dan lempung tufan. Di bagian lereng bawah terdapat endapan lava basalt dan andesit, breksi gunung api dan tuf dari formasi Lamasi.

Potensi gerakan tanah (kemudahan terjadinya longsor) pada daerah ini berada pada level menengah sampai tinggi, terutama pada daerah di lembah sungai, gawir, dan tebing lereng. Hal ini dikuatkan juga dari analisa geomorfologi di mana wilayah atas terdiri dari perbukitan dengan lereng yang terjal dan curam.

Berdasarkan pengamatan dari citra satelit resolusi tinggi (CSRT), wilayah sepanjang sungai banyak ditemukan area terbangun dan lahan pertanian. "Ini tentunya mengurangi daya dukung lahan dalam menahan laju air yang jatuh di atasnya," kata Ferrari.

Ketidakmampuan lahan untuk menyerap air akibat ketidaksesuaian penggunaan lahan pada daerah hulu, ungkapnya, akan berimbas terhadap terjadinya banjir bandang. Selain itu ketidaksesuaian lahan juga dapat meningkatkan risiko bencana. Rehabilitasi lahan dan hutan pada daerah hulu perlu dilakukan untuk mengurangi risiko bencana di kemudian hari.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat