Sejumlah santri pesantren Daarul Qur | Prayogi/Republika

Opini

Pesantren dan Komitmen Pemda

Pemkab/pemkot idealnya memosisikan diri sebagai perantara demi mengakomodasi pesantren.

MOH ATIKURRAHMAN, Pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel, Surabaya

Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) telah menerbitkan regulasi ”Kebijakan Kegiatan Pesantren dan Revitalisasi Rumah Ibadah dalam Menghadapi New Normal”.

Aturan bertarikh Rabu (27/5) itu, secara spesifik memberikan panduan bagi pengasuh atau pengelola untuk mengintegrasikan kehidupan khas pondok pesantren (ponpes) menjelang diberlakukannya kelaziman baru pada masa pandemi.

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yakni Pasal 11 ayat (3) dijabarkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) sesuai kewenangannya dapat memfasilitasi ponpes atau asrama ponpes untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.

Artinya, meski tak spesifik terkait ponpes pada masa darurat pandemi, terbitnya protokol santri kembali ke ponpes yang diinisiasi Kemenag, melegitimasi pemerintah pusat, sebagaimana Pasal 14 pada UU yang sama, memiliki komitmen pada aktivitas ponpes.

 

 
Meskipun ironi, arus balik santri pada masa pandemi tak lantas diartikan sebagai resistensi atau apatisme kalangan ponpes atas laten virulensi Covid-19 yang memengaruhi seluruh sendi kehidupan, termasuk pesantren.
 
 

 

Syawal merupakan kalender ”arus balik” santri ke ponpes masing-masing. Meski kurva paparan virus belum melandai, sebagian ponpes memilih tetap memulai aktivitasnya.

Misalnya, Ponpes Darul Ulum Pamekasan menetapkan Selasa (2/6) dan Ponpes Al Amin Sumenep menjadwalkan Senin (12/6) sebagai titimangsa arus balik santrinya. Lainnya, seperti Ponpes Nurul Jadid Probolinggo, menunggu dan melihat perkembangan situasi pandemi.

Meskipun ironi, arus balik santri pada masa pandemi tak lantas diartikan sebagai resistensi atau apatisme kalangan ponpes atas laten virulensi Covid-19 yang memengaruhi seluruh sendi kehidupan, termasuk pesantren.

Sebaliknya, ini menunjukkan komitmen, responsibilitas, sekaligus sensibilitas (mungkin juga kapabilitas) pemda pada ponpes selama pandemi masih abu-abu. Hingga kini, belum ada kebijakan konkret pemda terkait aktivitas pesantren menjelang kelaziman baru.

Bila dicermati saksama, sikap beberapa ponpes yang ”terkesan” mengabaikan efek korona bagi kalangan santri adalah gambaran riil pengasuh atau pengelola ponpes justru tengah kebingungan dalam merespons pandemi Covid-19.  

 
Secara moral, pemda seperti pemkab/pemkot bertanggung jawab untuk lebih peduli pada ponpes.
 
 

Mengacu Pasal 11 ayat (3) di atas, kewajiban memfasilitasi aktivitas ponpes bukan hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemda (utamanya pemkab/pemkot) memiliki kewajiban sama, artinya hal itu bersifat mengikat.

Secara moral, pemda seperti pemkab/pemkot bertanggung jawab untuk lebih peduli pada ponpes. Sebab, ponpes merupakan lembaga pendidikan yang berelasi langsung dengan penguasa di daerah yang kerap ”dimanfaatkan” legitimasinya pada masa pemilu.

Idealnya, relasi tersebut tidak berhenti di tataran normatif, seperti surat edaran, imbauan, anjuran, dan sejenisnya. Diperlukan sikap dan/atau kebijakan otoritatif dan regulatif yang saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya dalam menyikapi arus balik para santri.

Dalam protokol yang dikeluarkan Kemenag disebutkan, tahapan santri kembali ke ponpes/asrama ponpes menjelang masa kelaziman baru. Pertama, pra-kembali ke ponpes, pemkab/pemkot perlu berkoordinasi dengan pengasuh atau pengelola ponpes.

Di antaranya, mengenai mendisiplinkan diri melalui penggunaan masker, pola interaksi, perlengkapan diri selama di pesantren, dan sebagainya. Meskipun tampak sepele, edukasi tersebut merupakan tantangan berat.

Kita tahu, budaya guyub (solider dan tidak soliter) merupakan salah satu etika pesantren yang menonjol.

Selain itu, dalam konteks kepesantrenan yang erat dengan kehidupan religius, muncul kesan ”takdir Tuhan di atas segalanya”, menjadikan diskursus medis belum begitu hegemonik di kalangan santri.

Kedua, tahap sampai di ponpes. Dalam edaran Kemenag disebutkan, ponpes berkoordinasi dengan instansi, seperti Kemenkeu, Kemenkes, Kemenhub, dan Kemendagri.

Dalam tataran ini, pemkab/pemkot idealnya memosisikan diri sebagai perantara demi mengakomodasi kepentingan pesantren dengan--instansi terkait, seperti pengadaan tes PCR/ rapid test, hand sanitizer, vitamin yang dibutuhkan, dan sebagainya.

Bahkan, jika dirasa perlu, pemkab/pemkot juga memberikan dukungan tenaga medis untuk diperbantukan pada pengelolaan kesehatan internal pesantren selama pandemi.

Terkait tes PCR/rapid test, pemkab dalam hal ini dapat mengambil dua opsi, yakni pertama, pemeriksaan dilaksanakan pada tahapan pra-kembali dan dilakukan di puskemas atau rumah sakit terdekat. Tentunya ini lebih efisien dan sistematis.

Jika santri dinyatakan layak, puskemas atau rumah sakit dapat memberikan surat pengantar yang dapat ditunjukkan pada pengelola pesantren. Atau, kedua, pemeriksaan setelah santri sampai di ponpes. Ini bagi ponpes yang melakukan arus balik santri lebih dulu.

Berkaca pada pengalaman Korea Selatan yang kembali menutup sekolah akibat lonjakan paparan virus pada siswa. Sulit dibayangkan jika itu menimpa ponpes. Lalu, ponpes malah menjelma sebagai klaster baru dalam paparan virus korona. Perlu tindakan preventif.

Tindak lanjut atas regulasi Kemenag perlu dilakukan terkait kehidupan pesantren pada masa kelaziman baru. Regulasi ini penting dilaksanakan, mengingat ponpes telah menjadi amanat institusi kita sejak 2019.

UU No 18 Tahun 2019 merupakan bentuk pengakuan negara atas keberadaan ponpes. Pada masa pandemi, ponpes butuh tindakan konkret, sebuah kebijakan institusional, melebihi surat edaran yang normatif. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat