
Kabar Utama
Ormas Islam Tolak RUU HIP
Semua ormas Islam sepakat RUU HIP cacat hukum dan interpretasi.
JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila terus menuai penolakan dari berbagai kalangan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi massa Islam turut menyuarakan penolakannya terhadap RUU tersebut.
Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis menyebut, semua ormas Islam telah sepakat bahwa RUU HIP cacat hukum dan cacat interpretasi. Sebab, perspektif dan tafsir RUU tersebut tak sesuai dengan dasar negara Indonesia. RUU HIP dinilai mempunyai haluan sendiri yang berbeda dengan popok-pokok haluan Pancasila yang asli.
Menurut dia, ada tiga hal pokok yang fatal dari RUU HIP. Pertama, konsideran dalam RUU HIP tidak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Padahal, kata Kiai Cholil, hal ini merupakan dasar utama dalam membicarakan bagaimana Pancasila menjaga titik persatuan dan menolak kekejaman.
"Tak mungkin akan bicara ideologi Pancasila tanpa berpijak pada sejarah di mana Pancasila pernah dicoba untuk diganti dengan komunisme. Peristiwa itulah yang melahirkan peringatan Hari Kesaktian Pancasila," kata Kiai Cholil dalam pesan tertulis yang diterima Republika, Senin (15/6).
Kesalahan fatal kedua, kata dia, terdapat pada pasal 7 ayat 2 RUU HIP yang berbunyi, “.... ketuhanan yang berkebudayaan”. Menurut Kiai Cholil, frase ini sungguh dilematis karena mengganti nilai-nilai ilahiyah dan fundamental keyakinan masyarakat yang transenden dan sakral dengan nilai kebudayaan manusia yang relatif dan profane. "Frase pasal 7 RUU HIP itu berpotensi mengubah negara ini berputar haluan jadi negara sekuler," ungkapnya.
Sedangkan kesalahan fatal ketiga adalah memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila. Bagi Cholil, hal ini bertentangan dengan Pancasila yang seutuhnya dan akan membuat negara ini hanya bertitik tekan pada masalah sosial dan politik, bahkan hanya fokus pada soal gotong royong.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah bersikap atas RUU HIP. Muhammadiyah berpendapat, RUU HIP tidak terlalu urgen dan pembahasannya tidak perlu dilanjutkan ke tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai, semua pihak sebaiknya fokus menjalankan ajaran Pancasila secara nyata. "Agenda terberat yang sangat penting dan prioritas ialah menjalankan Pancasila secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan disertai keteladanan para pejabat negara dan ketaatan warga bangsa," kata Haedar dalam siaran pers, Senin (15/6).
Haedar mengingatkan, peneguhan dan pengamalan Pancasila pada perangkat perundang-undangan yang kontroversial justru menjauhkan diri dari implementasi Pancasila. Apalagi, kata dia, keamanan dan persatuan sangat dibutuhkan dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Tak mungkin akan bicara ideologi Pancasila tanpa berpijak pada sejarah ketika Pancasila pernah dicoba untuk diganti dengan komunisme.KH CHOLIL NAFIS, Ketua Komisi Dakwah MUI
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyampaikan, PP Muhammadiyah telah mengkaji secara saksama materi RUU HIP. Berdasarkan kajian tahap pertama, tim PP Muhammadiyah, materi RUU HIP banyak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah undang-undang, terutama UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ia mengatakan, dalam pasal 5e UU 12/2011 dan penjelasannya, disebutkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Maknanya, peraturan perundang-undangan dibuat karena benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lapeksdam NU) meminta DPR tak lagi melanjutkan pembahasan RUU HIP. "Kami menolak dan meminta DPR tak perlu lagi melanjutkan pembahasan RUU HIP karena tidak memiliki urgensi," kata Ketua Lakpesdam NU Rumadi Ahmad kepada Republika, Ahad (14/6).
Menurut Rumadi, naskah akademik dan substansi dari RUU tersebut berpotensi mendorong adanya konflik ideologi yang pernah terjadi pada masa awal kemerdekaan atau saat Pilkada DKI Jakarta dan Pemilu Presiden beberapa waktu lalu.
Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) mengeluarkan maklumat tentang RUU HIP yang berisikan tujuh poin. Salah satu isi maklumat itu adalah meminta DPR menunda pembahasan RUU HIP sampai situasi kondusif. ICMI menyatakan, di tengah fokus dan konsentrasi bangsa yang terkuras untuk pandemi covid-19, pembahasan RUU HIP yang tergesa-gesa akan kontraproduktif, menimbulkan resistensi, dan menambah beban masyarakat.
Berdasarkan salinan maklumat ICMI yang diterima Republika, poin pertama yang ditekankan ICMI adalah meminta penyusunan RUU HIP harus mempertimbangkan aspek historis, filosofis, yuridis, dan sosiologis dari Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi yang disusun para pendiri bangsa.
Selain itu, berdasarkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan TAP MPR berada di atas UU. Maka, Ketetapan MPRS XXV/1966 sebagai roh hierarkis, harus menjadi landasan dalam pembentukan RUU HIP.
Poin ketiga, materi Pancasila jangan kembali ke narasi 1 Juni 1945, tetap lurus sesuai konsensus yang resmi, yaitu 18 Agustus 1945. Poin keempat, RUU HIP tidak menjadikan ruang lingkup Pancasila menjadi sempit, karena selain sebagai ideologi, Pancasila diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
ICMI juga menyatakan, hal yang lebih penting daripada RUU HIP adalah amandemen terhadap UUD 45 dengan memasukkan satu klausul atau pasal tentang kewajiban tiap warga negara melindungi ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan poin keenam meminta agar perumusan RUU HIP diikuti tingkat partisipasi publik yang lebih terbuka dengan mengikutsertakan segenap elemen masyarakat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.