
Sastra
Mimpi Tentang Palestina
Cerpen Darju Prasetya
Oleh DARJU PRASETYA
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali terbawa ke dalam mimpi yang sama. Mimpi yang membawaku pada realitas getir di tanah Palestina. Dalam tidurku, aku seolah berada di sana, menyaksikan langsung kengerian yang terjadi di hadapanku.
Langit Gaza yang biasanya biru cerah kini tertutup kepulan asap hitam. Suara dentuman bom dan tembakan terdengar bersahutan dari berbagai penjuru. Di tengah kekacauan itu, aku melihat seorang gadis kecil berusia sekitar delapan tahun berlari tertatih-tatih. Gaun birunya yang lusuh berkibar tertiup angin, sementara kedua kakinya yang lecet terus melangkah meski tampak lelah.
"Sarah! Sarah!" Terdengar teriakan seorang wanita yang kemudian aku ketahui adalah ibunya.
Gadis kecil itu menoleh sejenak, air mata mengalir di pipinya yang kotor oleh debu. "Ummi!" teriaknya parau, berusaha menggapai tangan ibunya yang terulur.
Namun sebelum tangan mereka bertemu, sebuah ledakan dahsyat mengguncang bumi. Sarah terpental beberapa meter, tubuh mungilnya membentur puing-puing bangunan yang berserakan. Aku ingin berlari menolongnya, tapi kakiku seolah terpaku. Aku hanya bisa menyaksikan dengan hati mencelos ketika ibunya merangkak mendekati Sarah, memeluk tubuh putrinya yang kini tak bergerak.
"Ya Allah... kenapa? Kenapa harus anakku?" Ratapan pilu sang ibu memecah keheningan yang tercipta setelah ledakan.
Pemandangan berganti. Kini aku berada di sebuah kamp pengungsian darurat. Puluhan tenda sederhana berjejer tak beraturan. Di salah satu sudut, sekelompok anak-anak duduk melingkar. Mereka bukan sedang bermain seperti anak-anak seusia mereka di belahan dunia lain. Mata mereka kosong, menatap jauh entah ke mana.
"Ahmad, kau masih ingat rumahmu?" tanya seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun kepada temannya.
Ahmad, bocah yang ditanya, mengangguk pelan. "Ya, Khalil. Rumahku cat putih, ada pohon zaitun di halaman. Abi selalu mengajakku memetik buahnya saat musim panen." Suaranya bergetar. "Tapi sekarang... semuanya hancur."
"Rumahku juga," timpal seorang gadis kecil bernama Fatima. "Mereka menghancurkannya dengan buldozer. Padahal di sana ada foto-foto Ummi yang sudah syahid."
Air mata menggenang di pelupuk mata anak-anak itu. Mereka terlalu muda untuk memahami konflik yang merenggut masa kecil mereka, tapi cukup dewasa untuk merasakan kepedihan kehilangan.
Di tengah lamunanku, terdengar suara sirine. Semua orang berlarian mencari tempat berlindung. Seorang anak laki-laki mungil tersandung dan jatuh. Tanpa pikir panjang, seorang remaja lelaki berlari ke arahnya, mengangkat tubuh kecil itu dan membawanya ke tempat aman. Tepat setelah mereka berlindung, sebuah rudal meledak tak jauh dari tempat mereka berada.
"Terima kasih, Kak Hassan," ucap si kecil dengan suara bergetar.
Hassan tersenyum tipis, mengusap kepala adik kecilnya. "Kita harus saling menjaga, Yusuf. Allah selalu bersama kita."
Pemandangan kembali berubah. Kali ini aku berada di sebuah rumah sakit darurat. Ruangan itu penuh sesak dengan para korban. Dokter dan perawat berlarian ke sana kemari, berusaha menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin dengan peralatan seadanya.
Di salah satu sudut, seorang anak perempuan duduk di samping ranjang adiknya yang terbaring lemah. Ia menggenggam tangan mungil adiknya sambil membacakan ayat-ayat Al-Quran dengan suara lirih.
"Layla, apa Abi dan Ummi akan datang?" tanya si adik dengan suara lemah.
Layla terdiam sejenak, menelan ludah untuk menahan tangis. Bagaimana ia harus menjelaskan pada adiknya bahwa kedua orang tua mereka telah syahid dalam serangan seminggu lalu?
"Mereka... mereka sudah di surga, Amir. Mereka menunggu kita di sana."
Amir tersenyum lemah. "Kalau begitu, aku ingin bertemu mereka."
Air mata Layla akhirnya tumpah. "Tidak, Amir. Kau harus bertahan. Kita masih harus berjuang."
Di lorong rumah sakit, aku melihat seorang dokter muda bersandar ke dinding, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Dr. Mahmud, begitu nama yang tertera di jas putihnya, telah bekerja tanpa henti selama berhari-hari.
"Ya Allah, sampai kapan ini akan berlanjut?" bisiknya lirih. "Kami kehabisan obat-obatan. Anak-anak ini butuh pertolongan lebih dari yang bisa kami berikan."
Mimpi membawaku ke sebuah sekolah yang sebagian bangunannya telah hancur. Di antara puing-puing, beberapa anak masih tekun belajar. Mereka duduk di lantai, menulis di buku-buku yang sudah lusuh.
"Anak-anak," kata guru mereka, Ustadzah Amira, "meski dalam keadaan sulit, kita tidak boleh berhenti belajar. Ilmu adalah senjata kita."
"Tapi Ustadzah," sela seorang murid, "bagaimana kami bisa fokus belajar kalau setiap saat bisa ada serangan?"
Ustadzah Amira tersenyum lembut. "Justru karena itulah kita harus terus belajar. Suatu hari nanti, kalian yang akan membangun kembali Palestina. Kalian yang akan menjadi dokter untuk mengobati yang sakit, insinyur untuk membangun rumah-rumah yang hancur, guru untuk mendidik generasi selanjutnya."
Kata-kata itu seolah memberikan secercah harapan di tengah kegelapan. Anak-anak itu mengangguk, kembali menekuni pelajaran mereka dengan semangat yang baru.
Namun kedamaian itu tak bertahan lama. Suara helikopter terdengar mendekat, diikuti dentuman yang memekakkan telinga. Anak-anak berlarian mencari perlindungan, sementara Ustadzah Amira berusaha mengarahkan mereka ke tempat yang aman.
"Allahu Akbar!" teriak mereka bersama-sama, mencoba menghalau rasa takut dengan mengingat Allah.
Di tengah kekacauan itu, aku melihat seorang anak laki-laki memungut sebuah batu. Dengan berani, ia melemparkannya ke arah tank yang mendekat. Tindakan simbolis yang menunjukkan bahwa bahkan anak-anak pun memahami pentingnya melawan ketidakadilan.
"Omar, jangan!" teriak temannya.
Tapi Omar tetap berdiri tegak. "Mereka boleh mengambil rumah kita, tapi mereka tidak bisa mengambil keberanian kita!"
Pemandangan berganti lagi. Kali ini aku berada di sebuah pemakaman. Deretan makam-makam kecil berbaris rapi, masing-masing ditandai dengan nama dan usia yang terlalu muda untuk pergi.
Seorang nenek duduk di antara makam-makam itu, tangannya mengusap batu nisan cucunya yang baru berusia lima tahun. Air matanya telah kering, tergantikan oleh tatapan kosong yang menyiratkan kepedihan tak terucap.
"Ya Allah," doanya lirih, "berikanlah mereka tempat terindah di surga-Mu. Mereka terlalu kecil untuk merasakan kejamnya dunia ini."
Di kejauhan, aku melihat sekelompok anak bermain di antara puing-puing. Mereka membuat mainan dari apa pun yang bisa mereka temukan - kaleng bekas menjadi bola, kardus menjadi rumah-rumahan. Tawa mereka terdengar seperti melodi yang kontras dengan suara ledakan yang sesekali masih terdengar.
"Lihat!" seru salah satu dari mereka, menunjuk ke langit. "Ada merpati!"
Semua mata tertuju ke atas, di mana seekor merpati putih terbang melintasi langit Gaza yang kelabu. Bagi anak-anak itu, burung merpati adalah simbol perdamaian yang mereka rindukan.
"Suatu hari nanti," kata seorang anak perempuan bernama Mariam, "kita akan bisa terbang bebas seperti merpati itu."
Teman-temannya mengangguk. Dalam ketidakberdayaan mereka, harapan tetap hidup di hati anak-anak Palestina.
Aku terbangun dengan air mata mengalir di pipi. Mimpi itu terasa begitu nyata, membawa kesedihan yang mendalam. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, waktu yang konon adalah saat di mana doa paling mudah dikabulkan.
"Ya Allah," bisikku dalam doa, "lindungilah anak-anak Palestina. Mereka terlalu muda untuk memikul beban penderitaan ini. Berikanlah kekuatan pada mereka yang berjuang, kesabaran pada mereka yang kehilangan, dan hidayah pada mereka yang berbuat zalim."
Kupandangi langit malam dari jendela kamarku. Di suatu tempat di sana, anak-anak Palestina mungkin sedang berusaha tidur di tengah suara dentuman bom. Mungkin mereka sedang bermimpi tentang masa depan yang damai, atau mungkin mereka terjaga karena takut tidak akan bangun lagi esok hari.
Hatiku terasa berat memikirkan betapa tidak adilnya dunia ini. Sementara anak-anak di belahan dunia lain bebas bermain dan belajar, anak-anak Palestina harus berjuang untuk bertahan hidup setiap harinya. Mereka dipaksa dewasa sebelum waktunya, menyaksikan kekejaman yang bahkan orang dewasa pun sulit untuk memahaminya.
"Semoga segera ada keajaiban dari Sang Maha Kuasa," gumamku. "Dan para penjajah zionis itu segera musnah dari bumi Palestina. Kasihan masa depan anak-anak Palestina yang tak berdosa itu!"
Kuputuskan untuk bangun dan mengambil wudhu, berniat untuk melakukan shalat tahajud. Dalam sujudku, air mata kembali mengalir. Aku berdoa agar suatu hari nanti, anak-anak Palestina bisa merasakan kebebasan yang menjadi hak mereka. Agar mereka bisa bermain tanpa rasa takut, belajar tanpa gangguan, dan tidur tanpa mimpi buruk tentang perang.
Ketika fajar mulai menyingsing, aku masih terjaga. Mimpi tentang anak-anak Palestina itu telah membuka mataku lebih lebar tentang realitas yang terjadi di sana. Mungkin ini adalah cara Allah mengingatkanku bahwa di suatu tempat di dunia ini, ada saudara-saudara kita yang membutuhkan doa dan dukungan kita.
Aku berjanji dalam hati untuk terus mendoakan mereka, untuk terus menyuarakan kebenaran, dan untuk tidak pernah melupakan penderitaan mereka. Karena mungkin hanya itu yang bisa kulakukan saat ini - menjadi suara bagi mereka yang suaranya tidak didengar, dan terus berharap bahwa suatu hari nanti, keadilan akan datang untuk anak-anak Palestina.
Semoga Allah senantiasa melindungi mereka, memberikan kekuatan pada mereka yang berjuang, dan menghadirkan kedamaian di tanah yang diberkahi itu. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Darju Prasetya lahir di Tuban Jawa Timur. Karya-karyanya baik esai, cerpen, puisi, artikel telah banyak dimuat di berbagai media baik cetak maupun online. Bisa dihubungi lewat email: prasetya58098@gmail.com
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.