IHWANUL KHIRAM | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Heboh Hagia Sophia!

Beragam pihak menanggapi berbeda pengembalian status Hagia Sophia.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Heboh di luar dan heboh di dalam. Itulah reaksi berbagai pihak setelah Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan, menandatangani keputusan mengembalikan fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid, pada Jumat (10/07) lalu. Salah satu keputusan penting dalam sejarah Turki modern ini mengakhiri fungsi Hagia Sophia sebagai museum selama 86 tahun.

Penggunaan Hagia Sophia sebagai tempat ibadah buat umat Islam ini secara resmi akan ditandai dengan shalat Jumat yang rencananya akan digelar pada Jumat (24/07) mendatang. Penandatanganan alih-fungsi Hagia Sophia ini adalah untuk menindaklanjuti amar keputusan Mahkamah Agung Turki yang membatalkan keputusan Pemerintah Turki pada 1934, yang mengubah Hagia Sophia dari masjid menjadi museum.

Pada 2016, sebuah organisasi yang peduli dengan perlindungan budaya dan warisan Islam mengangkat masalah pengembalian fungsi Hagia Sophia. Mereka lalu membawa masalah ini ke pengadilan. Dan, setelah bersidang beberapa kali, pengadilan pun mengabulkan gugatan itu pada 10 Juli lalu.

Sebelum dijadikan museum, Hagia Sophia adalah gereja. Ia dibangun antara tahun 532-537 Masehi, pada Pemerintahan Kaisar Romawi Justinian I. Ketika Sultan Muhammad al Fatih menaklukkan Kota Konstantinopel pada 1453 dan mengubah namanya menjadi Istanbul, ia juga mengalihkan fungsi Hagia Sophia sebagai masjid.

Lalu pada 1934, Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Republik Turki modern yang sekuler, menjadikan Hagia Sophia sebagai museum. Hagia Sophia terletak di Distrik Sultahahmet di Istanbul, merupakan bangunan yang sangat monumental dan indah. 

Dengan latar belakang itu bisa dipahami bila kehebohan muncul di mana-mana, di dalam dan di luar negeri Turki, ketika Hagia Sophia dialihkan kembali fungsinya sebagai masjid. Konstantin Kucachev, kepala Komite Urusan Internasional Dewan Federasi Rusia, mengatakan keputusan Pemerintah Turki telah memicu respons negatif di seluruh dunia Kristen.

Gereja Ortodoks Rusia, seperti dilaporkan kantor berita Rusia TASS, menyesalkan pengalihan fungsi itu. Para pejabat pemerintah dan Gereja Ortodoks Rusia menganggap Hagia Sophia mempunyai nilai sakral bagi mereka.

Bagi para penganut Kristen Ortodoks, masih menurut TASS, posisi Hagia Sophia sangat penting. Rusia dianggap sebagai pelindung Kristen Ortodok secara politik dan Yunani menjadi pusat Ortodoks secara rohani. 

Patriarkh Bartolomeus, Uskup Agung Konstantinopel, dan pemimpin spiritual bagi 300 juta orang Kristen Ortodoks di dunia menyebutkan, keputusan Pengadilan Turki telah menyebabkan keretakan hubungan antara Timur dan Barat. Ia melihat Turki berisiko menyebabkan ‘kesenjangan emosional’ dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut Kristen Ortodoks, ketika mengubah fungsi Hagia Sophia jadi masjid.

 
Hanya beberapa negara, terutama yang ‘berseteru secara politik’ dengan Turki, yang memberikan respon negatif terhadap pengalihan fungsi Hagia Sophia, seperti Arab Saudi, Mesir, dan sekutu mereka di Teluk.
 
 

Menteri Kebudayaan Yunani Lina Mandoni mengatakan keputusan Turki mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi masjid merupakan provokasi negatif bagi dunia beradab. Menurutnya, sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Erdogan telah mengambalikan negaranya ke enam abad yang lampau.

Kritik terhadap keputusan Turki  juga datang dari Amereka Serikat (AS), Uni Eropa, dan UNESCO. Pada umumnya, mereka menyesalkan keputusan Turki dan menganggap pengalihan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid sebagai ‘merusak nilai global’ dari monumen internasional itu.

Sementara itu, negara-negara Arab dan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja-sama Islam (OKI) pada umumnya bersikap netral menanggapi keputusan Turki mengubah Hagia Sophia menjadi masjid. Hanya beberapa negara, terutama yang 'berseteru secara politik’ dengan Turki, yang memberikan respons negatif terhadap pengalihan fungsi Hagia Sophia, seperti Arab Saudi, Mesir, dan sekutu mereka di Teluk.

Seperti diketahui, para pemimpin negara-negara tersebut menganggap Presiden Erdogan sebagai pendukung Ikhwanul Muslimin (IM). Padahal, IM — yang pernah mengantarkan Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir dalam pemilu yang demokratis —  dianggap sebagai organisasi teroris dan terlarang di negara-negara itu.

Mereka juga menentang keras sepak terjang Presiden Erdogan yang dianggap telah mengacak-acak negara-negara Arab, seperti intervensi Turki di Suriah, Irak, dan terakhir di Libia. Saking tidak sukanya mereka terhadap Turki Erdogani, jalan-jalan yang memakai nama sultan Kekhalifahan Utsmaniyah, atau Ottoman, pun mereka ganti. 

Penolakan keputusan Presiden Erdogan lebih banyak disuarakan melalui media resmi atau setengah resmi negara-negara tersebut. Terutama melalui para penulis kolom. Alasan atau kritik terhadap Presiden Erdogan pun macam-macam. Dari dalih agama, budaya, hingga ke politik dan sejarah. Mereka juga menuduh Presiden Erdogan sebagai berambisi ingin menjadi sultan Usmaniyah di masa kini.

Di dalam negeri Turki sendiri juga terjadi kehebohan dengan keputusan pengalihan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid kembali. Namun, kali ini berupa dukungan gegap gempita dari rakyat Turki, terutama oleh para pendukung Presiden Erdogan, baik offline maupun online di media sosial. Ribuan orang berkumpul di halaman dan taman Hagia Sophia segera setelah Presiden Erdogan menandatangani keputusan itu.

 
Erdogan menambahkan, Hagia Sophia akan terbuka untuk semua orang — Muslim, Kristen, dan siapa saja yang ingin berkunjung. 
 
 

Sejak Erdogan, 66 tahun, terpilih sebagai Perdana Menteri Turki pada 2003 dan kemudian presiden pada 2014 hingga kini, ia tetap menjaga identitas Turki sebagai negara sekuler yang dicanangkan oleh ‘Bapak Turki Modern’ Kemal Ataturk.

Namun, secara perlahan ia pun mengubah hal-hal yang ia anggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Antara lain mencabut larangan berjilbab di lembaga-lembaga dan institusi pemerintah, melarang menjual minuman keras dalam jarak sekian kilometer dari tempat-tembat ibadah dan pendidikan, dan seterusnya. Terakhir ia menandatangani keputusan alih fungsi Hagia Siphia dari museum menjadi masjid.

Presiden Erdogan mengatakan, pengalihan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid adalah bagian dari kedaulatan Turki. Menurutnya, ia menandatangani alih fungsi itu berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Turki.

"Saya tidak akan menerima campur tangan pihak luar dalam urusan dalam negeri Turki," kata Erdogan. Ia meminta semua pihak menghormati keputusan itu. Termasuk di dalamnya pengalihan urusan administrasi Hagia Sophia kepada Otoritas Urusan Agama Turki. 

Erdogan menambahkan, Hagia Sophia akan terbuka untuk semua orang — Muslim, Kristen, dan siapa saja yang ingin berkunjung. Sebelumnya, ia juga mengatakan Hagia Sophia akan dikembalikan ke aslinya — merujuk pada masa Kekhalifahan Usmaniyah. Hal itu berarti untuk masuk Hagia Sophia adalah gratis seperti halnya memasuki masjid, dan tidak seperti masuk museum yang harus membayar.

Juru bicara kepresidenan Turki Ibrahim Kalin mengatakan, alih fungsi Hagia Sophia tidak akan mengurangi sedikit pun identitas sejarah globalnya. Ia pun berharap lebih banyak orang dapat mengunjunginya. Ia mengatakan akan ada tempat khusus di Hagia Sophia untuk ibadah umat Kristiani, sehingga hal itu menjadi simbol perdamaian umat manusia.

Jadi ketika Anda mengunjungi Hagia Sophia, baik untuk sekadar berkunjung atau beribadah, terserah yang ada di pikiran Anda. Yang jelas, Hagia Sophia adalah bangunan yang megah, indah, sangat mengagumkan, dan penuh dengan catatan sejarah, terlepas apakah ia gereja, masjid, museum, dan kini masjid lagi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat