Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin bersiap memberikan kesaksian dalam sidang di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu. | ANTARA FOTO

Nasional

Kemenkumham Lepas Tangan Soal Nazaruddin

Kemenkumham enggan disalahkan terkait pemberian remisi 49 bulan kepada Nazaruddin.

 

JAKARTA –- Mantan komisioner KPK Saut Situmorang menegaskan surat keterangan yang pernah dikeluarkan pimpinan KPK periode 2015-2019 kepada mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin bukanlah justice collaborator (JC). Saut menekankan, surat keterangan bekerja sama berbeda dengan JC.

“Pada 9 Juni dan 21 Juni 2017, KPK menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk M Nazaruddin karena yang bersangkutan sejak proses penyidikan, penuntutan, dan di persidangan telah mengungkap perkara korupsi. Jadi, yang diberikan surat keterangan bekerja sama, (bukan JC),” kata Saut kepada Republika, Kamis (18/6).

Syarat utama seorang mendapatkan JC yakni bukan merupakan pelaku utama dan membuka atau memberi keterangan sehingga kasusnya berkembang pada peran pihak lain. Dalam pemberian JC pun dilakukan setelah adanya masukan dari jaksa penuntut, penyidik, pimpinan KPK, dan lainnya.

Hal yang paling utama, lanjut Saut, JC diberikan saat proses hukum masih berjalan dan saat akan diputuskan oleh majelis hakim. Sementara, surat keterangan bekerja sama yang diberikan KPK pada 2017 terjadi saat perkara hukum Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

photo
Terpidana kasus wisma atlet Muhammad Nazaruddin bersiap menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Gedung KPK, Jakarta Selatan. - (ANTARA FOTO)

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) enggan disalahkan terkait keputusan pemberian remisi 49 bulan kepada terpidana korupsi Muhammad Nazaruddin. Kemenkumham bersikukuh bahwa pemberian remisi sudah sesuai aturan.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham Rika Aprianti menyatakan, dua surat yang dikeluarkan KPK untuk Nazaruddin bisa dikategorikan sebagai JC. Remisi yang diberikan kepada Nazaruddin didasarkan atas hal tersebut sebagaimana Pasal 34A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.

“Status JC untuk Nazaruddin juga ditegaskan pimpinan KPK pada 2017 dan dimuat di banyak media massa. Dalam Surat Keterangan dari KPK Nomor: R-2250/55/06/2014, Muhammad Nazaruddin disebut sudah menunjukkan kerja sama yang baik dalam mengungkap perkara tindak pidana korupsi,” ujar Rika.

Selain surat keterangan yang diberi KPK, kata Rika, Nazaruddin juga telah membayar lunas subsider sebesar Rp 1,3 miliar yang diputus majelis hakim. Karena alasan itu, Nazaruddin mendapat hak remisi sejak 2014 sampai dengan 2019, baik remisi umum maupun remisi khusus keagamaan, dan remisi terakhir selama dua bulan, yakni remisi khusus Idul Fitri 2020.

“Pemberian remisi itu menegaskan status Nazaruddin sebagai JC karena remisi tidak mungkin diberikan pada narapidana kasus korupsi yang tidak menjadi JC sesuai PP 99/2012,” ujar Rika.

Sementara terkait pemberian cuti menjelang bebas kepada Nazaruddin, kata Rika, tidak mensyaratkan rekomendasi dari instansi terkait, dalam hal ini KPK. “Diberikannya hak cuti menjelang bebas karena yang bersangkutan telah memenuhi syarat administratif maupun syarat substantif,” kata Rika.

 
Sehingga, pemberian remisi kepada Nazaruddin ini semakin menguatkan indikasi bahwa Kemenkumham tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi dengan mengabaikan aspek penjeraan bagi pelaku kejahatan.
 
 

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) remisi kepada Nazaruddin justru bertentangan dengan Pasal 34 A PP 99/2012. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, syarat terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi, di antaranya adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau JC. Sedangkan, menurut mantan komisioner KPK, Nazaruddin sendiri tidak pernah mendapatkan status sebagai JC.

“Sehingga, pemberian remisi kepada Nazaruddin ini semakin menguatkan indikasi bahwa Kemenkumham tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi dengan mengabaikan aspek penjeraan bagi pelaku kejahatan,” ujar Kurnia.

Sebab, lanjut Kurnia, berdasarkan putusan dua perkara korupsi yang menjerat Nazaruddin, seharusnya ia baru bisa menghirup udara bebas pada 2024 atau setelah menjalani masa pemidanaan 13 tahun penjara. Dengan demikian, dengan model pemberian semacam ini, ke depan pelaku kejahatan korupsi tidak akan pernah mendapatkan efek jera.

Kurnia menuturkan, keputusan Kemenkumham untuk memberikan remisi pada Nazaruddin seolah mengabaikan kerja keras penegak hukum dalam membongkar praktik korupsi. Terlebih lagi, kasus Wisma Atlet yang menjerat Nazaruddin memiliki dampak kerugian negara yang besar, yakni mencapai Rp 54,7 miliar.

Tak hanya itu, Nazaruddin juga dikenakan pasal suap karena terbukti menerima dana sebesar Rp 4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah. Bahkan, aset yang dimilikinya sebesar Rp 500 miliar pun turut dirampas karena diduga diperoleh dari praktik korupsi.

Selain itu, pada akhir 2019, Ombudsman sempat menemukan ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibandingkan sel terpidana lainnya. Tentu, jika temuan ini benar, semestinya Kemenkumham tidak dapat memberikan penilaian berkelakuan baik pada Nazaruddin sebagaimana disinggung dalam Pasal 34 Ayat (2) huruf A PP 99/2012.

ICW mendesak Menkumham Yasonna Laoly menganulir keputusan cuti menjelang bebas atas terpidana Muhammad Nazaruddin. ICW juga meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Yasonna karena telah abai dalam mengeluarkan keputusan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat