Karakter topeng dalam tari topeng. | Lilis Si Handayani

Nasional

Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah, Lestarikan Tradisi, Berdayakan Ekonomi  

Sosok Mimi Rasinah memang tak bisa lepas dari sejarah perkembangan tari topeng.

INDRAMAYU – Sesosok wajah perempuan tua terbingkai dalam pigura foto yang tergantung di dinding bilik bambu. Separuh wajahnya ditutupi oleh topeng kayu berwarna merah merona, yang dipegang oleh tangannya, hingga menutupi bagian hidung ke bawah hingga lehernya.

Topeng dengan karakter mata yang melotot dan kumis hitam tebal di atas gigi putih yang menyeringai itu, praktis hanya menyisakan hidung bagian atas dan mata dari wajah perempuan tua tersebut. Karena di atas kepalanya, bertengger penutup kepala yang disebut sobra, lengkap dengan roncean manik-maniknya, yang merupakan bagian dari aksesoris tari topeng.

Perempuan tua itu tak lain adalah Mimi Rasinah, sang maestro tari topeng asal Kabupaten Indramayu. Fotonya terpajang di salah satu bagian dinding Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah, di Desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu.

Nama aslinya adalah Rasinah. Kata ‘Mimi’ di depan namanya, menunjukkan panggilan ‘Ibu’ dalam bahasa Indramayu.

Sosok Mimi Rasinah memang tak bisa lepas dari sejarah perkembangan tari topeng. Pasalnya, dialah perempuan pertama yang menjadi penari topeng. Di masa lalu, tari topeng hanya dibawakan oleh laki-laki.

Mimi Rasinah diajari oleh ayahnya menari topeng sejak masih kanak-kanak. Di masa itu, penari perempuan umumnya menjadi penari ronggeng, sama seperti ibunda Mimi Rasinah.

Namun, sang ayah ingin melindungi kehormatan putrinya sebagai seorang perempuan. Pasalnya, penari ronggeng identik sebagai penggoda laki-laki. Karena itu, jadilah Rasinah muda sebagai penari topeng.

Mimi Rasinah yang lahir di Indramayu pada 3 Februari 1930, menjadi generasi kesembilan di keluarganya yang menjadi penari topeng. Sang ayah, Lastra, merupakan generasi ke delapan.

"Akhirnya sampai sekarang, penari topeng itu kebanyakan perempuan. Makanya saya bicara ke murid-murid, kita tuh menari topeng bukan menari perempuan lho, tapi

Enari laki-laki. Makanya menarinya harus gagah (dalam gerakannya),’’ kata Aerli Rasinah, cucu Mimi Rasinah, saat ditemui Republika di Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah Desa Pekandangan, Ahad (25/8/2024).

Aerli merupakan generasi ke-11 di keluarganya yang menjadi penari topeng. Sedangkan ibunya, Wacih, merupakan generasi kesepuluh.

Setelah sempat berjaya, rombongan tari topeng milik ayah Mimi Rasinah harus berakhir saat agresi militer Belanda. Bahkan, ayah Mimi Rasinah tewas ditembak oleh Belanda karena dituduh sebagai mata-mata.

Bertahun-tahun berlalu, Mimi Rasinah dan suaminya sempat berusaha untuk bangkit. Namun, pertunjukkan tari topeng tergerus oleh sandiwara. Bahkan, pada 1970-an, suaminya memilih menjual seluruh perlengkapan tari topeng sebagai modal untuk mendirikan grup sandiwara.

Sejak itu hingga lebih dari 20 tahun, Mimi Rasinah tak pernah lagi mementaskan tari topeng. Hingga akhirnya pada 1994, dua orang seniman bernama Endo Suanda dan Toto Amsar, ‘menemukan’ kembali Mimi Rasinah dan tarian topengnya.

Sejak saat itu, Mimi Rasinah kembali mementaskan tari topeng. Tak hanya di dalam negeri, tapi juga melanglangbuana ke berbagai negara. Nama Mimi Rasinah dan tari topeng pun dikenal di berbagai pelosok Indonesia dan mancanegara.

Namun sayang, kondisi itu berkebalikan dengan di Indramayu, asal Mimi Rasinah sendiri. Nama Mimi Rasinah dan tari topeng, justru tak banyak dikenal. ‘’Miris banget,’’ tutur Aerli.

Tak hanya mentas, Mimi Rasinah juga mengajar tari topeng dari rumah ke rumah. Setelah Aerli ikut turun, akhirnya dibangun sanggar tari di rumahnya pada 1999. Namun sayang, murid yang belajar di sanggar tari Mimi Rasinah hanya hitungan jari dalam satu tangan.

Selain belum dikenal luas, panjangnya durasi tari topeng hingga berjam-jam, membuat kurangnya minat masyarakat untuk belajar tari topeng. ‘’Dari situ saya bilang ke Mimi Rasinah, ini harus dipindahalihkan ke saya. Karena kalau kita mempertahankan seperti ini terus, bahaya nih, tidak ada yang mau belajar tari topeng,’’ tutur Aerli.

Aerli, yang memang telah menguasai ilmu tari topeng dari neneknya, kemudian mengemas tari topeng menjadi lebih sederhana, dengan tetap mempertahankan pakem yang ada.

Tari topeng yang aslinya berdurasi berjam-jam, bisa dikemas menjadi 25-30 menit. Bahkan, Aerli membuat gebrakan Tari Topeng Klana Lima Menit, yang durasinya hanya 3 menit 40 detik."Awalnya Mimi Rasinah marah. Saya bilang kita coba dulu. Dan Alhamdulillah, berkembang sampai sekarang,’’ ucap Aerli.

Dalam Tari Topeng Klana Lima Menit, Aerli memadatkan dan merangkum gerakan tari topeng. Hal itu membuat tari topeng menjadi lebih mudah dipelajari dan diterima oleh masyarakat.

"Jadi misalkan ada sepuluh kalimat yang sama, kita buang, cukup satu kalimat saja. Orang jadi bilang, ah gampang nih. Setelah bisa, nanti kita tambah menitnya, terus sampai akhirnya 30 menit per tarian,’’ tutur Aerli.

Selain mengemas tarian, Aerli juga menerapkan penggunaan teknologi audio dalam pementasan tari topengnya. Dia pun memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan tari topeng agar dikenal masyarakat.

"Dulu kita pernah dikatain topeng monyet, karena orang tidak tahu tari topeng kayak gimana. Kita ngamen (tari topeng), sampai diusir oleh Satpol PP,’’ kenang  Aerli.

Aerli juga mendapat banyak penolakan saat masuk ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan tari topeng. Meski demikian, dia terus berusaha mempromosikan tari topeng.

Perjuangan Aerli tak berhenti meski Mimi Rasinah wafat pada 2010 silam. Hasilnya, jumlah murid yang belajar di Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah pun terus bertambah.

Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah yang dikelola Aerli semakin melesat saat menjadi mitra binaan Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field pada 2015 silam. Melalui program pelestarian kebudayaan dengan tajuk “Pendidikan Karakter dan Pelestarian Budaya Tari Topeng melalui Kearifan Lokal”, dilaksanakan tiga kegiatan utama.

Adapun tiga kegiatan utama itu adalah pelatihan tari topeng bagi siswa di sekolah-sekolah di wilayah Kabupaten Indramayu, pelatihan gamelan untuk anak usia dini dan pembinaan kelompok perajin topeng dan usaha kreatif lainnya.

"Ya Alhamdulillah, kita yang awalnya masuk ke sekolah-sekolah (untuk mengajar tari topeng) susah banget, sekarang malah sekolah yang nyari kita,’’ ucap Aerli.

Dalam program pelatihan tari topeng ke sekolah-sekolah, Pertamina memfasilitasi sepuluh anak per sekolah untuk dibimbing oleh Aerli. Ada sepuluh sekolah per tahunnya yang menerima program tersebut.

Itu berarti, selama lima tahun pelaksanaan program itu, sedikitnya ada 500 murid yang sudah diajari tari topeng. ‘’Itu tersebar di berbagai desa di Kabupaten Indramayu. Bahkan sering pihak sekolah meminta jangan hanya sepuluh muridnya saja yang diajari, tapi lebih, jadi ya bisa sampai 20-30 orang. Termasuk gurunya juga ikut belajar tari topeng,’’ kata Aerli.

Sejumlah sekolah, bahkan kini memasukkan tari topeng sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler untuk murid-murid mereka. Tak hanya murid binaan di sekolah-sekolah, jumlah anak yang belajar di Sanggar Tari Mimi Rasinah juga meningkat pesat. Saat ini, jumlahnya mencapai sekitar 100 anak. Mereka belajar dua kali dalam sepekan, setiap Jumat dan Ahad.

Pertamina juga membantu renovasi Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah. Sanggar berukuran 400 meter persegi yang sebelumnya beralas semen, kini sudah berlantai keramik. Adapula pembangunan dinding dan penambahan ruangan, sehingga sanggar yang awalnya terasa panas, menjadi lebih adem.

Sama seperti Mimi Rasinah, termasuk Aerli, sejumlah murid Aerli pun telah dikirim untuk ber­pentas di berbagai ajang, baik tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, banyak pula anak didik Aerli yang kini melatih tari secara mandiri bahkan membuka sanggar tari sehingga menjadi pemberdayaan ekonomi bagi mereka.

"Ya banyak yang merasakan manfaatnya. Kita bersyukur. Kita tidak merasa tersaingi. Alhamdulillah mereka bisa maju, bisa berkembang,’’ tutur Aerli.

Langkah pelestarian tari topeng oleh Aerli pun terus berjalan, meski di tengah pandemi Covid-19. Dengan difasilitasi oleh Pertamina EP, dia menggelar pertunjukan secara daring bertema ‘Geliat Seni Bersama Pertamina EP di Masa Pandemi Covid-19’. Pagelaran yang disiarkan melalui media sosial itu berlangsung selama sepuluh pekan.

Masyarakat yang terkungkung akibat pandemi, bisa menikmati pagelaran tari topeng secara live di rumah masing-masing setiap malam Minggu. Tak hanya pagelaran, ditampilkan pula tutorial tari topeng sehingga masyarakat bisa belajar tarian tersebut.

Tak hanya tari topeng, program pelatihan gamelan juga berjalan. Begitu pula pembinaan perajin topeng.

Khusus untuk pengrajin topeng, Aerli kini tak kesulitan untuk memproduksi topeng dan berbagai aksesori tari topeng lainnya. Ada sekitar 30 pengrajin yang kini membantunya. Selain membuat topeng, juga membuat aksesori tari topeng lainnya, termasuk souvenir.

Produk-produk itu dijualnya setiap kali dia pentas ke berbagai kota dan negara. Ada juga yang dijual di sanggarnya.

"Ya hasilnya lumayan. Waktu saya pentas ke Jepang, pulangnya bisa beli satu mobil. Ya kan karena sambil jualan topeng, souvenir dan lain-lain,’’ ucapnya.

Hingga kini, Aerli pun memberdayakan masyarakat sekitar untuk membuat topeng dan aksesoris tari topeng lainnya. Apalagi jika ada pagelaran yang melibatkan banyak penari topeng. Produk itu akan dibeli olehnya dan dijualnya kembali di sanggar atau setiap kali ada pementasan ke luar kota atau luar negeri.

Selain itu, pesanan topeng dan aksesoris tari topeng lainnya juga berdatangan secara daring dari berbagai kota. Aerli mengakui, program binaan dari Pertamina EP kepada sanggarnya kini telah berakhir. Meski demikian, jejak binaan itu terus dirasakannya sampai sekarang.

"Ibarat (tumbuh kembang) manusia, dulu kami masih merangkak, dan setelah jadi mitra binaan, kami bisa berkembang bahkan berlari. Dan imbasnya bukan hanya di sanggar kami, tapi juga pada anak-anak didik dan sekolah-sekolah. Yang tadinya tidak tahu tari topeng, jadi tahu,’’ ucap Aerli.

Manfaat pelestarian tari topeng itu salah satunya dirasakan oleh anak didik Aerli, yang bernama Vika Nurul Ain (17). Saat masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD), dia belajar tari topeng di Sanggar Tari Mimi Rasinah.

Pelajar SMAN 1 Indramayu itu pun kini telah menguasai seluruh jenis tari topeng. Dia juga sering mementaskan tari topeng di berbagai kota di Indonesia.

Bahkan, gadis yang biasa disapa Ain itu juga membuka pelatihan tari topeng di rumahnya di Kelurahan Margadadi, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, sejak setahun terakhir. Hampir setiap hari, murid-muridnya datang berlatih, namun tetap disesuaikan dengan jadwal sekolahnya.

"Sekarang ada lima yang lagi belajar tari ke sini,’’ ucap Ain, saat ditemui Republika di rumahnya, Ahad (25/8/2024).

Dari melatih tari itu, Ain pun menerima honor. Sebagian honor itu diberikannya untuk membantu orang tuanya, dan sebagian lagi menjadi uang jajannya.

Dihubungi terpisah, Head of Commrel & CID-CSR Pertamina EP Zona 7, Wazirul Luthfi, mengatakan, meski bergerak di usaha migas, namun pihaknya tertarik memberikan CSR di bidang seni budaya sebagai wujud komitmen pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dalam pilar pendidikan.

"Kami membantu masyarakat untuk menghargai kearifan lokal yang tak ternilai dan mengangkat potensi daerah yang baik, sebagai sarana edukasi yang berfokus pada keberlanjutan generasi masa depan,’’ tukas Luthfi.

Luthfi menambahkan, hal itupun sesuai dengan SDGs tujuan 11.4, yakni, konservasi cagar alam dan budaya bagi masyarakat.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat