Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor KPK, Jakarta Selatan, Jumat (7/2/2020). | ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

X-Kisah

Surat Banding Kompol Rosa ke Presiden

 

 

Komisaris Polisi Rossa Purbo Bekti masih berusaha membela diri atas perlakuan buruk yang dialaminya. Setelah dipulangkan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Polri awal Februari lalu, nasib Rosa tidak karuan. Ia tidak juga diterima di Polri yang menganggap tidak menarik Rosa ke institusi asal. Pimpinan KPK pun mengunci pintu untuk Rosa kembali dengan dalih sudah dikembalikan.

Rosa sempat mengirim surat keberatan kepada pimpinan KPK. Namun, pimpinan KPK yang saat ini dipimpin Inspektur Jenderal Firli Bahuri menjawab surat keberatannya salah alamat. KPK berdalih Rossa berstatus anggota Polri yang pembinaan kariernya masih melekat dan tetap tunduk kepada sistem kepegawaian anggota Polri. "Pada prinsipnya berisi bahwa keberatan dari Mas Rossa tersebut tidak dapat diterima karena di sini disebutkan salah alamat," ujar pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, pekan lalu.

Tak terima dengan jawaban itu, Kompol Rossa kembali mengajukan banding kepada Presiden Joko Widodo. Surat upaya banding berupa "Permohonan Upaya Administratif Berupa Banding atas Pemberhentian dengan Hormat Pegawai Negeri yang Dipekerjakan pada Komisi Pemberantasan Korupsi Atas Nama Purbo Bekti".

 
Dalam surat banding yang diterima Republika, Rossa menduga mutasi sepihak oleh pimpinan KPK karena dirinya ikut berperan dalam proses operasi tangkap tangan (OTT) kasus pergantian antarwaku (PAW) anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan pada awal Januari.
   

Dalam tangkap tangan tersebut, KPK menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku sebagai tersangka.

"Pemohon dikeluarkan tepat setelah pemohon menangani kasus strategis yang mendapatkan perhatian pada tingkat nasional sehingga berpotensi pemberhentian pemohon terkait penanganan kasus tersebut," tulis Rossa dalam surat bandingnya.

Kepada Presiden Jokowi, Rossa menuliskan, seharusnya penangkapan tersebut diapresiasi karena merupakan pencapaian untuk mengatasi korupsi politik yang menjadi salah satu prioritas KPK. Korupsi politik, kata dia, salah satu penyebab mahalnya biaya demokrasi di Indonesia. "Bahwa alih-alih mendapat apresiasi, pemohon malah dikembalikan ke kepolisian serta diberhentikan sejak 1 Februari 2020," tulis Rossa.

Dalam surat yang disampaikan pekan lalu, Rossa menilai, dalam proses pengembalian dirinya kepada Polri terdapat banyak kejanggalan. Hal tersebut lantaran tidak ada permintaan dirinya untuk kembali ke Kepolisian, karena masa tugasnya di KPK hingga 23 September 2020 yang kemudian bisa diperpanjang sampai 2026. Rosa pun menegaskan tidak pernah menerima sanksi apapun dari KPK atas pelanggaran etik.

"Penarikan secara tiba-tiba dapat menjadi preseden dan menyebabkan dampak lanjutan secara psikologis bagi penegak hukum dari kejaksaan, kepolisian, dan PNS yang selama ini ada di KPK untuk tidak dapat bertindak secara independen ke depan," tulis Rosa.

Rosa juga menyertakan surat perihal pembatalan penarikan dirinya ke institusi Polri pada 21 Januari 2020. Rosa menilai, pemulangan dirinya ke Polri tanpa persetujuan instansi asal dan tanpa evaluasi.

Ia berharap surat pimpinan KPK tentang tanggapan atas keberatannya pada 20 Februari 2020 itu dibatalkan. Dia juga memohonkan agar Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Nomor 123 Tahun 2020 tentang pemberhentiannya di KPK dibatalkan. Surat permohonan banding itu ditembuskan ke Menko Polhukam, Ombudsman, pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK, Kapolri, Kabareskrim Polri, As SDM Polri, dan Kadiv Propam Polri.

Pengembalian Rosa kepada Polri sempat menuai polemik. Bahkan, Wadah Pegawai KPK telah melaporkan Firli Bahuri cs kepada Dewan Pengawas KPK. Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap menuturkan, terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan berpotensi melanggar etik terhadap pengembalian Rosa tersebut. "Bahwa terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan bahkan berpotensi melanggar etik khususnya jaminan agar KPK dapat menjalankan fungsi secara independen," kata Yudi. n 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat