Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jabar melakukan rapid test via Mobile Covid-19 Test, di Kota Cimahi, Ahad (31/5). Pengetesan masif secara intens dilakukan salah satunya untuk menghadapi penerapan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) atau new norma | Humas Pemprov Jabar

Opini

Menimbang Kenormalan Baru

Hal yang fundamental adalah membangun pemahaman dan kesadaran bersama.

GUN GUN HERYANTO, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Polemik soal new normal atau kenormalan baru menjadi topik paling hangat saat ini. Wajar, karena situasi yang tidak nyaman dan tidak pasti akibat pandemi masih menghantui masyarakat dari hari ke hari.

Ada yang pro, ada juga kontra. Karena itu, perlu pertimbangan matang untuk mengambil pilihan kebijakan.

Pandemi tentu bukan semata-mata urusan pemerintah. Semua pihak harus mengatasinya. Namun, pemerintah punya otoritas mengeluarkan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang berdampak luas bagi masyarakat. Misalnya, soal PSBB di banyak daerah. Masyarakat bukan hanya diajak serta ke dalam kebijakan melainkan juga ada pengondisian instrumental agar berdisplin dengan aturan pengetatan dan pengendalian.

Cukupkah? Tentu saja tidak. Hal yang lebih fundamental, tentu saja membangun pemahaman dan kesadaran bersama.   

 
Pada saat momentum krusial seperti ini, pengelolaan opini publik menjadi menentukan. 
 
 

Pandemi saat ini masih belum benar-benar terkendali. Di tengah masih berlakunya pengetatan dan pengendalian, wacana publik sudah mulai bergeser ke kenormalan baru. Tentu saja bukan pilihan mudah bagi pemerintah Jokowi.

Di satu sisi, pandemi harus ditanggulangi, di sisi lain dibutuhkan beberapa pelonggaran untuk mendinamisasi kehidupan masyarakat melalui kenormalan baru yang dirancang untuk diimplementasikan.

Pada saat momentum krusial seperti ini, pengelolaan opini publik menjadi menentukan. Dalam opini publik, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, terhubung dengan aspek credulity, yakni soal percaya atau tidak.

Apakah publik memercayai opini soal kenormalan baru itu atau sebaliknya. Percaya atau tidak, tentu terhubung dengan cara dan data. Cara, yakni soal pemerintah berkomunikasi untuk meyakinkan Indonesia siap memasuki kenormalan baru.

Data terhubung dengan kondisi faktual yang terukur, verifikatif, saintifik. Kedua, soal reliance, yakni tingkat pentingnya kepercayaan bagi seseorang. Sesuatu yang sudah dipercayai belum tentu dianggap penting oleh publik.

Dianggap penting tidaknya wacana kenormalan baru ini pada akhirnya, akan menggerakkan publik turut dalam tahapan dan protokol kenormalan baru yang dibuat pemerintah atau sebaliknya.

Ketiga, nilai kesejahteraan. Hampir semua opini terkait apa yang dirasakan dan diupayakan publik menyangkut kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak.

Faktor pertimbangan

Kenormalan baru menjadi paradigma berpikir yang ditawarkan agar kita berperilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.

 
Kenormalan baru harus dipayungi kebijakan yang jelas. Levelnya bisa UU atau peraturan pemerintah, ditunjang keputusan kementerian terkait dan peraturan daerah.
 
 

Mudahkah? Tentu tidak. Praktiknya ini pilihan yang berisiko. Karena itu, perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama dan yang utama jelas dari sisi epidemiologi. Dalam konteks ini, WHO sudah memberi syarat-syarat umum. Misalnya, penularan penyakit harus terkendali. Sistem kesehatan bisa mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani setiap kasus dan melacak setiap kontak. Risiko zona merah diminimalkan di tempat rentan, seperti panti jompo.

Sekolah, tempat kerja, dan ruang publik lainnya menetapkan langkah pencegahan. Risiko imported case baru dapat dikelola. Masyarakat sepenuhnya dididik, dilibatkan, dan diberdayakan untuk hidup pada era normal baru.

Kedua, mempertimbangkan faktor kebijakan publik. Kenormalan baru harus dipayungi kebijakan yang jelas. Levelnya bisa UU atau peraturan pemerintah, ditunjang keputusan kementerian terkait dan peraturan daerah.

Satu sama lain harus satu alur yang jelas, tidak tumpang tindih, dan terkoordinasi.

Praktik penanganan pandemi Covid-19 saat ini harus menjadi pelajaran berharga, di mana masih tampak beberapa hal tumpang tindih dan memunculkan paradoks dari sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah.

Ketiga, pertimbangan cara berkomunikasi dengan masyarakat. Hal utama dalam berkomunikasi adalah membangun pemahaman bersama. Hal yang sangat diperlukan saat seperti ini adalah komunikasi persuasif.

Merujuk salah satu teori persuasi, Theory of Reasoned Action yang dikembangkan Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada 1980 dalam bukunya, Predicting and Changing Behavior: The Reasoned Action Approach (2007), perubahan perilaku itu ditentukan oleh intensi seseorang.

 
Komunikasi yang fokus mempersuasi sikap dan norma subjektif tentang kenormalan baru menjadi kunci tergerak atau tidaknya masyarakat. 
 
 

Masyarakat berperilaku dengan cara sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Niat melakukan atau tidak melakukan hal tertentu dipengaruhi dua faktor mendasar, yakni sikap dan norma subjektif.

Komunikasi yang fokus mempersuasi sikap dan norma subjektif tentang kenormalan baru menjadi kunci tergerak atau tidaknya masyarakat. Maka itu, pemerintah harus memaksimalkan narasi apa yang mau digaungkan.

Pemahaman apa dan bagaimana kenormalan baru ini harus dijaga dan disuarakan para juru bicara pemerintah yang mumpuni, mengerti persoalan, dan memahami psikologi massa.

Hal lain, yaitu harus memperkuat dan memperluas jaringan komunikasi dengan kelompok akademisi, media massa, komunitas di masyarakat, dunia usaha, atau lazim disebut dengan komunikasi ‘pentahelix’.

Pemerintah tak akan bisa menyelesaikan masalah kalau pongah. Harus kembali ke akar, yakni kepercayaan rakyat sehingga kenormalan baru menjadi agenda bersama. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat