Guru SMA Negeri 1 Kabila mengawasi ujian semester secara luar jaringan di rumah, di Poowo, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Selasa (9/6). Paradigma pedagogi menjadikan guru justru membuat pembelajaran daring kurang dinamis. | Adiwinata Solihin/ANTARAFOTO

Opini

Gamang Pedagogi Pascapandemi

Paradigma pedagogi menjadikan guru justru membuat pembelajaran daring kurang dinamis.

 

RANGGA ALMAHENDRA, Sekretaris Program Studi S1 Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Wabah virus korona menyerang hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. 

Kebijakan untuk menutup sekolah sementara dan menerapkan pembelajaran daring, ternyata memunculkan kegamangan pedagogi, bagaimana dosen dan guru memastikan tujuan pembelajaran bisa tercapai selama pandemi ini.

Pedagogi sering dimaknai sebagai the art of teaching atau seni dalam mengajar. Untuk semua produk seni yang indah, berlaku adagium beauty is in the eye of the beholder; keindahan itu bergantung pada siapa yang memandang.

Hal yang indah menurut dosen ataupun guru belum tentu dianggap indah oleh peserta didik. Di sinilah kegamangan pedagogi pembelajaran daring mulai mengemuka ketika pendidik dan peserta didik merasa apa yang disampaikan melalui daring tidak bisa “seindah” biasanya.

Paradigma pedagogi yang menjadikan dosen atau guru sebagai sumber pengetahuan utama (teacher led) justru membuat pembelajaran daring menjadi kurang dinamis dan tidak optimal bagi kedua belah pihak.

 
Pembelajaran dalam metode andragogi ini harus dirancang aktif dua arah, keterlibatan dan partisipasi peserta didik sangat diutamakan.
 
 

Muncullah kemudian ketidaknyamanan dua arah yang terjadi karena disonansi kognitif. Kegamangan pasti akan terjadi ketika proses belajar tereduksi maknanya hanya sekadar aktivitas ‘memindahkan’ pengetahuan.

Dan ketika saluran ini diubah, terjadilah kebingungan dalam proses pemindahan ini. 

Hal ini tentu berbeda dengan pandangan Jean Piaget, seorang psikolog pendidikan asal Swiss, yang mengatakan tujuan pendidikan bukanlah untuk menambah banyaknya pengetahuan, melainkan  mengoptimalkan potensi manusia untuk menciptakan hal-hal baru.

Sejurus dengan itu, John Maxwell mengemukakan bahwa, "People don't care how much you know until they know how much you care." Orang tidak peduli seberapa banyak yang kita ketahui, sampai orang mengetahui seberapa banyak yang kita peduli.

Pemahaman pedagogi ini yang kemudian dikritik oleh Malcolm Shepherd Knowles, yang memperkenalkan perspektif ‘andragogi’ untuk peserta didik yang lebih dewasa. Andragogi akan menempatkan peserta didik sebagai insan yang dewasa (andro) dan seharusnya menjadi fokus pembelajaran, bukan pada dosennya. 

Pembelajaran dalam metode andragogi ini harus dirancang aktif dua arah, keterlibatan dan partisipasi peserta didik sangat diutamakan. Konten pembelajaran pun dirancang bersama untuk mengangkat masalah kehidupan nyata.

 
Di sinilah, seharusnya pembelajaran daring bisa jadi momentum dosen memperkenalkan andragogi.
 
 

Skenario ini menekankan pada peserta didik yang dianggap sebagai sumber utama ide dan contoh-contoh. Lebih berkembang lagi, kemudian muncul istilah ‘heutagogi’ sebagai perluasan dari andragogi.

Dalam heutagogi ini metode belajar tak lagi dua arah, tapi datang dari berbagai arah (omnidirectional). Peserta didik bukan hanya berkontribusi dalam proses belajar, melainkan juga meramu sendiri hingga menciptakan agenda-agenda belajar yang relevan untuk aspirasi kehidupannya.

Di sinilah, seharusnya pembelajaran daring bisa jadi momentum dosen memperkenalkan andragogi, bahwa belajar bisa dari segala arah dan yang lebih penting lagi mengajak peserta didik mengidentifikasi masalah yang ada di sekitarnya.

Pembelajaran daring seharusnya juga menjadi momentum traksi bagi program merdeka belajar yang dicanangkan Kemendikbud untuk mengubah budaya mengajar kita. Tiada kemerdekaan tanpa kebebasan dan kedaulatan.

Peserta didik harus diberi kebebasan untuk belajar dari segala arah, juga kedaulatan untuk berkontribusi pada masyarakat sesuai dengan passion dan panggilan hatinya. Terlepas dari masalah keterbatasan akses teknologi dan infrastruktur, pembelajaran daring seharusnya bisa menjadi gerbang bagi kemerdekaan itu.

 
Seperti kata Paulo Freire, "Education does not change the world. Education changes people. People change the world”.
 
 

Penjurusan pada perguruan tinggi yang diajarkan oleh dosen terspesialisasi, di satu sisi menawarkan kedalaman dalam berpikir, tapi di sisi lain justru memunculkan risiko pengotakan pemikiran mahasiswa. 

Cakrawala pemikiran menjadi sempit dan yang muncul kemudian justru ego disiplin/ego sektoral yang tidak konstruktif. Padahal, permasalahan dunia nyata semakin kompleks, tidak mungkin diselesaikan hanya dengan satu perspektif.

Saat ini, memperkenalkan peserta didik pada pentingnya berpikir sistem (system thinking), jauh lebih penting daripada berpikir analitis (analytical thinking).

Tentu saja kemampuan untuk memecahkan masalah menggunakan system thinking, bukan hanya membutuhkan pemahaman multidisiplin, melainkan juga transdisiplin melalui omni learning channels.

Karena yang lebih kita butuhkan saat ini bukanlah intelektual yang menyandang gelar atau ijazah, melainkan intelektual yang memberi dampak dan solusi bagi masalah di sekitar kita.

Seperti kata Paulo Freire, "Education does not change the world. Education changes people. People change the world”. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat