Nostalgia
Lawatan Sjafruddin Prawiranegara di Sumpur Kudus
77 tahun pemerintahan di Rimba Sumatra.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Arts University of Melbourne Australia
Tanggal 19 Desember ini merupakan bagian penting dalam sejarah perjalanan bangsa. 77 tahun sudah usia dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) – benang merah dari keberlangsungan negara ini dari 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949. Tentunya, sejak dicanangkan sebagai hari Bela Negara, cukup banyak tulisan yang mengisahkan PDRI, namun, jarang yang mengisahkan keberadaan Sjafruddin Prawiranegara di Nagari Sumpur Kudus.
Kisah perjalanan ketua PDRI dan rombongan, dimulai pada 13 April 1949. Ia bertolak menyusuri derasnya arus Batang Sangir menuju ke Batang Kuantan. Setelah keberangkatannya pada 16 April 1949, giliran pasukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang membawa Stasiun Radio UDO, dipimpin oleh MS Tamimi.
Menyelamatkan Radio Sender dan Melawan Arus Batang Kuantan
Perjalanan dari Abai Sangir menuju ke Calau, Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung Sumatra Barat memakan waktu sepuluh hari. Mengapa harus lewat jalur sungai? Tentunya, untuk menghindari tindak pengintaian dari tentara Belanda dan spionasenya. Alasan lainnya, akses yang paling mudah untuk mencapai Calau hanya jalur sungai.
Sekali lagi, perjalanan yang ditempuh, tidaklah mudah. Kesaksian dari seorang perwira AURI Umar Said Noor (2001) mengungkap, ganasnya arus sungai yang dilalui. Mereka berhadapan dengan derasnya arus sungai dan berbatu. Meskipun perahu dikemudikan oleh para pendayung AURI yang cekatan dan berpengalaman, namun kondisi arus yang deras, membuat prajurit yang membawa radio sender was-was.
“Arus sungai mendorong perahu-perahu meluncur dengan cepat. Perahu-perahu yang dikemudikan oleh para pendayung yang berpengalaman dan cekatan tidak mengalami kesulitan apalagi kecelakaan. Arus sungai yang deras dan sering berbatu-batu dilaluinya dengan mudah. Hanya kadang-kadang kami sebagai penumpang dibuatnya senewen. Menjelang masuk ke Sungai Dareh, kondisi sungai tidak lagi berbatu-batu, tetapi arusnya masih tetap deras.” – demikian kesaksian dari Umar.
Arus Sungai Kuantan pun tak kalah gila. Bisa dibayangkan resiko yang dihadapi oleh rombongan PDRI itu. Seluruh penumpang dan teknisi terpaksa mendorong dan menarik sampan mereka melawan derasnya arus Batang Kuantan. Bila malam datang, pasukan AURI itu, bermalam di tepian Batang Kuantan.
Rombongan pun menginap di sebuah gubuk milik eks romusha yang dibangun di sela-sela batu besar di tepi Sungai Kuantan. Rombongan pasukan sender itu hanya menginap satu malam, untuk kembali melanjutkan perjalanan pada pagi harinya. Eks romusha itu menceritakan, dua hari lalu, jelang kedatangan mereka, banyak orang yang naik perahu ke hulu. Dan, ditengarai itu adalah rombongan Ketua Sjafruddin Prawiranegara.
Rombongan PDRI merapat di Calau secara berturut-turut pada tanggal 22, 23, 24, dan 25 April 1949. Daerah yang mereka lewati antara lain Sungai Dareh, Kiliranjao, Sungai Bitung, Padang Tarok, Durian Gadang dan Manganti. Sementara itu, rombongan Umar Said sampai di Calau pada tanggal 25 April 1949.
Melayani tanpa Batas: Pengorbanan Masyarakat Sumpur Kudus
Masyarakat di Nagari Sumpur Kudus, tidak pernah menduga “Presiden” PDRI dan rombongan datang ke kampung mereka. Rombongan itu datang, tanpa memberi kabar terlebih dulu. Sjafruddin,menurut kesaksian Mansoer Dt. Penghulu Mudo pernah menginap di rumah Buya Syafii Maarif dan sering mobile. Terkadang Sjafruddin berada di Calau, esok harinya menginap di rumah Halifah – mertua Buya Syafii Maarif di Sumpur Kudus.
Ketika pasukan sender tiba di Calau, mereka langsung menerima perintah dari Sjafruddin, untuk mengontak Gubernur Militer Sumatera Barat Mr. Sutan Moh. Rasjid yang berkedudukan di Nagari Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota.
Berita yang disampaikan lewat radio sender antara lain agar Mr. Sutan Moh. Rasjid dan lr. Mananti Sitompul, untuk segera menghadiri rapat pleno tanggal 14 sampai dengan 17 Mei l949 di Nagari Silantai–tetangganya Sumpur Kudus.
Bagi awak Stasiun Radio AURI ”UDO” ini, tidaklah susah untuk segera mengudara. Alat sendernya yang kecil dengan antena yang seolah-olah hanya disampirkan dari pohon ke pohon, maka Stasiun Radio tersebut sudah dapat berhubungan dengan lawan Stasiun Radio di Jawa, bahkan di luar negeri.
Untuk menjamin keamanan Sjafruddin dan rombongan, selain dikawal pasukan AURI dan Pasukan Mobil Teras (PMT), juga dijaga oleh para pemuda yang tergabung dalam Badan Pengawal Nagari/Kota (BPNK). BPNK sendiri terbentuk di seluruh nagari di Sumatra Barat, yang diinisasi oleh Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) Chatib Sulaiman.
Namun, jangan ditanya sejauh mana pengorbanan dari masyarakat Sumpur Kudus untuk seorang Sjafruddin Prawiranegara dan rombongan PDRI. Kalangan ibu-ibu yang berjumlah 28 orang giat memasak di dapur umum. Sebagian lainnya, sibuk mencari ikan tawar, sayuran dan lauk pauk, untuk dimasak dan disuguhkan pada rombongan PDRI. Setiap pagi, ibu-ibu itu sudah berada di dapur umum. Masakan yang biasanya mereka sajikan untuk rombongan PDRI, adalah ikan asin lado merah, goreng kentang, ikan goreng, maupun ikan gulai.
Masyarakat Sumpur Kudus, tidak hanya memfasilitasi dan melayani kebutuhan rombongan PDRI, namun lebih dari itu. Soetan Moh. Rasjid pada tanggal 24 Oktober 1974 melalui tulisannya, mengungkap, bahwa seorang saudagar kaya Sumpur Kudus meminjamkan sejumlah dana untuk pemerintah PDRI. Bila dihitung dengan besaran di masa Sutan Moh Rasjid menulis artikel itu, mencapai Rp 50 juta. Dana tersebut, belum pernah dilunasi pemerintah kepada Halifah hingga kini.
Dalam autobiografinya, Maarif (2013) menulis, bahwa jasa mertuanya itu cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pokok rombongan PDRI. Satu di antaranya, menyuplai berton-ton beras pada masa PDRI di Sumpur Kudus. Selain itu, Sumpur Kudus menyediakan 20 rumah untuk ditempati oleh petinggi PDRI dan tim stasiun radio sender.
Masyarakat Sumpur Kudus dan Silantai menyimpan ingatan yang kuat terhadap sosok Sjafruddin. Terutama kebiasaannya jalan-jalan pagi. Sjafruddin kerap membawa tongkat yang terbuat dari bahan rotan. Untuk mengabadikan kenangan terhadap Ketua PDRI selama di Silantai, masyarakat Ampalu menamakan jalan di kampungnya dengan nama Sjafruddin Prawiranegara.
Dalam kesibukannya, Sjafruddin tidak pernah melupakan awak Stasiun Radio. Ia kerap menanyakan kesehatan dan kecukupan persediaan makanannya.“Benar-benar besar perhatian Ketua Menteri [sebutan untuk jabatan Sjafruddin] terhadap Stasiun Radio AURI “UDO” ini, yang dengan setia mengikuti terus-menerus perjalanan rombongan PDRI ini,” – demikian tulis Umar Said Noor.
Di Silantai: bergerak dan berunding
Setelah lebih seminggu bermukim, rombongan PDRI bergerak meninggalkan Sumpur Kudus tanggal 4 Mei 1949 menuju Silantai. Perjalanan dari Calau ke Silantai ditempuh dengan berjalan kaki.
Rombongan PDRI berangkat pada pagi hari dan sampai di Silantai menjelang Magrib. Perjalanan dimulai dari jalan yang rata, mendaki perbukitan, menyeberang beberapa anak sungai, hingga menuju puncak perbukitan. Setelah itu, ada jalan setapak untuk menuruni bukit yang merupakan satu-satunya jalan bagi penduduk untuk menuju ke Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota.
Nagari Silantai terletak pada dataran tinggi, memiliki pemandangan alam yang elok dengan hawa yang sejuk. Masyarakat pun menyambut hangat kedatangan rombongan PDRI yang berjumlah 100 orang di nagari Silantai. Rombongan diinapkan oleh penduduk di beberapa lokasi, seperti Sungai Kolam, Guguk, Padang Aur dan Unggan. Khusus untuk rombongan tim Stasiun Radio AURI “UDO” ditempatkan di Siaur.
Meskipun posisi Silantai dianggap aman dari kejaran tentara Belanda, namun untuk menjaga keselamatan Ketua PDRI dan rombongan, Wali Perang Silantai bernama Hasan Basri, tidak mau mengambil resiko. Dia memerintahkan Ketua BPNK Silantai, M. Siran, untuk tetap berpatroli sampai di perbatasan Silantai.
Rombongan Stasiun Radio UDO menginap di rumah Wali Perang Hasan Basri; Harun Malik diinapkan di Lubuk Hijau; Mr Lukman Hakim, Mr Karim, Latif menginap di Tandak Onggan. Sedangkan Ketua PDRI menginap di Surau Tabiang.
Masyarakat senantiasa mengunjungi Sjafruddin Prawianegara di Surau Tabiang untuk mengantarkan makanan, minuman, dan buah-buahan. Meskipun statusnya sudah menjadi “Presiden”, namun Sjafruddin menolak menginap di rumah penduduk, dengan alasan ingin menjalankan ibadah salat.
Penting untuk diketahui, bahwa Sidang Pleno PDRI terjadi ketika usia PDRI memasuki tujuh bulan. Selama itu, PDRI telah pernah bersidang secara lengkap dua kali. Pertama, pada waktu pembentukan kabinet PDRI di amplasemen bekas pabrik teh di Halaban. Kedua, menjelang dibubarkannya PDRI di Silantai.
Persoalan di mana Sidang Pleno akan dilangsungkan menimbulkan perbedaan pendapat di tataran penulis sejarah: apakah di Sumpur Kudus atau di Silantai? Namun, persoalan ini akan dapat segera terjawab jika kita merujuk memoar Umar Said Noor yang menegaskan bahwa Sidang Pleno berlangsung di Silantai, bukan di Sumpur Kudus.
Selama di Silantai, Umar kembali mengungkap sibuknya aktivitas Sjafruddin dan kabinetnay selama bermikim di sana, “Di Silantai, Ketua Menteri dengan para menterinya selama kurang lebih empat puluh satu hari mengalami hari-hari. Tidak sempat lagi para menteri pergi ke pasar apalagi bermain sepakbola seperti waktu di Bidar Alam. Tetapi Ketua Menteri hampir setiap pagi dengan beberapa teman berjalan pada pagi-pagi hari”.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
