KH Abdul Hamid Wahid MAg, Rektor Universitas Nurul Jadid (Unuja) | Islam Digest/Republika

Hiwar

KH Abdul Hamid Wahid: Semai Trilogi-Panca Kesadaran Santri

Nilai-nilai luhur dari Triologi dan Panca Kesadaran tak hanya untuk santri, tapi juga mahasiswa.

 

Pesantren kini tidak sekadar memadukan corak pendidikan Islam tradisional dan modern. Lebih lanjut, tak sedikit lembaga yang merintis perguruan tinggi. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Nurul Jadid, yang beralamat di Karanganyar, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.

Menurut Rektor Universitas Nurul Jadid (Unuja) KH Abdul Hamid Wahid MAg, kampus tersebut selalu berupaya menanamkan nilai-nilai luhur dari Triologi dan Panca Kesadaran Santri. Konsep tersebut dirumuskan KH Zaini Mun'im.

Tentunya, legasi sang pendiri sekaligus pengasuh pertama Pesantren Nurul Jadid itu tidak hanya mencakup kalangan santri, melainkan juga mahasiswa di Unuja. "Setelah menjadi universitas, kemudian itu kita masukkan secara formal ke dalam isi perguruan tinggi. Jadi, dasar-dasarnya itu adalah Trilogi dan Panca Kesadaran," ujarnya.

Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama dengan Kiai Abdul Hamid baru-baru ini.

Bisa diceritakan tentang sejarah Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Jadid?

Pendirian pesantren ini dimulai dari zaman dahulu, tepatnya ketika terjadi Agresi Militer Belanda II. Pada saat itu, pendiri Nurul Jadid, KH Zaini Munim melarikan diri dari kejaran Belanda di Pulau Madura.

Menurut rencana, beliau mau bergabung dengan pasukan Hizbullah yang ada di Yogyakarta. Namun, kemudian beliau mampir di sini (Probolinggo), hingga akhirnya mendapatkan titipan dua orang santri. Beliau akhirnya tidak jadi melanjutkan niatnya bergabung dengan Hizbullah. Oleh karena adanya dua santri titipan itu, akhirnya tergerak hati beliau untuk mengembangkan lembaga pendidikan pesantren.

 
Sejarah pondok Pesantren Nurul Jadid
(Suara: KH Abdul Hamid Wahid)
 

Dari hanya dua orang, jumlah santri yang diajarkannya kemudian terus bertambah pesat. Sampai saat ini, santri yang menetap di Ponpes Nurul Jadid ada sekitar 8.000 orang. Bila ditambah dengan santri yang tak menetap, maka jumlahnya bisa mencapai 13 ribu, baik santri putra maupun putri.

Apa yang melatari pesantren sehingga menghadirkan perguruan tinggi?

Ini sebetulnya amanat dari NU (Nahdlatul Ulama) dalam sebuah konferensi wilayah di Lumajang, Jawa Timur. NU waktu itu mempertimbangkan, pendidikan pesantren seharusnya tak sekadar menggunakan pembelajaran pola-pola pesantren, tetapi juga dengan pola akademik yang sistematis.

Lalu, NU mengamanatkan kepada kita untuk membikin perguruan tinggi pada 1968. Pertama-tama, kita membuat Akademi Dakwah Ilmu Pendidikan NU (ADIPNU). Setelah itu, terus lembaga itu berkembang menjadi perguruan tinggi.

Pada tahun 1980-an, kami membentuk dua fakultas lagi, yakni Faklutas Ilmu Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Dakwah sehingga menjadi Institut Agama Islam (IAI). Pada tahun 1990-an pendidikan komputer mulai dikembangkan. Itu kemudian menjadi Sekolah Tinggi Teknologi (STT).

Pada tahun 2000-an awal, kita juga mendirikan Fakultas Ilmu Kesehatan sehingga menjadi Sekolah Tinggi Kesehatan (StiKes)Nurul Jadid. Nah, pada 2017 lalu, kampus-kampus yang ada kemudian digabungkan menjadi satu, yaitu Universitas Nurul Jadid atau Unuja.

 
Nilai-nilai Dasar yang Diajarkan Pesantren
(Suara: KH Abdul Hamid Wahid)
 

Apa visi dan misi Unuja sendiri?

Sebenarnya kita berkeinginan agar kampus ini benar-benar menjadi lembaga pendidikan tinggi yang berbasis pesantren. Mungkin, saat ini masih ada keterbatasan, semisal pada asrama dan lain-lain. Namun, kita selalu upayakan agar Unuja dapat terus berkembang.

Mahasiswa Universitas Nurul Jadid sekarang tidak hanya dari Pesantren Nurul Jadid, tetapi juga banyak yang dari luar pesantren. Mahasiswa yang tinggal di dalam pesantren itu baru kurang lebih 30 persen, atau sekitar 1.500 orang mahasiswa dari total seluruhnya yang mencapai 4.000 orang.

Jadi, sekarang kita memikirkan pembangunan asrama mahasiswa. Kita berharap, nantinya kampus ini bisa menggabungkan kekhasan santri dan mahasiswa. Harapannya, (Unuja) bisa menjadi kampus yang unggul dengan berbasis pesantren.

 
Cita-cita Pendiri Pesantren
(Suara: KH Abdul Hamid Wahid)
 

Bagaimana pendidikan karakter yang khas pesantren diajarkan dan diterapkan di kampus?

Sebetulnya di Pesantren Nurul Jadid ini ada nilai-nilai dasarnya, yaitu Trilogi dan Panca Kesadaran yang dibuat KH Zaini Munim. Trilogi itu, pertama-tama, santri harus memperhatikan kewajiban fardhu ain. Kedua, tidak melakukan dosa besar. Ketiga, selalu berbaik adab kepada Allah SWT, makhluk, dan lingkungan sekitar.

Adapun panca-kesadarannya adalah kesadaran beragama, berilmu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta berorganisasi. Itu sebenarnya dasar-dasar penempaan santri yang ada di Ponpes Nurul Jadid.

Setelah kini memiliki universitas, kami memasukkan Trilogi dan Panca Kesadaran warisan Kiai Zaini ke dalam pengajaran formal dan isi perguruan tinggi. Jadi, dasarnya itu adalah Trilogi dan Panca Kesadaran.

Bagaimana legasi dari sang pendiri ponpes menguatkan karakter kampus ini?

Ada dua dimensi yang berbeda antara pesantren dan kampus ini. Pertama, pesantren itu dimensinya lebih kepada konservasi dan transmisi nilai. Jadi, sifatnya lebih kepada bertahan. Sementara, kampus di satu sisi lebih kepada pengembangan ilmu pengetahuan.

Walaupun sekarang belum terlaksana penuh, kita berharap dua kekuatan itu nantinya bisa digabungkan menjadi satu dalam kampus ini. Misalnya, dalam aspek dasar pesantren itu terdapat kemandirian, kesederhanaan, dan lain-lain. Itu menjadi kekuatan dasar pesantren.

Dalam hal pekerjaan, misalnya, santri itu tidak harus selalu tergantung untuk mengikuti orang. Justru, mereka mesti didorong untuk bagaiman menciptakaan lapangan pekerjaan. Dan, itu yang berada dalam jati diri kemandirian santri sebenarnya.

Santri tidak harus menjadi pegawai dan sebagainya. Asalkan dia bisa hadir dan memiliki niat untuk berjuang di tengah masyarakat, maka bisa berperan besar. Bahkan, dengan kiprahnya itu ia bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru meskipun lapangan pekerjaan itu mungkin jauh berbeda dengan yang ditekuninya selama ini.

Itu dari aspek kemandirian. Jadi, karakter mandiri itu sebetulnya adalah kekuatan dasar santri. Nah, ketika itu kita gabungkan, harapannya itu juga menjadi kekuatan dari sarjana- sarjana lulusan Universitas Nurul Jadid.

Di era disrupsi seperti saat ini, apa saja tantangan bagi para santri dan mahasiswa?

Di era ini, kita memang dituntut untuk lebih jeli dalam melihat. Sekarang, misalnya, telah banyak profesi yang hilang atau tercerabut dari pekembangannya. Namun, lahir pula profesi-profesi baru. Nah, ini dirasakan oleh masyarakat secara umum, termasuk para santri dan mahasiswa.

Kalau kita berharap, mahasantri--yakni mahasiswa dan para santri --Nurul Jadid mampu melihat peluang-peluang. Kalau santri ikut berperan, terjun ke tengah masyarakat dan melihat perubahan itu, sebenarnya itu adalah kodrat yang sudah melekat pada dirinya.

Jadi, mahasiswa dan santri harus terlibat dalam perubahan, mengambil tanggung jawab perubahan, dan sekaligus mampu melihat peluang. Kalau tidak terjun, mereka tidak akan bisa melihat permasalahan, kekurangan, serta peluang yang ada di lapangan.

Apa pesan Anda untuk para alumni Unuja serta lulusan ponpes ini?

Saya kembali kepada apa yang selalu menjadi nasihat pendiri (Ponpes Nurul Jadid), KH Zaini Munim. Beliau mengatakan, Zalim bagi santri Nurul Jadid dan berdosa kalau kemudian dia hanya diam saja, hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya memikirkan kehidupannya sendiri, pendidikannya sendiri, ekonominya sendiri --tanpa berbuat sesuatu kepada masyarakat.

Nah, ini sebenarnya adalah tugas dasar yang melekat pada santri Nurul Jadid. Bahkan, itu sebetulnya juga tugas dasar kaum santri secara kesleuruhan. Kita harus mempunyai rasa tanggung jawab sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab yang harus kita emban sebagai agen perubahan.

Setelah memikirkan tentang kehidupan diri kita dan lain-lain, tentu kita harus berpikir bagaimana berbuat sesuatu untuk masyarakat. Memberikan peran konkret sekecil apa pun tampaknya itu. Jadi, ini barangkali sesuai dengan apa yang disampaikan oleh pendiri dan pengasuh pertama ponpes ini.

photo
Wisuda mahasiswa Universitas Nurul Jadid Paiton - (Islam Digest/Dok Unuja)

Sambut Penerapan ‘New Normal

Pemerintah akan menerapkan masa tatanan normal baru atau new normal di berbagai bidang. Hal itu demi mewujudkan Indonesia yang tangguh dalam menghadapi pandemi Covid-19. Nuansa new normal pun akan meliputi banyak tempat, tak terkecuali pesantren. Sebagai contoh, sejumlah pesantren di Jawa Timur sudah mulai bersiap untuk memanggil para santrinya agar kembali belajar di lembaga masing-masing.

Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid KH Abdul Hamid Wahid menyambut baik wacana penerapan new normal. Kendati demikian, lanjut dia, kalangan pesantren harus tetap berhati-hati dalam menjalankan protokol kesehatan demi mengantisipasi penularan Covid-19.

"Saya kira, walaupun dalam kondisi yang serba terbatas dan terpaksa, kita sambut baik new normal ini. Tetap harus kita lakukan secara berhati-hati, sesuai dengan prosedur yang ada," ujar Kiai Hamid saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Pesantren yang berlokasi di Karanganyar, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, pun terus bersiap dalam menyongsong pemberlakuan new normal. Menurut Kiai Hamid, pihaknya tentu tidak ingin pesantren menjadi kluster penularan Covid-19. Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan penyaringan secara ketat terhadap seluruh santri yang akan kembali ke pesantren.

"Tentu kita tidak ingin new normal ini menjadi arus balik gelombang kedua dari munculnya Covid-19, muncul episentrum baru, atau ledakan penyebaran pandemi yang baru," ucap Rektor Universitas Nurul Jadid (Unuja) itu.

 
Pesantren Menghadapi Covid-19
(Suara: KH Abdul Hamid Wahid)
 

Dia mengakui, pandemi yang dipicu virus corona baru itu sudah menjadi bagian dari realitas sekarang. Maka dari itu, adaptasi menjadi pilihan, terutama sebelum ditemukannya vaksin yang dapat menangkal atau mengobati infeksi virus tersebut. Pihak Ponpes Nurul Jadid sendiri, sambung dia, telah mengambil sikap setidaknya sejak Maret 2020 lalu. Tim gugus tugas Covid-19 pun telah dibentuk.

"Alhamdulillah, saat ini oleh pemerintah daerah dan kepolisian setempat kita dipercaya untuk menjadi pesantren percontohan atau pesantren tangguh yang menerapkan prosedur dan standar Covid-19 sesuai dengan protokol yang ada," kata Kiai Hamid.

Pihaknya juga sudah mengambil keputusan untuk memulangkan para santri ke rumah masing-masing. Sebelum langkah itu diwujudkan, pesantren ini melakukan lockdown secara total. Dengan begitu, keluarga mereka akan tetap terjamin aman ketika menerima buah hati dari tempat belajar.

Nantinya, Ponpes Nurul Jadid juga akan menerapkan kebijakan serupa dalam menyambut para santri yang kembali dari daerah masing-masing. "Ini agar kita dapat berdamai dengan pandemi, tetapi tetap melaksanakan tugas-tugas dengan baik," kata dia.

Menurut dia, setiap pengurus atau santri yang akan masuk ke pesantren nantinya harus mengikuti protokol kesehatan yang telah disiapkan. Misalnya, harus membawa surat keterangan sehat, melakukan rapid test lagi, dan melakukan karantina selama 14 hari.

Pemerintah sendiri telah resmi memutuskan tahun ajaran baru sekolah akan dimulai pada Juli 2020 mendatang. Kiai Hamid berharap, kembalinya seluruh santri ke Ponpes Nurul Jadid akan terlaksana tanpa kendala. Untuk diketahui, beberapa pengurus sudah mulai kembali ke ponpes itu sejak 10 Juni lalu. Tak sedikit dari mereka yang juga berstatus mahasiswa di Universitas Nurul Jadid.

"Jadi Insya Allah, Nurul Jadid sudah siap menghadapi new normal," tutupnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat