
Dunia Islam
Sejarah Tarekat Syattariyah
Nama tarekat ini diambil dari sosok Syekh Abdullah asy-Syattar (wafat 890 H).
Ada banyak tarekat dalam sejarah. Tidak sedikit pula yang terus bertahan hingga saat ini. Di Indonesia saja, terdapat tidak kurang dari 42 jalan salik, seperti yang terdata oleh Jam'iyyah Ahlith Thariqah Mu'tabarah an-Nahdliyyah (Jatman). Salah satunya yang cukup populer adalah Syattariyah.
Awal mula tumbuhnya aliran tersebut bertempat di luar Jazirah Arab, tepatnya India. Perkembangannya cukup pesat, terutama di kawasan pesisir Samudra Hindia. John L Esposito dalam Ensiklopedi Dunia Islam Modern mencatat, tarekat itu berada di garis aliran sufi Taifuriyah, Bisthamiyah, dan Isyqiyah.
Walaupun dikenal dalam menekankan ritual zikir, Tarekat Syattariyah pada faktanya memiliki praksis sosial yang nyata. Bahkan, para pengikutnya di Tanah Air turut berjuang dalam melawan penjajahan. Sejarah mencatat, umpamanya, perlawanan antikolonialisme pada 1908 di Sumatra Barat. Gerakan itu dimotori kaum sufi Syattariyah. Mereka bersama-sama dengan rakyat setempat memprotes aturan pajak yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda.
Prof Oman Fathurrahman dalam Tarekat Syattariyah di Minangkabau (2008) menerangkan asal muasal aliran sufi tersebut. Nama tarekat ini diambil dari sosok Syekh Abdullah asy-Syattar (wafat 890 H/1485 M). Ulama tersebut memiliki hubungan kekeluargaan dengan tokoh yang memopulerkan Tarekat Suhrawardiyyah, Shihabuddin Abu Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M).
Nama tarekat ini diambil dari sosok Syekh Abdullah asy-Syattar.
Lebih lanjut, menurut Oman, akar Tarekat Syattariyah dapat dilacak dari tradisi sufisme yang tumbuh di kawasan Transoxiana, Asia tengah. Sebab, silsilahnya terhubung hingga Abu Yazid al-‘Ishqi, yang terkait lagi dengan Abu Yazid al-Bustami (wafat 260 H/873 M) dan Imam Ja’far as-Sadiq (wafat 146 H/763 M). Maka dari itu, di Iran tarekat tersebut dikenal dengan nama ‘Ishqiyyah. Adapun di Anatolia atau pusat Turki Utsmaniyah namanya diidentikkan dengan Bistamiyyah. Barulah sejak abad kelima Hijriyah, dinamika ‘Ishqiyyah atau Bistamiyyah meredup dan tergantikan oleh popularitas Tarekat Naqsyabandiyah.
Syekh Abdullah asy-Syattar membangkitkan kembali Tarekat ‘Ishqiyyah atau Bistamiyyah, seiring dengan dakwah yang dilakukannya di wilayah India. Masyarakat setempat pun lambat laun menyebut jalan salik ini sebagai Tarekat Syattariyah. Pada akhirnya, orang-orang di luar kawasan geografis tersebut mengenalnya sebagai aliran tasawuf khas India. Demikianlah keadaannya kendati tarekat ini bersandar pada silsilah yang bertaut pada Abu Yazid al-‘Ishqi serta Abu Yazid al-Bustami (wafat 260 H/873 M), hingga Imam Ja’far as-Sadiq (wafat 146 H/763 M) dan akhirnya Nabi Muhammad SAW.

Masa awal
Oman mengatakan, kemunculan Syattariyah, sebagaimana tarekat-tarekat lain yang berakar di India, terjadi seiring dengan ekspansi dakwah terhadap kaum non-Muslim setempat. Itu berlangsung kira-kira pada abad keenam Hijriyah atau ke-12 Masehi. Sebagai sebuah gerakan keagamaan, Tarekat Syattariyah dalam periode tersebut condong diarahkan pada upaya-upaya meningkatkan nilai moral dan spiritual masyarakat secara Islam. Dalam ikhtiarnya itu, Syekh Abdullah asy-Syattar beserta para pengikutnya mengembangkan kecenderungan untuk beradaptasi dengan tradisi penduduk lokal, yang masih banyak dipengaruhi Hindu.
Menurut Oman, sikap akomodatif yang ditunjukkan Tarekat Syattariyah pada masa awal terbentuknya itu menimbulkan beragam dampak. Di satu sisi, metode itu memudahkannya dalam menarik perhatian kalangan non-Muslim agar mereka mengenal ajaran atau bahkan memeluk agama Islam. Pada gilirannya, tarekat tersebut pun dapat kian berkembang. Namun, di sisi lain hal itu pun menyebabkan banyaknya konsep-konsep tasawuf dan ritual tarekat yang bersifat sinkretis serta memiliki persamaan dengan ritual Hindu.
Setelah mengadakan rihlah ke Delhi, Jaunpur, Bihar, Malwa, dan Bengal, Syekh Abdullah asy-Syattar akhirnya menetap di Mandu, India tengah. Dengan dukungan raja Dinasti Tughluq Ghiyatsuddin (1320-1325 M), dirinya pun membangun pemondokan (khandaq) pertama bagi pengikut tarekat yang didakwahkannya itu di daerah tersebut. Di samping memberikan pengajaran lisan, ia juga menulis beberapa kitab untuk para santrinya. Di antara karya-karyanya adalah Lathif al-Ghaibiyyah, yang berisi sejumlah panduan untuk mencapai makrifat.

Pada 1485 M, Syekh Abdullah wafat. Sepeninggalannya, para murid berturut-turut menempati posisi khalifah Tarekat Syattariyah. Mereka adalah Imam Qadhi, Syekh Hidayatullah al-Sarmasti, Syekh Haji Hudhuri, dan Syekh Muhammad Gauth. Oman menjelaskan, di antara nama-nama tersebut Syekh Muhammad Gauth dinilai paling berhasil dalam memapankan doktrin dan ajaran tarekat itu. Ia menulis berbagai kitab, semisal Jawahir al-Khamsah yang memuat rumusan-rumusan penting terkait jalan salik tersebut pada periode awal pertumbuhannya di India.
Syekh Gauth, sambung Oman, dikenal relatif dekat dengan tokoh-tokoh agama Hindu. Bahkan, alim Tarekat Syattariyah itu mengarang buku Bahr al-Hayat. Isinya bukan hanya terjemahan atas kitab Amrita Kunda. Di dalamnya, sang syekh juga menjelaskan beberapa persamaan antara konsep atau ritual Islam dan Hindu. Lebih lanjut, penulis karya tersebut juga mengadopsi teknik dan praktik yoga untuk menjadi bagian dari formulasi zikir Syattariyah. Memang, tradisi sufisme Islam dan yoga telah saling memengaruhi setidaknya sejak abad ke-11 M, atau jauh sebelum Syattariyah berkembang di India.
Dengan wafatnya Syekh Gauth, pamor Tarekat Syattariyah kian surut di India. Aliran sufi itu mulai tergantikan oleh Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Bagaimanapun, Syattariyah kemudian mulai hadir di Haramain, Jazirah Arab, melalui dakwah yang dilakukan Sayyid Sibgatullah al-Barwaji (wafat 1015 H/1620 M). Ia merupakan murid Syekh Wajih ad-Din Alawi, yang adalah seorang santri Syekh Gauth.
Usai berhaji, Sayyid Sibgatullah al-Barwaji membangun majelis sederhana (ribat) di Madinah. Lokasinya, menurut Oman, sangat mungkin merupakan tanah wakaf dari seorang sultan penguasa Ahmadnagar, Bijapur, serta beberapa pejabat Turki Utsmaniyah. Melalui pengajarannya, sang sayyid pun menjadi tokoh Syattariyah yang terkemuka. Dirinya pun memperkenalkan kitab Jawahir al-Khamsah kepada alim ulama di Tanah Suci. Setelah al-Barwaji wafat, diseminasi tarekat tersebut diteruskan oleh Ahmad al-Qushashi (1583-1661 M).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Hamas: Dunia akan Saksikan Al-Qassam Usir Israel dari Gaza
Israel tidak menuju ke arah yang benar dalam perang melawan Hamas saat ini
SELENGKAPNYAKisah Sang Pejuang, Ashim bin Tsabit
Allah mengirimkan kawanan lebah untuk menjaga jasad Ashim bin Tsabit dari tangan-tangan musyrikin.
SELENGKAPNYAKetika Hidayah Datang di Turki
Emile Zehnder tertarik pada Islam usai merasakan hangatnya ukhuwah Islamiyah di Turki.
SELENGKAPNYA