Cerpen Kaplat | Daan Yahya/Republika

Sastra

Kaplat

Cerpen Rinal Sahputra

Oleh RINAL SAHPUTRA

Pagi masih gelap ketika dentuman keras mengguncang pintu rumah kayu itu. Teungku Amiruddin yang hendak berangkat salat Subuh terlompat kaget. Sarungnya nyaris melorot saat ia terburu-buru menuju pintu.

“Apa ini? Ada apa?!” teriaknya.

Empat lelaki berbaju hitam menerobos masuk. “Kau dituduh menyebarkan kebencian. Ikut kami sekarang.” Salah satu dari mereka berujar singkat.

“Kebencian apa? Mana surat penangkapannya? Aku hanya seorang guru ngaji,” jawab Teungku Amiruddin dengan suara bergetar tapi tegas.

Tidak ada jawaban. Dua lelaki mencengkeram lengan Teungku Amiruddin dan menyeretnya keluar begitu saja. Dia bahkan tidak sempat mengenakan sandal. 

Tetangga berhamburan keluar. Seorang lelaki tua berteriak, “Hei! Teungku Amiruddin orang baik. Kenapa kalian perlakukan seperti maling kambing?”

“Diam! Kalau tidak, kau juga ikut kami sekarang!” bentak salah seorang berbaju hitam. Orang-orang terpaksa mundur. Tapi bisik-bisik segera menyebar.

Kenapa harus ditangkap? bisik seorang ibu sambil menggendong anaknya.

“Entahlah. Tapi orang-orang bilang ini ada kaitannya dengan gosip ijazah Geuchik Marzuki,” sahut yang lain. 

Seorang pemuda melihat ke sekeliling sebelum kemudian berbisik, “kalau seorang teungku saja bisa diseret begitu, bagaimana nasib kita?” Orang-orang mendadak terdiam.

Menjelang siang, nama Teungku Amiruddin memenuhi warung kopi Bang Sulaiman. Obrolan yang biasanya soal pembalakan kayu yang semakin marak atau gosip muka glowing Cek Asma kini lenyap digantikan kegelisahan.

“Geuchik Marzuki dan gerombolannya sudah sangat keterlaluan,” kata Amran, meludah ke gelas kosong. “Teungku hanya mengingatkan orang untuk jujur. Aku hadir di pengajiannya waktu itu. Seharusnya yang ditangkap si Marzuki paleh dengan ijazah palsunya itu,” lanjutnya lagi dengan wajah memerah.

Ibrahim mengetukkan jarinya ke meja. “Kalau orang baik bisa dituduh menyebarkan kebencian, ini bukan lagi soal ijazah palsu. Ini soal harga diri kita semua.”

Orang-orang menganggukkan kepala mereka. Untuk sesaat, suasana warung kopi terasa senyap dan berat.

Malam itu, rumah Ibrahim hanya diterangi lampu minyak yang redup. Sekitar sepuluh orang duduk bersila di atas tikar pandan. Wajah mereka tegang.

Ibrahim membuka suara, menatap satu per satu. “Selama ini, Geuchik Marzuki sudah mencuri suara kita, menggunduli hutan-hutan desa, dan menjadikan kursi kepala desa seperti warisan keluarga. Dan kini, lewat pengaruhnya, teungku Amiruddin dan beberapa warga yang lain sudah ditangkap dan dipenjara.”

Amran mengeluarkan lembaran-lembaran selebaran dari tas lusuh. “Besok pagi, ini akan kita sebarkan di kota. Biar semua orang tahu siapa dia sebenarnya. Ketika orang-orang dipenjara karena dia, si Paleh nyan ongkang-ongkang kaki di rumah, pura-pura sakit.” 

“Besok jangan ada yang turun sendiri,” ujar Ibrahim tegas. “Kita bergerak bersama. Kalau pihak keamanan kota ingin melindungi Marzuki, biarlah mereka menangkap kita semua.”

Orang-orang yang hadir seperti tidak berkedip. Ada bara yang menyala di mata mereka.

Pagi berikutnya, suasana desa terasa berbeda. Jalan-jalan kecil yang biasanya sepi, dipenuhi warga. Di halaman meunasah, Amran membagikan selebaran, sedangkan Ibrahim dan beberapa pemuda lain menata barisan.

Zulfikar yang biasanya paling suka bercanda, hari itu terlihat gelisah. Menyampirkan spanduk di bahunya, ia berbisik ke kawannya. “Entah kita pulang nanti malam atau tidak. Yang penting, orang tahu kita tidak diam.”

Rombongan pun bergerak. Selebaran dibagikan ke semua orang yang mereka jumpai di sepanjang perjalanan. Beberapa tukang becak, pedagang sayur, dan pengendara ojek perlahan ikut bergabung.

“Bebaskan Teungku Amiruddin dan warga-warga yang lain!” Salah seorang dari mereka berteriak. Teriakan itu disambut lantang, menggema memecah pagi.

Orang-orang memberi jalan kepada para demonstran. Ada yang mengacungkan jempol. Namun, ada juga yang menggeleng cemas.

Di simpang empat menuju balai kota, langkah massa melambat. Dari kejauhan, beberapa lelaki asing berdiri di samping motor sambil merokok dan menatap para demonstran dengan senyum tipis.

“Siapa mereka?” bisik Zulfikar.

Ibrahim hanya menggeleng. Matanya awas.

Kerumunan makin rapat. Spanduk menjulang, selebaran beterbangan seperti hujan kertas. Sorak-sorai membahana.

“Bebaskan Teungku Amiruddin!”

“Turunkan Fatimah!”

“Hentikan kebohongan Marzuki!”

“Cabut izin perkebunan sawit di hutan-hutan desa!!”

Tiba-tiba sebuah batu melayang, memecahkan kaca toko. Suara pecahannya membuat semua orang terdiam sejenak.

“Siapa yang lempar?!” seseorang berteriak panik.

Tidak ada jawaban. Sesaat kemudian, ban bekas menyala. Api berkobar dan asap hitam membubung. Beberapa lelaki bertopi berteriak-teriak sambil mendorong massa.

“Bakar semuanya!”

Ibrahim berlari ke depan. “Jangan! Bukan ini tujuan kita! Kita datang untuk menyampaikan suara, bukan merusak!” teriaknya. Tapi suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk. Dorong-mendorong pun tidak bisa dihindari. Api semakin membesar. Orang-orang menjerit, namun tidak bisa melarikan diri karena kepungan massa yang mendadak semakin ramai.

Dari balkon balai kota, para pejabat berdiri berjejer dengan wajah dingin. Barisan petugas keamanan di bawah sudah siap dengan tameng dan pentungan.

Lalu sebuah ledakan mengguncang udara. Panik meledak. Orang-orang berlarian, saling menubruk. Teriakan bercampur tangis. Ibrahim menolong seorang pemuda yang berdarah. Di sampingnya, Amran berusaha berdiri meski punggungnya memar. Pentungan lain menghantam kepalanya.

Gas air mata dilepaskan. Batu-batu berterbangan. Suara gaduh menelan segalanya.

Di tengah kekacauan, suara serak seorang lelaki terdengar. “Kaplat!”

Suara itu menggema, disambar puluhan mulut lain.

“Kaplat! Kaplat! Kaplat!” Tatapan para warga menghujam ke arah para pejabat yang hanya menonton dari balkon balai kota.

Kata kaplat dengan cepat memenuhi udara, menghantam dinding balai kota dan menembus kaca tempat para pejabat kota bersembunyi.

Hingga senja turun, jalanan kota dipenuhi asap, pecahan kaca, dan bercak darah. Beberapa warga terlihat memapah yang terluka, sedangkan sebagian yang lain masih mencari kawannya di antara pecahan dan reruntuhan toko.

Di ruang balai kota, salah seorang pejabat tersenyum di depan kamera. “Kami bangga pada petugas keamanan yang menjaga ketertiban. Mereka layak mendapat apresiasi.” Ucapan itu disambut tepuk tangan, seolah tidak ada darah yang mengalir di jalan-jalan.

Malam setelah kericuhan itu, warga pulang dengan tubuh memar dan langkah limbung. Namun belum sempat mereka menghela napas, hujan turun begitu deras seakan langit ikut pecah bersama kemarahan mereka. Air mulai tergenang di lorong-lorong, membawa serta lumpur dari arah perbukitan. Ketika dini hari menjelang, arus keruh itu sudah menyeret balok-balok kayu, sisa penebangan hutan yang selama ini dilindungi oleh kebijakan para pejabat kota. Potongan batang itu saling bertumpuk, menutup sungai seperti tembok yang menunggu saatnya jebol.

Pada pagi hari, suara gemuruh terdengar dari arah sungai, lalu air meluap masuk ke halaman rumah-rumah warga. Mereka yang semalam masih memapah kawan yang terluka kini harus berlari lagi, menyelamatkan keluarga dan barang seadanya. Di masjid desa yang dijadikan tempat pengungsian dadakan, bisik-bisik kembali berembus bahwa banjir kali ini bukan sekadar hujan deras, melainkan buah dari pembiaran yang sudah terlalu lama ditutup mata.

Sementara itu, para kaplat terlihat sama sekali tidak peduli. Mereka hanya menonton dari balik layar televisi sambil mengamati banjir seperti menonton pertunjukan yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Sebagian malah berani berujar bahwa itu bukanlah bencana bersama.

Media masih juga bungkam terkait kasus penangkapan Teungku Amiruddin dan beberapa warga yang lain. Isu ijazah palsu atau hutan desa yang rusak parah juga perlahan padam. Orang-orang yang sebelumnya ngotot untuk menurunkan Fatimah dari jabatan kepala desa kini sibuk bergelut dengan banjir. Suara-suara teriakan mereka saat menuntut keadilan di balai kota hanyut bersama arus lumpur yang mulai menenggelamkan rumah warga.

***

Cerpen-cerpen Rinal sudah pernah dimuat di beberapa media nasional. Kumpulan cerpen
terbarunya, Sebelum Asri Pergi, terbit pada akhir Juli 2025, sedangkan kumpulan cerpen
sebelumnya, Para Perempuan di Tanah Serambi, terpilih sebagai finalis Penghargaan Sastra
Rasa 2022. Rinal juga menekuni penulisan cerita anak. Cerita anak terbarunya yang berjudulCangguek Bineh Krueng (Katak Tepi Sungai) memenangkan Sayembara Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak Dwibahasa Tahun 2025 yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Aceh.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat