
Sastra
Mata Rabi'ah
Puisi Armen Setiaji Untung
Oleh ARMEN SETIAJI UNTUNG
Mata Rabi'ah
Di bawah jubah bulan
yang mengantuk,
seekor burung api
menuliskan lafaz cinta di udara
tanpa pena, tanpa suara,
hanya guratan cahaya
yang tak bisa ditangkap waktu.
Rabi’ah duduk di atas gurun
yang melengkung,
di tengah kepala seekor unta
yang sedang tidur dalam mimpi.
Tangannya bukan tangan
melainkan dua ranting doa yang membakar jiwanya sendiri.
Ia menyiram neraka
dengan air mawar,
dan menutup pintu surga
dengan nafasnya.
“Malam ini,” katanya,
“aku tak ingin pulang.
Aku ingin tinggal
di antara huruf-huruf nama-Nya,
yang berputar
seperti kompas patah
di dada manusia yang lupa.”
Seseorang bertanya
dari balik tulang rusuk bintang:
"Untuk siapa cintamu?"
Rabi’ah mengangkat cermin
dan cermin itu menjawab:
"Untuk yang tak bisa dipeluk oleh waktu,
namun selalu mengusap pipi debu."
Lalu ia terbang
bukan dengan sayap,
tapi dengan sunyi yang dipahat
dari doa paling sajak,
melewati langit keempat
di mana tak ada nabi,
tak ada malaikat,
hanya satu titik putih
yang menyebut namanya
dengan suara
yang tak pernah terdengar
tapi tak bisa dilupakan.
2025
***
Tanggal Tua
Tanggal tua
membuka jendela ketiadaan,
dan aku melompat
ke dalam mangkuk mi instan
yang direbus dengan
air mata keadaan.
Dompetku tumbuh kaki,
lari ke arah pasar malam,
berjudi dengan harapan palsu
dan koin berkarat yang berseru:
“Inilah revolusi ekonomi rumahan!”
Aku mengetuk pintu warung,
tapi yang membuka adalah gigi palsu,
berbicara dalam bahasa diskon:
“Kasbon, anakku, adalah puisi terindah abad ini.”
Aku mengangguk
dengan kepala ikan asin,
menandatangani perjanjian
di atas kulit pisang,
sementara langit
menggantungkan nota belanja
di antara bintang-bintang
yang gagal bayar.
2025
***
Jam Dinding di Pergelangan Tangan Perempuan
Di negeri berlangit penghisap napas,
perempuan terselip
dalam kantong baju majikan
ia bukan orang, bukan juga bayangan,
melainkan jendela yang dikunci dari luar
dan ditertawai setiap pagi
oleh teko keramik.
Ia menyetrika waktu
hingga pipi-pipi jam dinding melepuh,
menyapu lantai
dari ingatan masa kecilnya,
dan mencuci pakaian
dari dosa orang lain.
Namanya ditulis dengan tinta embun
di kalender yang hanya mengenal
hari kerja.
Paspor dikurung di dalam lemari
bersama boneka anak majikan
yang bisa bicara:
“Kau bukan ibu. Kau alat penghapus debu.”
Setiap malam,
ia mengaduk bintang
dalam cangkir plastik beraroma klorok,
bermimpi tentang panci emas
yang tak pernah memanggil namanya.
Di kampung,
anak-anak menggambar wajahnya
dari bayangan layar ponsel,
suaminya memancing kesepian
dengan kail yang sudah patah.
Ketika ia menangis,
air matanya melompat ke dinding
dan menari-nari menjadi puisi,
tapi tak ada yang bisa membacanya
kecuali lalat di dapur
dan langit-langit yang pudar.
Oh, perempuan!
engkau bukan manusia
engkau adalah negara
yang diekspor dalam koper,
diekstrak dari peluh,
dieksekusi oleh jam kerja,
dan dipaksa pulang
sebagai angka statistik
dengan stempel biru.
2025
***
Dada Utang dan Pisau Semangka
Pagi datang
membawa celana dalam raksasa
digantung di langit
dengan penjepit jemuran keemasan
sementara aku duduk
di meja sarapan bersama utang
yang menyamar sebagai ikan asin.
Ia menatapku
dengan mata seharga tiga ribu per detik
dan bertanya,
"mau lunas tunai atau pakai kepala?"
kupotong semangka
tapi dari dagingnya keluar kuitansi
yang bernyanyi
pantun pengadilan burung
dari tahun yang belum lahir
aku tertawa
sambil meminjam gigi nenek
karena gigi sendiri sudah disita.
Tiba-tiba,
kulkas membuka dirinya sendiri
dan mengeluarkan pria kecil
berpakaian koper
yang berteriak:
"semua bunga bangkrut,
dan jam dinding sedang melahirkan domba!"
Aku jatuh cinta pada sendok
karena sendok lebih jujur
daripada sistem keuangan
lalu aku kawin lari dengan centong
di bawah hujan uang koin palsu.
Malam pun datang
membawa utang baru
dalam bentuk bantal
aku tidur di dalamnya
dan bermimpi jadi amplop kosong
yang dikirim ke alamat tak dikenal.
2025
***
Abu Nawas dan Celana Dalam yang Taat
Abu Nawas menyimpan rahasia
di dalam laci
tempat ia melipat celana dalam.
Setiap pagi, sebelum mandi,
ia bercakap dengan mereka:
“Celana yang baik
adalah celana yang tahu
kapan harus diam.”
Ia pernah diadili
karena mencuri sabun
dari kamar mandi umum
yang patah hatinya.
“Tapi saya cuma mencuci
kesalahan orang lain,” katanya.
Di masjid,
ia tertidur di atas sajadah
yang berubah jadi tikar warung kopi.
Imamnya bingung:
Abu mengangkat tangan bukan untuk takbir,
tapi untuk menepuk nyamuk
yang membisikkan gosip surga.
Malamnya,
ia mencatat dosa-dosa kecil
di buku hutang warung,
lalu membayarnya dengan senyum
dan cerita tentang mimpi
menjadi gantungan baju di rumah bordil.
2025
***
Armen Setiaji Untung lahir di Jakarta pada 5 September 1980. Buku antologi pertama berjudul Ziarah Kenang terbit tahun (2019). Beberapa karya termuat di media, seperti Kompas, jernih.co, Litera, Kawaca, Majalah Elipsis, Pikiran Rakyat, Potret Online, Seputar Hukum dll. Ia juga tergabung dalam buku bersama, seperti Tifa Nusantara 3 (2016), Monolog Di Penjara (2018), Bulu Waktu (Sastra Reboan, 2018), Jugijagijug (Redaksi Meja Tamu, 2018). Puisinya yang berjudul “Palung Ingatan” juga terpilih menjadi salah satu Nomine Penghargaan Sastra Litera 2018.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.