Opini - Membangun Ekosistem Toleransi | Republika-Daan Yahya

Opini

Membangun Ekosistem Toleransi Melalui Penguatan Desa dan Kota

Pelabelan identitas Desa Pancasila dikhawatirkan menjadi kesenjangan antar desa.

Oleh MUHAMMAD TURHAN YANI: Guru besar Fisipol dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Surabaya, Dewan Pakar HISPISI dan PP ISNU

REPUBLIKA.ID, Belakangan ini marak bermunculan istilah Rintisan Desa Pancasila dalam berbagai even kegiatan di masyarakat, baik di desa, kota, maupun di kampus. Pertanyaannya adalah apakah desa-desa yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selama ini belum kategori sebagai ‘Desa Pancasila? Bukankah Indonesia telah disepakati dan ditetapkan menjadi Negara Pancasila, sehingga secara otomatis semua desa yang berada di wilayah NKRI telah beridentitas sebagai Desa Pancasila? Lalu, apa yang dimaksudkan dengan Rintisan Desa Pancasila?

Terminologi Desa Pancasila, apalagi dengan sebutan Rintisan Desa Pancasila dimaksudkan untuk apa? Apakah sebuah desa yang kebetulan warganya hanya satu agama tidak dapat disebut sebagai Desa Pancasila? Apakah indikator Desa Pancasila hanya ditandai keberagaman dari sisi agama, sehingga untuk mendapat sebutan Desa Pancasila harus ada agama berbeda-beda dan sejumlah tempat ibadah berbeda yang ‘harus ada’ dalam suatu desa, sehingga harus dirintis dan diwujudkan keberadaan semua agama dan tempat ibadahnya dalam suatu desa? 

Tentu bukan demikian yang dimaksud Desa Pancasila karena keberagaman tidak hanya dilihat dari sisi agama, melainkan dari banyak hal, seperti etnik, adat istiadat, golongan, dan lain sebagainya yang di dalamnya diejawantahkan nilai-nilai Pancasila, salah satunya mengedepankan toleransi di tengah perbedaan dan kemajemukan.

Hubungan desa dan Pancasila

Secara konseptual, desa menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Sedangkan konsep Negara Pancasila menurut Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) adalah negara yang berlandaskan pada lima sila Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Notonegoro, yang menekankan bahwa Pancasila sebagai dasar negara digali dari nilai-nilai yang terdapat dalam adat istiadat, kebudayaan, dan agama yang ada di Indonesia.

 
Hubungan desa dan negara dalam konteks pemerintahan Indonesia adalah hubungan yang kompleks dan dinamis
 
 

Lalu, apa hubungan desa dan negara? Menurut para ahli, hubungan desa dan negara dalam konteks pemerintahan Indonesia adalah hubungan yang kompleks dan dinamis. Desa memiliki otonomi dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, namun juga merupakan bagian dari wilayah negara dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hubungan ini melibatkan berbagai aspek, termasuk politik, ekonomi, sosial, dan budaya. 

Dalam konteks Indonesia yang berdasarkan dan berideologi Pancasila, secara otomatis semua desa yang berada di bawah naungan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah beridentitas sebagai Desa Pancasila, baik disebut secara eksplisit maupun tidak, walaupun belum sepenuhnya telah mengejawantahkan nilai-nilai pancasila. 

Makna identitas desa

Identitas turunan Negara Pancasila yang disebut dengan Desa Pancasila atau istilah lain sejenis, memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sisi lain, pelabelan identitas Rintisan Desa Pancasila dapat berimplikasi pada beberapa hal, pertama, desa yang secara eksplisit tidak beridentitas sebagai Desa Pancasila karena kebetulan di desa tersebut hanya terdapat satu agama, dianggap bukan cerminan Negara Pancasila. Ini akan menjadi persoalan tersendiri.

Kedua, pelabelan identitas Desa Pancasila dikhawatirkan akan menjadi kesenjangan antar desa karena sejatinya tanpa identitas secara eksplisit tersebut, semua desa di bawah NKRI sudah otomatis sebagai desa Pancasila karena terdapat keberagaman dalam berbagai aspek, tidak hanya agama, melainkan keragaman dalam banyak hal dengan komitmen mengedepankan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, pelabelan identitas Desa Pancasila akan menjadi tren pelabelan pada aspek lainnya yang dikhawatirkan hanya sekadar identitas, bukan substansi dan impleemtasi nilai-nilai pancasila.

Negara Pancasila secara teritorial dan multikultural telah menjadi payung besar bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam paradigma induktif, desa-desa sebagai unit terkecil negara, berada dalam wilayah NKRI dengan kesamaan ideologi menyatu dalam satu wadah besar bernama negara, yang selanjutnya disebut Negara Pancasila. Ini artinya semua desa di wilayah NKRI memiliki jati diri dan ideologi yang sama, menyatu dan membentuk menjadi wadah besar bernama Negara Pancasila.

Sedangkan dalam paradigma deduktif, negara sebagai suatu wadah atau payung besar yang secara teritorial membawai berbagai wilayah, diikat dalam satu ideologi dan dasar yang sama. Dengan demikian Negara Pancasila sudah otomatis memancar dan menjelma sampai di desa, di kampung, di kampus, dan di manapun berada dalam wilayah NKRI. Ibarat listrik dengan tombol sentral dari pusat (negara), sudah otomatis aliran listriknya sampai ke bawah (desa).

Mengedepankan toleransi

Indonesia sebagai Negara Pancasila sesungguhnya cerminan dari negara-bangsa (nation state) yang mengayomi dan melindungi segenap bangsa dari berbagai latar belakang agama, etnik, budaya, dan sebagainya tanpa membeda-bedakan. Indonesia bukan negara agama, akan tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah pancaran dari ajaran agama, yang tercermin mulai sila pertama sampai sila kelima. 

Inilah salah satu makna identitas Negara Pancasila, walaupun tanpa disebut secara eksplisit sebagai Desa Pancasila atau istilah sejenis. Dengan demikian yang menandai sebutan sebuah kota atau desa Pancasila adalah terletak pada komitmen pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan, apakah telah tercermin dalam sikap dan perilaku atau belum. Apabila belum tercermin, di situlah tantangan untuk menginternalisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Sebagai contoh salah satu nilai-nilai Pancasila yang penting dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah toleransi.

Data menunjukkan, indeks toleransi di Indonesia masih banyak berada pada tataran normatif, belum implementatif dalam sikap dan perilaku. Hal ini dapat dilihat pada data indeks toleransi yang dikemukakan oleh SETARA Institute yang memberikan skor Indeks Kota Toleran (IKT) terendah dengan skor 3, 945 dan tertinggi dengan skor 6,544. 

Indeks tersebut berdasarkan pengamatan selama tahun 2024 yang diperoleh dari sejumlah data dari dokumen resmi pemerintah, yaitu data Badan Pusat Statistik (BPS), data Komnas Perempuan, data SETARA Institute, dan referensi media terpilih. Terdapat delapan indikator dalam penilaian indeks kota toleran tahun 2024, antara lain, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), kebijakan pemerintah kota, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, dan pernyataan publik pemerintah kota (27/5/2025). 

Menyikapi data dan fakta demikian, secara sosiologis masih terdapat sebagian masyarakat yang belum mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hal ini sebuah tantangan. Oleh karena itu Buya Syafii Ma'arif pernah menulis sebuah artikel, dengan pesan penting, jangan sampai Pancasila menjadi lumpuh dengan cara dikhianati nilai-nilainya. Ini sebuah pesan moral bagi semua komponen bangsa jangan sampai mengkhianati nilai-nilai Pancasila. 

Dengan demikian di tengah tantangan global dan masyarakat multikultural, sangat penting membangun ekosistem toleransi, yaitu menciptakan suatu kondisi lingkungan secara menyeluruh dengan melibatkan semua komponen bangsa untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang egaliter, toleran, inklusif, dan saling menghormati di tengah kemajemukan bangsa. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Presiden Prabowo: Saya Tanggung Jawab Whoosh

Presiden meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh kabar tidak benar.

SELENGKAPNYA

Gubernur Riau Terjaring OTT KPK

OTT Gubernur Riau merupakan yang keenam pada tahun 2025.

SELENGKAPNYA

Negara Muslim Matangkan Pasukan ke Gaza

Israel terus menolak penempatan pasukan Turki di Gaza.

SELENGKAPNYA