Petugas menghentikan pengendara yang tidak menggunakan masker di Pos Check point desa Pabean udik, Indramayu, Jawa Barat, Senin (11/5). | Dedhez Anggara/ANTARA FOTO

Tajuk

Pelonggaran Aturan jangan Sembrono

Membolehkan warga berusia 45 tahun ke bawah kembali bekerja seharusnya penuh pertimbangan.

Komunikasi pemerintah dalam mengatasi penyebaran virus korona (Covid-19) terus membingungkan publik. Ya, yang terbaru tentu saja mengenai rencana pemerintah pada Juni nanti untuk melonggarkan sebagian warga kembali beraktivitas. Dalam pernyataannya kemarin, Ketua Satgas Covid-19, Doni Monardo menegaskan, pemerintah bisa saja memberi lampu hijau kepada warga berusia 45 tahun ke bawah untuk kembali bekerja.

Kita tahu alasannya, tapi dalam situasi 'perang' melawan Covid-19 saat ini, arah kebijakan itu tentu membingungkan. Mengapa? Pertama-tama adalah ini seperti yang disampaikan Doni Monardo sendiri pekan lalu, bahwa vaksin Covid-19 belum ada. Obat pun masih menumpang dari penyakit lain. Membiarkan sebagian besar warga untuk kembali beraktivitas dalam kondisi tanpa vaksin, obat terbatas, sangat berbahaya. Amat terbuka potensi ledakan penyebaran korona yang lebih besar dari sebelumnya. 

Kedua, situasi ini masih ditambah dengan daya dukung tes massal dan tes swab yang belum masif. Keterbatasan laboratorium, peralatan, sumber daya manusia, hingga alat tes itu sendiri sampai kini masih menjadi hantu menakutkan bagi tenaga medis di daerah. 

 
Karena itu, kita menilai rencana pelonggaran pembatasan dengan membolehkan warga berusia 45 tahun ke bawah kembali bekerja itu sembrono.
 
 

Keterbatasan inilah yang membuat angka penderita Covid-19 secara nasional, seperti yang diumumkan pada Ahad kemarin, sangat fluktuatif. Dalam empat lima hari angka tersebut rendah, kemudian satu hari menjadi amat tinggi. Gejolak ini diduga kuat terjadi karena masih rendahnya tes masif korona terhadap warga sehingga tidak bisa memberikan gambaran penuh dalam tahapan mana Indonesia berada? Kurva ledakan pasien jelas belum terjadi. 

Dan ketiga, tentunya tenaga medis itu sendiri yang rasio dengan ledakan pasien Covid-19 masih amat timpang. Dalam situasi seperti ini saja pasukan dokter dan perawat harus bekerja berjam-jam dengan waktu istirahat yang minim. Apalagi bila terjadi ledakan lanjutan penderita korona. 

Karena itu, kita menilai rencana pelonggaran pembatasan dengan membolehkan warga berusia 45 tahun ke bawah kembali bekerja itu sembrono. Kalau benar-benar dilakukan tanpa menimbang betul faktor-faktor kesehatan masyarakat, pihak yang menjadi korban pertama adalah masyarakat itu sendiri.

Atas dasar kajian apa pemerintah berani mengambil langkah demikian? Kajian tersebut kalaupun ada, belum pernah disampaikan secara terbuka ke publik dan dinilai secara bersama-sama. Maka itu, kita patut mempertanyakan, atas kepentingan siapa, kelompok siapa, kebijakan pelonggaran ini diambil?

Memang, di satu sisi, alasan nomor wahid pelonggaran itu adalah perekonomian. Sejumlah warga dibiarkan kembali bekerja agar roda ekonomi kembali bergerak menuju normal baru. Daya beli berangsur pulih. Pelaku usaha kembali mempekerjakan karyawannya, pemasok mendapat orderan, dan seterusnya.

photo
Petugas gabungan memasang plang pemberitahuan pemeriksaan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jalan Laks. Laut RE Martadinata, Purwakarta, Jawa Barat, Senin (11/5) - (Muhamad Ibnu Chazar/ANTARA FOTO)

Kita tahu, kondisi perekonomian Indonesia memang belum sekuat tetangga lain di kawasan. Dua bulan aktivitas perekonomian direm, sudah memberi sinyal cukup mengerikan. Pengangguran melonjak, daya beli merosot, jumlah orang miskin kembali ke 15 tahun lalu. Sementara daya dukung anggaran tidak kuat untuk menopang keseluruhan pelemahan ini. Pemerintah harus berutang ke asing yang dibayangi kemungkinan untuk mencetak uang dalam jumlah besar. 

Sikap kita tegas dan jelas. Selagi belum ada obat mujarab dan vaksin khusus Covid-19, ditambah dengan kesiapan peralatan dan tenaga medis maka melonggarkan pembatasan demi ekonomi, sebaiknya ditunda dahulu. Pemerintah seolah membenturkan faktor kesehatan masyarakat dengan tingkat perekonomian. Salah satu harus mengalah untuk yang lain. Yang mana logika kebijakan publiknya tidak harus demikian karena bisa menyesatkan. 

Publik pasti mendukung sepenuh hati langkah-langkah pemulihan ekonomi pemerintah. Asalkan langkah itu diambil dengan argumen yang jelas, jernih, terukur, mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat, dan untuk mendorong perekonomian nasional. 

Masalahnya adalah: Kesimpangsiuran di tubuh pemerintah itu sendiri yang membuat publik makin mengira sebaliknya. Pemerintah bertindak bukan dengan dasar kemaslahatan masyarakat, tidak mengedepankan pertimbangan kesehatan, serta argumen yang bertolak belakang dan saling baku menganulir. Inilah yang sehari-hari dihadapi bangsa ini. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat