
Sastra
Waktu yang Terlupakan
Puisi Fileski Walidha Tanjung
Oleh FILESKI WALIDHA TANJUNG
Waktu yang Terlupakan
Aku adalah lonceng tua di menara balai kota,
perutku retak, suara tak lagi melompat dari dada.
Bulan ini, barisan langkah merayakan bebasnya tanah air,
sementara aku menghitung detak
dari bayangan yang tak dijemput.
Veteran-veteran duduk dalam diam
mata mereka seperti foto yang sudah usang:
tersenyum karena kenangan,
bukan karena sekarang.
Bendera berkibar dengan dada membusung,
tapi angin tak pernah menoleh ke tempat kami menggigil.
Di sudut ini, keheningan lebih patriotik
daripada sorak-sorai yang tak tahu sejarah.
2025
***
Yang Tak Pernah Diundang
Aku adalah pohon tua di pekarangan panti jompo,
akar-akar ku bersilang seperti tangan para ibu
yang menunggu pulang anak-anaknya
dengan suara doa yang patah.
Setiap 17 Agustus, suara mikrofon dari lapangan sebelah
merambat ke dahanku seperti kenangan yang getir.
Tapi tidak ada satupun dari mereka
yang membawa kue ulang tahun untuk republik yang kami jahit
dengan air susu dan luka.
Kami tak lagi bisa berdiri memberi hormat,
tapi detak jantung kami tetap berdetak dalam warna merah putih.
Mereka merayakan merdeka,
kami mengenang bagaimana rasanya mencintai tanah
tanpa pernah dijanjikan pulang.
2025
***
Hening, Bahasa Tanah Leluhur
Aku adalah tanah di bawah kaki anak-anak yang melompat riang,
tanah tempat nenek moyang dibaringkan tanpa batu nisan.
Di hutan yang dicabut dari akarnya sendiri,
masyarakat adat duduk seperti patung yang lupa bahasa
Kami tidak bersuara,
karena kami bukan mikrofon, bukan televisi, bukan baliho.
peluh kami mengaliri sungai yang
menghidupi kota-kota yang kini melupakannya.
Tiap nyanyian kebangsaan terdengar asing,
karena kami punya lagu sendiri,
yang dinyanyikan oleh burung-burung
yang kini ditembak demi meriahnya parade.
2025
***
Karnaval yang Menyapa Jendela
Aku adalah jendela di rumah veteran buta,
kaca berembun oleh ingatan yang terlalu tajam.
Di luar sana, anak-anak mengecat wajahnya dengan dwi warna
sementara ia mengecap luka dengan ujung lidahnya sendiri.
Kakinya—sepasang tiang bendera yang kini lapuk,
tangannya—sebuah peluit yang kehilangan udara.
Tiap sorak kemenangan adalah gema yang menelusup ke perutnya
seperti bayonet yang tertinggal dalam perang tak pernah selesai.
Bahkan langit tampak tak tahu,
bahwa di balik tirai ini ada tubuh yang pernah menjadi tanah tempat negara tumbuh,
dan kini ditinggalkan seperti puisi yang terlalu panjang
untuk dibaca di panggung hari puisi.
2025
***
Yang tak Pernah Diterjemahkan
Aku adalah bahasa ibu dari suku yang nyaris punah,
kalimat-kalimatku disimpan di gua, bukan di buku pelajaran.
Bendera berkibar di sekolah-sekolah
yang tak mengajarkan bagaimana aku mengucap “cinta” pada tanah air.
Setiap pidato kemerdekaan adalah monolog yang tak memberiku ruang,
karena mulutku tidak menjunjung fonetik nasional.
Tapi aku tetap bernyanyi di balik rimba,
menerjemahkan cinta ke dalam anyaman, hujan, dan asap.
Aku bukan pengkhianat karena tak hafal lagu kebangsaan.
Aku hanya tak pernah diajari.
Dan heningku bukanlah protes,
melainkan upaya bertahan dari gegap-gempita yang
tak memberi ruang bagi dialek kehidupan.
2025
***
Fileski Walidha Tanjung adalah penyair kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai media nasional.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.