Umat Islam menggunakan masker saat melaksanakan shalat Jumat di Masjid Nurul Islam, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (29/5/2020). Takmir masjid tersebut menyelenggarakan kembali shalat Jumat berjamaah di tengah pandemi COVID-19 setelah kurang lebih | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Opini

Normal Baru Keagamaan

Patut disadari bahwa keagamaan selalu berperan menumbuhkan perbaikan rohaniah.

DUDUNG ABDURRAHMAN, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga

Pandemi Covid-19 sudah memasuki bulan ketiga. Berbagai upaya pencegahan pemaparan wabah dilakukan semua penduduk dengan pedoman penanganan cepat medis dan kesehatan masyarakat yang dikeluarkan pemerintah.

Setiap sektor kehidupan masyarakat pun dipandu berdasarkan pedoman ini, tidak terkecuali masalah keagamaan. Di antaranya, pembatasan interaksi fisik. Bagian pedoman ini sudah cukup menjelaskan, akan banyak perubahan dalam kegiatan keagamaan.

Terutama poin yang jelas menyatakan untuk beribadah di rumah sementara waktu. Hal itu beralasan karena kegiatan keagamaan di luar rumah cenderung melibatkan banyak orang dan membuat kerumunan.

Selama ini hal tersebut diimplementasikan secara beragam sehingga mengundang pro dan kontra. Misalnya, mengenai shalat berjamaah di masjid. Implementasi yang umum dilakukan adalah dengan benar-benar tidak menyelenggarakan shalat berjamaah di masjid.

photo
Jamaah melaksanakan shalat Jumat berjamaah di Masjid Agung Al Barkah, kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (29/5/2020). Kota Bekasi melaksanakan shalat Jumat setelah lebih dua bulan ditiadakan dan dilakukan dengan protokol pencegahan Covid-19 sebagai normal baru di bidang keagamaan - (Paramayuda/ANTARA FOTO)

Namun, hal itu dinilai cukup kaku oleh sebagian masyarakat. Mereka menganggap, bisa saja shalat berjamaah di masjid dengan jumlah orang terbatas, diberi jarak, menggunakan masker, dan berbagai protokol pencegahan penyebaran wabah lainnya.

Karena itulah ketika muncul wacana new normal life belakangan ini, yang seharusnya dilakukan adalah mempertimbangkan upaya yang dilakukan selama ini, dengan berbagai problematika yang terjadi di masyarakat. Misalnya, dengan mempelajari kehidupan keagamaan pada bulan Ramadhan lalu dan tradisi keagamaan pada Syawal sekarang. Ini bisa memberikan inspirasi dalam mencari solusi atau memberikan alternatif normal baru keagamaan yang dimaksud.

Kehidupan keagamaan pada Ramadhan lalu, dilakukan dengan beragam cara dan kegiatan yang diselenggarakan sesuai protokol pencegahan penyebaran wabah. Secara umum, kegiatan apa pun yang melibatkan kerumunan massa dilarang.

Termasuk pelaksanaan keagamaan di masjid, hanya boleh dilaksanakan di rumah. Dalam kenyataannya, itu berdampak pada pelemahan dinamika dan pembinaan keagamaan, terutama di kalangan masyarakat bawah.

Mereka tidak dapat melaksanakan shalat Tarawih berjamaah, tidak mendapatkan tausiah dan kultum agama, serta praktis sosial-keagamaan lainnya yang seperti biasa didapatkan pada suasana Ramadhan masa normal sebelum pandemi.

photo
Jamaah menjaga jarak dan mengenakan masker saat pelaksanaan shalat Jumat pertama setelah berakhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Masjid Raya Senapelan Pekanbaru Kota, Riau, Jumat (29/5/2020). Mayoritas masjid di Pekanbaru kembali melaksanakan shalat berjamaah usai berakhirnya PSBB dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19 sebagai normal baru dalam kegiatan di rumah ibadah - (FB Anggoro/ANTARA FOTO)

Alasannya, antara lain, tidak semua pemimpin keluarga bisa mengimami shalat jamaah di rumah, sementara masjid atau mushala terdekat juga tidak menyelenggarakannya. Sama halnya dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri kemarin.

Banyak keluarga Muslim di kampung-kampung tidak melaksanakannya. Kondisi ini menjadi dilema, khususnya bagi kalangan tokoh agama setempat. Yakni, antara keharusan menerapkan kebijakan pencegahan penularan wabah, tetapi mereka juga tak mampu menerjemahkan protokol kesehatan penanganan Covid-19 secara parsial, praktis, dan efektif dalam kegiatan bersama semacam itu.

Demikian pengalaman dalam tradisi keagamaan seperti Syawalan. Syawalan atau halal bihalal menjadi tradisi unik masyarakat Indonesia, yang kini tidak dapat dilaksanakan seperti biasanya dalam hilir mudik kunjungan keluarga, sahabat, teman sejawat.

Tradisi ini hanya bisa dalam komunikasi dunia maya melalui video call, teleconference, webinar, dan sebagainya.

Masalahnya, hal demikian juga tak bisa dilakukan kalangan masyarakat bawah karena keadaannya di pelosok, belum akrab dengan media virtual, dan kendala sosial serta mentalitas lainnya yang belum kondusif dengan kenormalan media sosial seperti itu.

Sehubungan pentingnya pembinaan keagamaan dalam situasi pandemi dan seterusnya, maka sedikitnya dapat dikembangkan beberapa alternatif.

Akhirnya, patut dijadikan kesadaran bersama bahwa keagamaan dengan berbagai bentuk pengembangannya, akan selalu berperan untuk menumbuhkan perbaikan rohaniah dan berfungsi memperkokoh mentalitas masyarakat pada situasi apa pun.
 

Pertama, kegiatan keagamaan berbasis virtual sangat efektif dilakukan untuk kegiatan tradisi dan praktik sosial-keagamaan, berupa diskusi, seminar, pengajian, dan upacara peringatan hari besar keagamaan. 

Alternatif ini bisa disebut aktivitas keagamaan “berlevel luas”, tanpa batas jumlah peserta, waktu, dan lingkungan, bahkan dengan biaya relatif murah. Kedua, kegiatan tradisi dan praktik sosial-keagamaan “berlevel terbatas”.

Kegiatan ini melibatkan massa kecil semacam pertemuan usrah (arti asalnya adalah keluarga). Model ini dinormalisasi dengan membatasi jumlah anggota perkumpulan. Pengelolaannya bisa dilakukan ormas, lembaga dakwah, bahkan lembaga pengabdian perguruan tinggi.

Alternatif ketiga adalah keagamaan “berbasis tempat ibadah”. Hal ini dikembangkan untuk praktik keagamaan mahdhah, khususnya shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid atau mushala, dan tempat ibadah serupa lainnya.

Bisa juga untuk kegiatan ghair mahdhah, misal rapat dan musyawarah terbatas pengelola keagamaan dalam membahas program pembinaan agama, dengan penjadwalan yang teratur dan tertib, baik pada segi jumlah peserta maupun waktu kegiatan. Tentu saja semua itu dilaksanakan dengan tetap memperhatikan serta mengindahkan protokol kesehatan yang berlaku.

Akhirnya, patut dijadikan kesadaran bersama bahwa keagamaan dengan berbagai bentuk pengembangannya, akan selalu berperan untuk menumbuhkan perbaikan rohaniah dan berfungsi memperkokoh mentalitas masyarakat pada situasi apa pun.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat