Internasional
AS Dorong Pemerintahan Asing di Gaza
Tentara asing di Gaza disebut akan memiiki fungsi pengamanan.
NEW YORK – Amerika Serikat (AS) bakal mendorong penerjunan pasukan dan pemerintahan asing di Gaza melalui resolusi Dewan Keamanan PBB dalam waktu dekat. Resolusi itu meminta mandat PBB bagi AS dan negara-negara lainnya untuk membentuk kekuatan internasional yang memerintah Gaza dan bertanggung jawab atas keamanan di sana selama dua tahun.
Media AS Axios melaporkan, menurut salinan rancangan resolusi PBB tersebut, Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) akan bertugas mengamankan perbatasan Jalur Gaza dengan Israel dan Mesir, memastikan keselamatan warga sipil dan zona kemanusiaan, serta melatih petugas polisi Palestina baru yang akan bermitra dengannya.
Mandat pasukan tersebut tampaknya mencakup pelucutan senjata Hamas, dengan rancangan tersebut mengatakan bahwa ISF akan “menstabilkan lingkungan keamanan di Gaza dengan memastikan proses demiliterisasi Jalur Gaza, termasuk penghancuran dan pencegahan pembangunan kembali militer, teror, dan infrastruktur ofensif, serta penonaktifan senjata secara permanen dari kelompok bersenjata nonnegara.”
Draf tersebut juga mengatakan bahwa ISF akan melakukan “tugas tambahan yang mungkin diperlukan untuk mendukung perjanjian Gaza,” dan bahwa ISF akan dibentuk dan beroperasi “melalui konsultasi dan kerja sama yang erat dengan Mesir dan Israel.”
Selain itu, resolusi tersebut menyerukan pemberian wewenang kepada Dewan Perdamaian yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump untuk membentuk “pemerintahan transisi dengan badan hukum internasional yang akan menetapkan kerangka kerja dan mengoordinasikan pendanaan untuk pembangunan kembali Gaza sesuai dengan Rencana Komprehensif, hingga Otoritas Palestina telah menyelesaikan program reformasinya dengan memuaskan.”
Pejabat AS mengatakan negaranya berencana mendesak pemungutan suara di Dewan Dewan Keamanan PBB mengenai pembentukan pasukan tersebut dalam beberapa minggu mendatang. Setelah itu, pengerahan pasukan pertama ke Gaza dijadwalkan pada Januari mendatang.
Dia menambahkan bahwa pasukan internasional akan menjadi kekuatan penegakan hukum, bukan pasukan penjaga perdamaian, dan akan mencakup pasukan dari beberapa negara, dan akan dibentuk melalui konsultasi dengan Dewan Perdamaian Gaza.
Pertemuan di Turki
Sementara itu, Turki telah meminta Israel untuk menghentikan pelanggaran berulang-ulang terhadap gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat di Gaza dan membiarkan bantuan kemanusiaan penting memasuki wilayah kantong Palestina yang diperangi.
Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan membuat pernyataan tersebut setelah para diplomat terkemuka dari beberapa negara Arab dan Muslim bertemu di Istanbul pada hari Senin untuk membahas mandat PBB untuk pasukan stabilisasi internasional di Gaza, seperti yang diusulkan dalam rencana 20 poin oleh Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang.
Turki menjadi tuan rumah bagi para menteri luar negeri Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Pakistan, dan Indonesia pada pertemuan puncak tersebut. Setelah pertemuan tersebut, Fidan mengatakan Israel telah gagal memenuhi tanggung jawabnya yang tercantum dalam rencana AS dengan “secara teratur melanggar gencatan senjata” dan mencegah makanan, obat-obatan dan bantuan kemanusiaan lainnya menjangkau warga Palestina di Gaza.
“Kami tidak ingin genosida terulang kembali di Gaza, kami ingin gencatan senjata terus berlanjut, dan kami ingin diambil langkah-langkah menuju solusi perdamaian dua langkah yang permanen,” kata Fidan.
“Kami percaya bahwa tekanan terhadap Israel dari masyarakat internasional harus dipertahankan,” tambahnya, sambil mencatat bahwa serangan Israel telah menewaskan hampir 250 warga Palestina sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 10 Oktober.
Diplomat tertinggi Turki tersebut mengatakan negaranya ingin melihat kerangka kerja pascaperang di Gaza di mana warga Palestina dapat menjamin pemerintahan dan keamanan Palestina. Dia menambahkan bahwa komentarnya mewakili “pandangan bersama” dari negara-negara yang berpartisipasi dalam KTT hari Senin.
Hakan Fidan mengatakan bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB diperlukan untuk mengesahkan pasukan stabilisasi internasional di Gaza, dan bahwa keputusan Turki untuk berpartisipasi akan bergantung pada langkah ini.
Fidan mencatat bahwa negara-negara yang mempertimbangkan pengerahan pasukan ke Gaza, sebagai bagian dari kesepakatan yang ditengahi oleh Presiden AS Donald Trump, ingin memahami terlebih dahulu parameter kekuatan yang diusulkan.
“Negara-negara tersebut ingin melihat resolusi Dewan Keamanan PBB yang menetapkan kekuatan, mendefinisikan syarat-syarat misi dan memberikan legitimasi,” kata Fidan.
Beberapa pejabat AS dalam beberapa pekan terakhir mengatakan bahwa Turki dianggap sebagai salah satu negara yang dapat mengerahkan pasukan ke Gaza, sebuah gagasan yang sangat ditentang oleh pemerintah Israel.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan pada akhir pekan bahwa Ankara siap melakukan apa pun yang diperlukan untuk mempertahankan gencatan senjata di Gaza, termasuk mengirim pasukan jika diperlukan.
“Apakah negara-negara ini akan mengirim pasukan ke Gaza akan bergantung pada definisi dan ruang lingkup misinya,” tambah Fidan. Apa kekuatan misinya? Seorang pejabat senior Turki mengatakan kepada Middle East Eye bulan lalu bahwa Ankara menginginkan kejelasan mengenai aturan keterlibatan dan bagaimana pasukan tersebut akan melindungi diri mereka sendiri jika mereka diserang.
Blunder pemerintah
Para pakar di Tanah Air mewanti-wanti jangan sampai pengiriman pasukan ke Gaza ini jadi blunder bagi pemerintah.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Broto Wardoyo mengingatkan “pasukan stabilisasi” memiliki peran yang berbeda dengan “pasukan perdamaian”. “Untuk pasukan stabilisasi sifatnya bisa ofensif karena untuk menjaga ketertiban dan memastikan keamanan,” ujarnya saat dihubungi Republika.
Sementara merujuk 20 poin perjanjian gencatan senjata yang diumumkan Presiden AS Donald Trump, ada poin soal pelucutan senjata Hamas. Jika kemudian pasukan Indonesia jadi pasukan inti, bukan hanya berstatus “supporting”, maka potensi konflik dengan Hamas akan terjadi.
“Jika begitu, maka kemungkinan pasukan ini ‘tabrakan’ dengan Hamas sangat terbuka,” kata Broto Wardoyo. Ini bisa kemudian membuat pengiriman pasukan ke Gaza jadi blunder bagi pemerintah.
“Bayangkan jika ada berita tiba-tiba tentara kita terlibat kontak senjata dengan Hamas. Ini akan jadi persoalan di publik Tanah Air,” ia menambahkan.
Sementara dalam poin-poin kesepakatan, ada juga soal wilayah operasi pasukan penjajahan Israel (IDF) sebelum penarikan penuh. Batas-batas yang belakangan disebut “Garis Kuning” ini tak punya penanda jelas di lapangan. Artinya, pasukan IDF yang keluar dari demarkasi juga punya potensi berkonflik dengan TNI.
Broto menekankan, hal-hal ini harus diklarifikasi oleh pemerintah. Utamanya soal peran pokok pasukan yang akan diterjunkan ke Gaza. Selain itu, sejauh ini banyak persoalan-persoalan teknis lainnya juga masih banyak yang belum disampaikan ke publik.
“Misalnya nanti ditempatkan di mana pasukannya. Bagaimana kalau ditempatkan di utara?” kata dia. Utara Gaza diketahui jadi salah satu pusat perlawanan Hamas yang belakangan dibombardir Israel.
Broto Wardoyo juga mengingatkan, melucuti senjata Hamas juga bukan perkara mudah. “Memangnya dulu mudah kita minta GAM serahkan senjata di Aceh? Mudah meminta OPM menyerahkan senjata?”
Selain itu, bukan hanya Hamas saja kelompok bersenjata di Gaza. Ada Jihad Islam Palestina, Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Front Populer – Komando Umum, Front Demokratik (DFLP). Masing-masing kelompok ini memiliki sayap militer. “Dan mereka bisa lebih keras dari Hamas. Ini kompleksitas yang harus dipahami” ujar Broto Wardoyo.
Ia mengatakan pemerintah saat ini memang terkesan ingin lebih terlibat lebih jauh dalam upaya perdamaian di Palestina. Namun, niat ini juga harus disertai pemahaman yang jauh lebih dalam soal sengkarut di wilayah tersebut. “Kehati-hatian harus diutamakan. Banyak faktor yang harus benar-benar diperhatikan.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
