Hikmah Republika Hari ini | Republika

Hikmah

Membentengi Hasrat Duniawi

Sebagian besar hasrat duniawi itu berada dalam kamar syubhat dan haram.

Oleh AHMAD AGUS FITRIAWAN

OLEH AHMAD AGUS FITRIAWAN 

Arus gelombang materialisme yang bergandengan dengan konsumerisme makin menjepit kejujuran dan hati nurani manusia. Mereka mendesak manusia untuk melepaskan diri dari kesederhanaan dan kemiskinan.

Seolah tidak ada lagi yang namanya sederhana, yang ada hanyalah kemewahan. Tidak ada lagi hidup sahaja, yang ada adalah hidup konsumtif berbelanja.

Hal ini disebabkan manusia terlalu banyak menuruti hasrat duniawi. Dan, sebagian besar hasrat duniawi itu berada dalam kamar syubhat dan haram, sangat sedikit keinginan yang beridentitaskan kehalalan.

Maka upaya menghindarinya adalah dengan menurunkan hasrat duniawi serendah-rendahnya. Makin sedikit hasrta duniawi manusia untuk memiliki, makin sedikit ia tejebak dalam kesyubhatan.

Syekh Abdullah bin Hijazi al-Khalwati dalam Syarah Hikam mengatakan, ada empat hal yang dapat digunakan sebagai pegangan membentengi hasrat duniawi agar tidak terhanyut dalam arus gelombang materialisme dan konsumerisme.

Pertama, shihhatul yaqin, yaitu memiliki keyakinan benar akan adanya rezeki yang dibagikan oleh Allah SWT. Coba ingatkan diri kita ketika ingin melakukan dan mengambil sesuatu yang berbau haram.

Ingat bahwa tanpa melakukan itu pun Allah SWT akan memberikan rezekinya kepada kita, karena semua makhluk di bumi ini, Allah SWT telah siapkan rezekinya masing-masing. Maka janganlah kawatir tidak mendapat bagian atau terlewatkan.

Kedua, kamalut ta'alluqi birabbil alamin, menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Mengenai rezeki janganlah sampai menggantungkan diri pada sesama manusia. Karena hal ini akan menyebabkan kita menjadi seorang peminta-minta.

Sebagai seorang Muslim marilah kita berusaha sekuat tenaga mencari yang halal, meskipun tidak seberapa. Sesungguhnya keringat yang terkucur itulah tanda kehalalan yang paling autentik.

Suatu ketika Rasulullah SAW pernah ditanya sahabat, “Ya Rasulullah, saya memiliki seekor unta, manakah lebih baik, saya biarkan dengan bertawakal, ataukah diikat dengan tali kemudian saya tawakkal?” Rasulullah SAW menjawab, “Ikatlah dia dengan tali kemudian kamu bertawakal.” Artinya, pasrah dan menggantungkan diri kepada Allah SWT itu boleh dilakukan setelah ada usaha yang maksimal.

Ketiga, wujudus sukun ilaihi, merasa tenang dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT. Bahwa hidup dengan kekayaan ataupun kesederhanaan juga hidup kecukupan semuanya dapat diterima dengan lapang dada. Kekurangan merupakan cobaan kemewahan juga merupakan ujian dari-Nya. Bagaimanapun keadaan hidup di dunia ini diterima dan dijalani dengan tenang dan tenteram.

Keempat, thuma’ninatul qalbi bihi, merasa tenang ketika ingat bahwa segala yang berlaku tidak lain kecuali kehendak Allah SWT. Ini adalah urusan hati. Ketika segalanya berjalan dan terjadi pada diri kita, entah itu membuat diri kita nyaman atau enggan.

Ingatlah dengan firman Allah SWT, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’d [13]: 28).  Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat