Sepasang Sayap yang Patah | Republika/Daan Yahya

Sastra

Sepasang Sayap yang Patah

Cerpen Darju Prasetya

Oleh DARJU PRASETYA

Langit Gaza siang itu berwarna kelabu. Bukan kelabu awan mendung, tapi kelabu asap yang mengepul dari puing-puing bangunan. Amira, gadis kecil berusia delapan tahun, menatap langit dengan mata yang menyimpan ribuan tanya. Di punggungnya, Malik - adik lelakinya yang baru lima tahun - terkulai lemah dengan kaki berbalut kain yang mulai memerah.

"Kak, sakit..." bisik Malik lirih.

Amira menggigit bibirnya, menahan air mata yang hendak jatuh. Ia teringat pesan ibunya sebelum mereka terpisah dalam kepanikan pengungsian: "Jadilah kuat seperti burung merpati Gaza yang tetap terbang meski sayapnya terluka."

Pagi itu dimulai seperti pagi-pagi biasa di Gaza. Amira sedang membantu ibunya menyiapkan sarapan, sementara Malik masih bergelung dalam selimutnya. Ayah mereka sudah berangkat sejak subuh ke rumah sakit tempat ia bekerja sebagai dokter. Suara ledakan pertama terdengar ketika Amira hendak membangunkan adiknya.

"Ibu!" jerit Amira panik.

Sang ibu bergegas masuk ke kamar, wajahnya pucat pasi. "Cepat ambil tas darurat di lemari! Kita harus pergi sekarang!"

Dalam hitungan menit, mereka sudah berlari di jalanan bersama puluhan keluarga lain. Malik yang masih mengantuk digendong ibunya. Amira menggenggam erat tangan sang ibu, tas darurat tersandang di bahunya. Suara sirene dan ledakan bersahutan di udara.

Kerumunan semakin padat. Orang-orang berteriak. Anak-anak menangis. Tiba-tiba ledakan besar terjadi tak jauh dari mereka. Asap dan debu mengaburkan pandangan. Genggaman tangan ibunya terlepas.

"Ibu!" Amira berteriak di tengah kepanikan. "Ibu di mana?"

Ketika asap mulai menipis, ia menemukan Malik terduduk di tanah, menangis ketakutan dengan kaki berdarah terkena serpihan bangunan. Tapi ibunya tak terlihat dimanapun.

Kini, setelah berjam-jam berjalan, Amira masih belum menemukan tempat aman untuk mereka. Jalanan berpasir membakar telapak kakinya yang telanjang. Setiap langkah terasa seperti menginjak bara. Tapi Amira tak peduli. Yang ia tahu, ia harus membawa Malik ke tempat yang aman. Entah di mana itu.

"Kak Amira..." Malik berbisik lagi.

"Ya, sayang?"

"Aku melihat Ibu tadi."

Amira tercekat. Ia tahu Malik sedang mengigau karena demam. Atau mungkin... tidak. Ia tak mau memikirkannya. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya mencari bantuan untuk Malik.

Amira teringat cerita ayahnya tentang rumah sakit Al-Shifa tempat ia bekerja. "Jika kalian terpisah dariku atau ibumu," kata ayahnya suatu hari, "carilah rumah sakit. Di sana selalu ada orang yang bisa membantu."

Tapi di mana rumah sakit itu? Dalam kondisi normal pun Amira tak yakin bisa menemukannya. Apalagi sekarang, ketika jalanan dipenuhi puing dan asap mengaburkan pandangan.

Di tengah kebingungannya, seekor merpati putih terbang rendah melintas di depannya. Burung itu hinggap sejenak di reruntuhan, seolah menunggu. Amira teringat dongeng ibunya tentang malaikat yang menyamar menjadi burung untuk menyelamatkan anak-anak yang tersesat.

"Malik," bisiknya pada adiknya yang setengah tertidur, "lihat, ada merpati putih. Seperti dalam cerita Ibu."

Merpati itu terbang lagi, kali ini menuju arah utara. Tanpa pikir panjang, Amira mengikutinya. Entah ini keputusan bodoh atau tidak, tapi ia merasa ada sesuatu yang istimewa dengan burung itu.

Semakin jauh mereka berjalan, suara ledakan semakin sayup terdengar. Jalanan mulai dipenuhi lebih banyak orang - para pengungsi yang mencari tempat aman, relawan yang membagikan air dan makanan, petugas medis yang mondar-mandir dengan tandu.

Merpati putih itu membawa mereka ke sebuah bangunan besar dengan bendera palang merah di depannya. Rumah sakit Al-Shifa.

"Ayah..." gumam Amira penuh harap.

Seorang perawat wanita melihat mereka dan segera menghampiri. "Ya Allah, kalian dari mana? Ayo masuk, biar kulihat luka adikmu."

Di dalam rumah sakit yang sesak oleh pasien dan pengungsi, Malik segera mendapat perawatan. Lukanya dibersihkan dan dibalut dengan proper. Amira duduk di sampingnya, menggenggam tangan kecil adiknya yang panas karena demam.

"Amira? Malik?"

Suara yang sangat dikenal itu membuat Amira menoleh. Ayahnya berdiri di ambang pintu ruangan, masih mengenakan seragam operasi yang bernoda darah. Dalam sekejap, Amira sudah berada dalam pelukan ayahnya, tangisnya pecah setelah seharian ditahan.

"Syukurlah kalian selamat," bisik sang ayah, suaranya bergetar. "Tapi... dimana ibumu?"

Amira menggeleng dalam isakan. Ia menceritakan apa yang terjadi - ledakan, kepanikan, dan hilangnya sang ibu.

Ayahnya terdiam lama, matanya berkaca-kaca. "Kita akan mencarinya," katanya akhirnya. "Tapi sekarang kalian harus istirahat dulu. Kalian aman di sini."

Malam itu, sambil berbaring di ranjang rumah sakit di samping Malik yang tertidur pulas, Amira melihat ke luar jendela. Merpati putih yang menuntun mereka hinggap di ambang jendela, menatapnya dengan mata yang familiar. Mata yang mengingatkannya pada ibunya.

"Terima kasih, Bu," bisiknya pelan. "Kami akan jadi kuat, seperti burung-burung merpati Gaza."

Hari-hari berikutnya dilalui dalam rutinitas baru di rumah sakit. Ayahnya sibuk menangani pasien yang terus berdatangan. Amira membantu para relawan membagikan makanan dan selimut kepada pengungsi, sementara Malik perlahan pulih dari lukanya.

Setiap sore, merpati putih itu selalu muncul di jendela kamar mereka. Kadang membawa sehelai daun zaitun di paruhnya, mengingatkan Amira pada cerita Nabi Nuh yang diceritakan ibunya. Tentang harapan dan kedamaian yang akan datang setelah badai berlalu.

Suatu sore, ketika Amira sedang membantu membagikan susu kepada anak-anak pengungsi, ia mendengar keributan di pintu depan rumah sakit. Seorang wanita dibawa masuk dengan tandu, tubuhnya penuh luka dan debu.

"Bu!" jerit Amira, menjatuhkan kotak susu di tangannya.

Ya, itu ibunya. Setelah seminggu menghilang, Allah telah mempertemukan mereka kembali. Ternyata selama ini ibunya terjebak di reruntuhan gedung, diselamatkan oleh tim SAR setelah berhari-hari.

"Maafkan ibu, sayang," bisik sang ibu lemah ketika Amira, Malik, dan ayah mereka mengelilingi ranjangnya. "Ibu tidak bisa melindungi kalian."

"Tidak apa-apa, Bu," jawab Amira, menggenggam tangan ibunya. "Ibu sudah mengajari kami untuk kuat. Seperti merpati Gaza."

Dari jendela rumah sakit, merpati putih itu terbang melintasi langit sore Gaza yang masih kelabu. Tapi kali ini, Amira melihat secercah biru di antara awan asap. Seperti harapan yang mulai menyusup di antara duka.

Ya, suatu hari nanti, langit Gaza akan kembali biru. Anak-anak akan kembali bermain di taman-taman yang hijau. Merpati-merpati akan terbang bebas tanpa takut sayapnya patah. Dan mereka, seperti burung-burung yang pantang menyerah itu, akan terus berjuang hingga hari itu tiba.

Sampai saat itu, Amira akan terus mengingat pelajaran berharga yang ia dapat: bahwa cinta dan harapan, seperti merpati putih itu, akan selalu menemukan jalan untuk terbang, meski di tengah badai sekalipun.

***

Penulis lahir di Tuban Jawa Timur. Karya-karyanya baik esai, cerpen, puisi, artikel telah banyak dimuat di berbagai media baik cetak maupun online. Bisa dihubungi melalui email prasetya58098@gmail.com

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Matinya Tukang Kritik 

Cerpen Rusmin Sopian 

SELENGKAPNYA

Penyair-Penyair di Zaman Nabi

Puisi Imam Budiman

SELENGKAPNYA

Letupan Tengah Malam

TEUKU HENDRA KEUMALA

SELENGKAPNYA