Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus (tengah) bersama jajarannya memberikan keterangan pers terkait dugaan penimbunan masker di gudang di Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). | Fauzan/Antara

Opini

Menolak Laba dari Covid-19

 

Heka Hertanto, Ketua Umum Yayasan Artha Graha Peduli, Jakarta

Hanya beberapa jam setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan ada dua warga yang terjangkit virus Covid-19, Senin (2/3/2020), sebagian warga panik. Ada yang memborong makanan instan atau membeli masker.

Hukum ekonomi pun berlaku. Harga masker melambung di luar kewajaran. Sebelum serangan korona menyerbu Indonesia, harga satu boks masker sekitar Rp 18 ribu- Rp 20 ribu dan kini menjadi di atas Rp 200 ribu.

Masker N95, dengan kualitas filter yang dapat menangkal partikel berukuran 0,3 mikron dijual Rp 1,5 juta per dus, berisi 20 buah. Sebelumnya, harga masker itu di kisaran Rp 400 ribu. Bala di satu pihak, laba di pihak lain. Fenomena itu yang terungkap di Indonesia.

Dalam hal ini, kita bisa berkaca pada sikap Jepang terhadap Cina. Hubungan dua negara itu kurang harmonis karena luka sejarah penjajahan Jepang pada masa lalu.

Namun, ketika Jepang mengevakuasi warganya di Wuhan, pesawat yang mendarat di sana membawa penuh peralatan medis dan masker yang sangat dibutuhkan warga Wuhan. Sumbangan satu juta masker dari masyarakat Jepang sudah duluan tiba di Wuhan.

Dari berbagai media terungkap, di antara 264 warga Jepang yang dievakuasi dari Wuhan ke Jepang terdapat empat yang positif terjangkit virus korona. Cina menyarankan agar yang terjangkit itu berobat di Cina.

Namun, Jepang menolak tawaran itu dan tetap melakukan evakuasi atas pertimbangan ingin berbagi beban kesulitan. Jepang tidak mau merepotkan Pemerintah Cina.

Selain itu Jepang mengumumkan, siapa pun yang berada di Jepang terdampak korona, tanpa pandang status warga negara semua akan diobati dengan biaya ditanggung Jepang. Demikian juga, bagi warga Cina di Jepang dan berakhir masa visanya, bila ingin menetap di Jepang diberi perpanjangan visa gratis selama dua bulan.

Di medsos Jepang, membahana seruan agar warga Jepang menyumbang untuk membantu Cina. Sebaliknya, artikel-artikel tersebar luas tentang sumbangan warga Cina saat Jepang mengalami musibah wabah dan gempa dahsyat beberapa waktu lalu.

Ketika Cina mengalami musibah, masyarakat Jepang memperlihatkan sifat kemanusiaan melalui spanduk atau simbol "Support Wuhan" dan "Support Cina".

Di pasar swalayan, pusat-pusat perbelanjaan Jepang harga masker bukan naik malah dijual diskon dengan menempelkan plakat "tidak menari-menari di atas penderitaan orang lain. Tidak mencari keuntungan atas musibah kemanusiaan?.

Bahkan, di berbagai tempat disediakan masker gratis kepada warga Cina untuk mendapatkan dua masker gratis dengan menempelkan spanduk-spanduk dalam bahasa Cina "Bernapas sama, bernasib sama, dunia milik kita bersama." Sungguh mengharukan.

Sebaliknya di Indonesia, kita dikejutkan dengan harga masker dan zat sanitasi cuci tangan yang meroket. Dalam hal ini, memakai masker bisa dialihkan dengan memakai sapu tangan dan lain-lain yang berfungsi sebagai masker.

Agar tidak ada penimbunan masker atau sembako lain karena panik, warga perlu disosialisasikan bahwa ada warga yang meninggal dunia karena kepanikan sehingga stres dan daya tubuh ambruk sehingga mudah diserang sakit, termasuk virus korona.

Kelangkaan masker menarik perhatian pengusaha yang tiba-tiba mendirikan pabrik masker ilegal di Jakarta. Pabrik itu beroperasi sejak Januari 2020.

Untuk orang sakit

Mengapa warga memburu masker yang dianggapnya mampu melawan Covid-19? Padahal masker yang dikenakan tidak mampu menghalau virus korona. Bahkan, Menteri Kesehatan Terawan menegaskan, masker hanya digunakan untuk masyarakat yang sakit.

Warga butuh imunitas tubuh yang baik agar terhindar dari paparan virus korona. Jadi, untuk menghalau virus itu bukan dengan masker melainkan dengan perilaku higienis, cuci tangan, pola hidup sehat, serta lingkungan yang juga bersih.

Jika flu, segera ke dokter atau puskemas. Jangan diobati dengan kerok punggung atau cara lain yang tidak secara medis. WHO menyebutkan, orang sehat tidak perlu memakai masker karena masker dipakai oleh orang sakit.

Hal yang perlu dilakukan orang sehat, misalnya, ketika batuk menutup mulut dengan telapak tangan atau sapu tangan dan tidak berhadapan dengan orang lain. Anda tidak perlu antre beli masker, tapi perlu antre beli buah-buahan segar agar tubuh kebal terhadap serangan virus.

Di lain kesempatan, ada warga menolak daerahnya dijadikan karantina dan observasi ratusan WNI dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Ratusan WNI itu menjalani observasi selama 14 hari untuk memastikan tidak terinfeksi korona.

Penolakan ini karena warga kurang mendapat sosialisasi tentang virus korona. Mereka juga menuntut pemerintah daerah dan pusat memberikan kompensasi jaminan kesehatan, seperti posko layanan darurat dan meminta pemerintah mendatangkan dokter psikiater.

Ketakutan muncul karena masyarakat kurang mendapat sosialisasi dan maraknya info yang tidak valid di medsos. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini polisi, bisa memburu warga yang menimbun masker, penyebar berita bohong, dan lain-lain agar tidak gaduh atau panik.

Kita apresiasi polisi yang telah menangkap penimbun masker dan cairan antiseptik dengan motif ekonomi alias mencari laba di atas bala pasien. Penimbun ini layak dijerat pidana penjara lima tahun dan/atau denda Rp 50 miliar Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perdagangan.

Ketidaktahuan warga dalam menghadapi wabah korona ini menimbulkan ketakutan. Dan ketakutan menyebabkan insting atau akal hilang. Mereka jadi takut. Dan kita mengerti penakut adalah orang yang mati berkali-kali sebelum kematian sesungguhnya tiba.

Kita harus tetap waspada, tapi dilarang panik mengadang korona. Demikian juga, warga yang pulang dari negara terpapar korona harus diperiksa. Tidak salah kita lirik jargon lama, yakni mencegah sakit lebih baik daripada terpapar virus korona.

Hikmah dari musibah kemanusiaan ini mengingatkan kita, di dunia ini masih kurang kehangatan dan ketulusan sesama manusia. Begitu pula, memberi pemahaman ketika kesusahan, kita bisa meneropong wajah asli teman dari kepalsuan yang diperlihatkan selama ini.

Kita sebagai bangsa yang besar harus mulai bersiap diri menghadapi masalah secara bersama. Menghidupkan kembali semangat perjuangan dengan bersatu melawan musuh bersama, yaitu virus korona. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat