Habib Zen Umar bin Sumaith | dok republika

Opini

Korona, Dua Sisi Mata Uang

Oleh Zen Umar bin Sumaith, Ketua Umum Rabithah Alawiyah

Hampir seluruh bangsa di dunia tertegun menghadapi kecepatan penularan virus Covid-19. Sebagian besar berita membahas virus yang telah merenggut nyawa puluhan ribu manusia di banyak negara tersebut.

Masing-masing negara melakukan tindakan pencegahan untuk mengatasi penyakit yang telah ditetapkan sebagai pandemi, dengan cara berbeda-beda walaupun WHO telah memberikan arahan yang baku secara global.  

Pertama, negara yang sejak awal mengambil langkah ekstrem menutup total atau lockdown wilayah yang menjadi sumber munculnya virus ini dan mewajibkan penduduknya untuk tinggal di rumah sebagaimana di Cina. 

Pelanggaran terhadap ketentuan ini konsekuensinya berat. Semua kegiatan, bisnis, sekolah, pelayanan umum dihentikan. Negara berusaha menyediakan kebutuhan hidup masyarakat selama masa karantina.

Langkah ini sempat dikritik melanggar HAM karena dianggap membatasi kebebasan, seakan memperlakukan rakyatnya sebagai tahanan rumah.

Para tenaga medis bekerja dengan alat dan proteksi diri cukup sehingga mereka tak ragu berada di garis depan menangani para korban di berbagai rumah sakit khusus. Kecepatan dan ketegasan bertindak ini terbukti dapat mengatasi musibah ini dengan lebih cepat. Penularan menurun dan masyarakat mulai beraktivitas, tidak lagi tercekam ketakutan.

Kedua, sebagian negara lagi menerapkan langkah sama dengan mengimbau untuk tinggal di rumah, menghindari kontak fisik, social distancing, dan selalu mencuci tangan, tetapi lebih longgar. Ternyata cara ini tak mampu menahan penyebaran virus yang makin masif.

Ini karena longgarnya peraturan dan tidak adanya disiplin masyarakat. Setelah tahapan ini dilalui tanpa menunjukkan hasil, barulah pemerintah menerapkan isolasi wilayah yang ketat dengan memperhitungkan risiko terburuk bagi kegiatan ekonominya.

Walaupun dianggap terlambat, langkah ini masih dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa. Kondisi demikian dialami sebagian negara-negara Eropa. Banyak korban tak  tertolong, baik dokter dan paramedis maupun pasien karena kapasitas rumah sakit yang terbatas.

Ketiga, negara yang awalnya berkeyakinan negaranya aman dari musibah ini dan menganggap musibah ini tidak akan menjalar sampai mereka. Keyakinan bahwa tinggal di negara tropis bisa terhindar dari wabah ini ternyata sama sekali tidak benar.

Setelah wabah ini mucul lewat mobilitas orang dari luar, ataupun antarwilayah, dan penularan meluas ke berbagai daerah, baru mereka membuat tindakan pencegahan.

Langkah-langkah awal yang terlihat mengecilkan problem ini, menjadikan kesalahan fatal dan kondisi memburuk melebar ke berbagai lini kehidupan. Pemerintah seakan tergagap mengatasinya karena virus telanjur memakan korban lebih banyak.

Korona menjadi nama paling menakutkan dan meneror semua masyarakat dunia. Sesungguhnya, banyak data membuktikan ada banyak jenis penyakit yang menyebabkan kematian dengan persentase lebih tinggi.

Namun, karena virus ini sangat cepat penularannya, Covid-19 menjadi lebih berbahaya dan menakutkan sehingga masing-masing orang merasa penyakit ini makin mendekat kepada dirinya.

Langkah-langkah pencegahan dan penyembuhan, seakan berlomba secara paralel dengan penularan dan kematian yang menyebabkan banyak pihak frustrasi.

Perdebatan tak berujung di kalangan ahli berlanjut, dari mana asal virus ini, apakah dari hewan liar yang dikonsumsi manusia atau kebocoran laboratorium senjata biologi yang diubah dengan teknologi rekayasa genetika menjadi virus baru yang belum ada obatnya.

Sebagai manusia yang beriman, kita percaya teror virus yang tak tampak wujudnya ini merupakan teguran bagi umat manusia agar tidak terus lalai dan sadar akan fitrahnya sebagai mahluk Allah SWT yang harus menjaga bumi dari kerusakan yang dibuatnya.

Dalam Alquran, Allah berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu ).’’ (QS Assyura: 30).

Di sisi lain, beberapa ahli lingkungan melaporkan, di belahan dunia yang terdampak virus korona ini, alam lingkungan sekitarnya menjadi lebih bersih dari pencemaran, baik air maupun udara. Seakan setiap kurun tertentu, bumi mengoreksi dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik.

Pada saat semua orang diwajibkan tinggal di rumah agar dapat memotong mata rantai penularan penyakit ini, sesungguhnya adalah waktu yang baik untuk manusia bermuhasabah.

Apakah dirinya selama ini lalai dalam menjalankan fungsi sebagai hamba Allah, melakukan kerusakan di bumi, dan berlaku sombong seakan tidak akan pernah dihampiri kematian?

Padahal "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..." (QS Ali Imraan: 185). Inilah saat dan kesempatan terbaik untuk bertobat, beribadah, dan bersedekah dengan memberikan bantuan kepada sesama yang terdampak korona secara ekonomi.

Para dai sepatutnya memberikan nasihat dengan mengingatkan umat untuk bermunajat kepada Allah agar diampuni dosa-dosa, dan selalu berharap agar musibah ini segera diangkat.

Sebagai seorang Muslim, harus menyiapkan diri memasuki bulan suci Ramadhan dengan suasana berbeda, yaitu kesendirian bersama Sang Khaliq tanpa kehilangan kekhusyukan dalam ibadah.

Di sini terlihat, korona menjadi dua sisi mata uang, antara ketakutan dan harapan juga antara musibah dan hikmah. Seyogianya kita mendoakan para pahlawan medis di garis depan agar terlindung dari penyakit dan korban syahid agar arwahnya diterima Allah SWT dengan keistimewaan para syuhada. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat