
Sastra
Letupan Tengah Malam
TEUKU HENDRA KEUMALA
Oleh Cerpen Teuku Hendra Keumala
Tum.... Tum.. Tum.....
Suara dentuman memecah keheningan malam itu. Padahal jam di dinding rumah ku masih menunjukan Pukul 21.30, tetapi warga tidak memiliki keberanian melintasi jalanan kampung yang masih berbatu kerikil itu, suasana mencekam, seisi kampung dibuat cemas setelah suara tembakan beruntun memekakkan telinga dimalam buta.
Tidak terkecuali nenekku Aisyah, ia yang sedang mempersiapkan makan malam di dapur, bergegas memasuki kamar kami, langkahnya begitu cepat, sampai-sampai lampu teplok ditangannya padam seketika.
“Kalian dengar suara dentuman barusan.?” tanya Nek Isyah ketika itu.
“Ada sesuatu sedang terjadi diluar, baiknya kalian tidak tidur diatas ranjang malam ini, lagi pula ranjang ini terlalu tinggi, tidak cocok saat kondisi yang tidak menentu ini,” sambung nenek.
Nek Aisyah takut jika ada peluru menyasar masuk kerumah kami. Saya bersama adik yang semula sudah diranjang, kemudian bergegas pindah tidur turun ke lantai yang hanya beralas tikar anyaman dari daun pandan, kami mengikuti saran nenek.
Diluar langit begitu sembab, rembulan seakan engan menampakkan diri, ia bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam, yang membuat suasana malam semakin mencekam, kemudian gerimis pun turun, membasahi kerikil-kerikil jalanan kampung yang sepi.
Sudah sangat lama kondisi tidak menentu seperti ini di kampung kami terjadi, warga di kampung tidak keluar rumah saat malam hari, merasa takut dihantui bayang – bayang kematian, mereka hanya berdiam diri di rumah, keterpaksaan ini dirasakan warga kampung ketika perang saudara pecah di daerah ini.
Mereka lebih memilih membenamkan diri di rumah bersamaan saat mata hari terbenam diufuk barat, dan kembali keluar saat matahari muncul dibalik gunung hijau arah timur kampung, kecuali ada sesuatu hal mendesak itupun dengan pertimbangan matang.
Malam itu Nek Aisyah kembali memasuki kamar kami, duduk bersimpuh dilantai, hatinya gundah gulana, ia mengira-ngira keberadaan suara yang baru saja didengarnya, suara yang sudah sangat sering baginya, dari sejak ia kecil sampai usianya senja.
Rentetan perselisihan itu seakan tidak pernah ada ujung, bahkan separuh hidupnya telah melampaui berbagai perang, perang pertama yang ia saksikan Ketika dia masih kecil dimana bangsanya melawan penjajahan Belanda, kemudian disambung perang Jepang. Berlanjut dengan perang saudara yang tidak kunjung reda.
“Entah kepala siapa yang telah direnggut suara dentuman itu, semoga saja suara itu tidak menelan korban,” lirihnya dalam hati.
"Darimana agaknya asal muasal suara itu?" tanya Aisyah kepada cucunya, ia ingin memastikan karena telinganya sudah sedikit terganggu dikarenakan faktor usia.
"Di ujung kampung sebelah barat," jawab Mudin cucu Aisyah, ia mereka - reka suara itu tidak terlalu jauh dari rumah mereka, kurang lebih sekitar 300 sampai 400 meter, karenanya Mudin memastikan bahwa suara itu bukan berasal dari meriam bambu, yang sering dimainkan anak kampung seusianya kala itu.
“Tidak mungkin suara itu dari meriam bambu, karena semenjak terjadi konflik anak – anak dilarang memainkan itu,” sebut Mudin.
Memang sejak daerah ini dilanda konflik bersenjata, suara - suara dentuman tengah malam sudah sangat sering terdengar, nyaring dan keras tidak sedikit esok paginya dibarengi dengan penemuan mayat manusia. Pembunuhan terjadi dimana-mana, orang-orang dihantui oleh rasa takut, seakan gelap malam mengancam nyawa mereka.
"Pembunuhan membabi buta sesama saudara seperti sekarang, peristiwa ini belum pernah terjadi saat perang-perang melawan penjajahan Belanda dahulu," kata Aisyah menceritakan keprihatinannya kepada Mudin cucunya.
Malah dulu peperangan terjadi lebih heroik dari ini, seperti yang pernah dilakukan kakekmu dulu, mereka berperang melawan kafir yang sengaja datang untuk menjajah, sedang sekarang mereka mencabik-cabik daging saudaranya sendiri mengatasnamakan perang suci.
“Ini benar-benar keji,” hardik Aisyah.
“Kau pasti tahu mudin setiap perbuatan yang keji akan dibenci Tuhan,” sebut Aisyah lagi
Bagaimana bisa kita menyebut ini perang suci, sedang berperang sesama se-Tanah Air yang sama, berada dalam satu akidah, menyembah Ilahi Rabbi, pun agama kita tidak pernah menganjurkan untuk memusuhi agama lain, selama mereka tidak memusuhi agama kita.
"Ini yang perlu kau cam kan," tegas Aisyah.
Ainsyah mengigatkan cucunya mudin yang masih muda itu, agar jangan pernah sekali-kali terpengaruh mengikuti bujukan mareka para pemberontak yang sedang mengangkat sejata melawan pemerintah yang sah di negeri ini.
“Ini bukan perjuangan seperti yang pernah dilakukan kakek mu dulu. haram hukumnya membunuh sesama,” lanjut Aisyah.
Aku prihatin, kata Aisyah karena ada banyak teman-teman seumuran dengan mu, sudah terpengaruh dengan bujukan mereka, bergabung dengan gerakan yang tidak jelas itu, mereka bangga menenteng senjata mengelilingi kampung dengan memperlihatkan wajah congkak, padahal itu amat membahayakan nyawa mereka dan keluarga.
Aku tidak bisa membayangkan bakal banyak pertumpahan darah terjadi di negeri ini, jika senjata-senjata itu dipegang oleh mereka orang - orang yang telah dihasut fitnah, yang tidak tahu pangkal dan ujung dari sebuah persoalan.
Itu sebabnya Mudin aku mengingatkan mu malam ini, jangan sekali–kali terpengaruh oleh bujukan pemberontakan mereka, karena itu akan melahirkan malapetaka bagi kita, malapetaka bagi semua dan bagi bangsa yang telah diperjuangkan kakek mu dahulu.
Satu lagi yang membuat aku prihatin, mereka telah dengan berani mematok para petani untuk membayar upeti membiayai perjuangan mereka dengan dalih pajak nanggroe. Coba kau bayangkan dari mana mereka akan memperoleh itu, sementara petani selama ini serba terdesak oleh kecamuk perang yang diciptakan para pemberontak itu membuat mereka petani tertekan.
Keesokan harinya, pagi - pagi buta, 28 Maret 2000 seisi kampung dibuat gaduh, seperti dugaan Aisyah, sosok mayat bersimbah darah ditemukan tergeletak di pinggir jalan kampung, kepalanya pecah, kaki remuk patah, dadanya ditembusi peluru, ia adalah Keuchik (Kepala Desa) Hasan petinggi kampung, ia dihabisi OTK, mayatnya disemayamkan ke rumah duka, tidak berada jauh dari tempat kejadian.
Mudin yang masih berusia belasan tahun turut menyaksikan peristiwa sadis pada pagi itu, memilukan, sebuah peristiwa yang tidak patut ia saksikan itu kemudian menjadi biasa baginya kegitula kekejam perang yang melanda negeri ini.
Kemudian berita tentang pembunuhan hampir setiap hari terdengar, ada pula mayat ditemukan tidak dikenali wajahnya, paling menggemparkan penemuan mayat dalam drum, yang dicor semen, itulah berita hari – hari yang muncul di surat kabar lokal, orang-orang dihabisi tanpa melewati proses hukum, orang-orang dihantui oleh rasa ketakutan, maut seolah mengintai mereka malam – malam mereka menjadi berat.
"Seperti apa yang terdengar semalam, suara dentuman itu telah menelan korban," kata Mudin, mengabarkan pada Aisyah neneknya saat sampai dirumah.
"Keuchik Hasan, kepala kampung kita dihabisi dengan tiga kali tembakan,”
“Betisnya remuk, kepalanya hancur tak berbentuk, dadanya ditembusi peluru," jelas Mudin pada Aisyah.
"Dosa apa yang telah diperbuat Keuchik Hasan, hingga orang-orang itu tega menghabisi nyawanya, bukankah dia orang baik di kampung ini, bagaimana nasib anak-anak nya kelak, dimana hati nurani, sungguh biadab," ucap nek Aisyah sedih.
Sambil mendekatkan kepalanya kepada Nek Aisyah, Mudin berbisik “Menurut kabar yang berkembang diluar, sudah tiga malam belakangan ini komplotan bersebo dengan menenteng senjata berkeliaran di kampung ini, entah apa yang mereka cari. Tapi tidak ada yang mengenali apakah mereka dari pihak pemerintah atau kombatan, bajunya loreng, memakai sepatu sebetis ada pula yang memakai sandal jepit, mereka mondar-mandir menyelusuri jalan kampung.
Keberadaan OTK ini dipergoki Wak Ismail, saat itu ia hendak buang hajat di kakus sungai kecil samping rumahnya, yang tidak berada jauh dari jalan, keempat komplotan itu keluar dari semak-semak, kemudian mengarah ke barat. Karena sudah larut malam ia tidak berani mencari tahu dan bergegas masuk rumah, karena dihantui rasa takut dia pun gagal buang hajat malam itu.
Sementara pada malam naas bagi keuchik Hasan, disaksikan Apa Maun dan beberapa orang kampung, menurut Apa Maun, Keuchik Hasan didatangi oleh beberapa orang bersebo di sebuah kedai kelontong milik warga kampung, sementara dua orang lagi terlihat remang-remang menunggu di jalan.
Mereka meminta keuchik Hasan untuk mengikuti mereka, namun dia menolak permintaan tersebut, kemudian perdebatan pun terjadi, tidak sampai lama orang - orang itu menyeret paksa Keuchik Hasan menjauhi lampu penerangan jalan.
Tidak seberapa lama kemudian terdengar suara tembakan sebanyak tiga kali, mereka menghabisi keuchik Hasan dalam kegelapan malam itu. Sementara orang – orang yang menyaksikan kejadian tragis yang menimpa keuchik Hasan malam itu hanya mematung tidak bisa berbuat banyak, karena mereka juga mendapat ancaman tembak jika ada yang berani membantu.
Dari kabar yang berkembang, keuchik Hasan dituduh telah melaporkan keberadaan gerombolan itu kepada aparat keamanan, sehingga dia dianggap sebagai orang yang mengancam keberadaan kelompok mereka yang harus segera dihabisi saat itu juga.
Sekali waktu setelah beberapa tahun kemudian, perihal tewasnya Keuchik Hasan kembali menguap di kampung, desas-desus itu awal mula diceritakan Suduki salah seorang warga pada saat berleha – leha di pos jaga malam setempat.
Menurut Suduki kematian keuchik Hasan berkaitan erat dengan pemilihan keuchik yang diselenggarakan 20 tahun lalu itu, dimana saat itu Keuchik Hasan bersama Abduh masing – masing ikut mencalonkan diri menjadi Keuchik Gampong Meudulat, yang kemudian dimenangkan Keuchik Hasan.
Tidak lama kemudian muncul kelompok militan yang ingin memisahkan diri dengan nagara kesatuan, Abduh memafaatkan kondisi ini untuk memfitnah Keuchik Hasan dengan melaporkan kepada orang-orang militan itu, bahwa Keuchik Hasan kerap membocorkan aktivitas kelompok militan di daerah itu kepada aparat keamanan, sehingga Keuchik Hasan dihabisi pada malam nahas itu.
Begitulah konflik itu terjadi mengacaukan dan mengilas sendi-sendi kehipan sosial di kampung ini, bagi mereka yang bernasib malang dihabisi tanpa menjalani proses peradilan, ada pula yang dihilangkan, dijemput dikeheningan malam meninggalkan duka yang mendalam.
Tum….Tum..Tum…..
Tepat pada malam itu 15 Agustus 2023 lalu suara dentuman kembali terdengar, rentetan suara itu amat keras terasa di telinga Mudin, persis seperti rentetan senjata 20 tahun lalu. Ia yang sedang tertidur pulas kemudian terpental dan bergegas terbangun, degup jantungnya amat kecang.
Suara itu tepat berada di langit-langit rumahnya, getaran disetiap dentuman seakan-akan meruntuhkan atap rumahnya, kemudian terdengar suara riuh, dan sorak-sorak gembira, ia bergegas keluar rumah, dilihatnya sejumlah pemuda sedang membakar petasan, mereka merayakan 17 Tahun perdamaian Aceh.
Teuku Hendra Keumala, Kelahiran Nagan Raya, 20 Maret 1986, saat ini berdomisili di Kota Banda Aceh, aktif menulis cerpen, artikel dan bekerja sebagai journalis di salah satu media lokal di Aceh.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.