Sunarsip | Daan Yahya/Republika

Analisis

Membalik Kurva Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Untuk membalik kurva perlambatan pertumbuhan ekonomi, perlu didukung kebijakan moneter dan fiskal.

Oleh SUNARSIP

Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan capaian kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal III 2023. Hasilnya, pada kuartal III 2023 ekonomi kita “hanya” tumbuh 4,94 persen (year on year/yoy).

Dikatakan “hanya” karena ini merupakan angka pertumbuhan terendah sejak kuartal IV 2021. Sejumlah analisis mengaitkan rendahnya pertumbuhan ekonomi kali ini yang menandakan bahwa daya dorong bagi pertumbuhan ekonomi mulai melemah.

Kondisi ini tidak terlepas dari pelemahan ekonomi global, sebagaimana tercermin dari melemahnya kinerja ekspor. Sejak kuartal II 2023, pertumbuhan ekspor dalam struktur produk domestik bruto (PDB) memang terkontraksi, yaitu -2,75 persen (yoy) pada kuartal II 2023 dan -4,26 persen (yoy) pada kuartal III 2023.

Menarik memang mengaitkan kinerja ekonomi kita saat ini dengan dinamika ekonomi global. Namun, apakah pelemahan ekonomi tersebut memang karena faktor eksternal, juga menarik untuk didiskusikan.

Hal ini mengingat, bila benar bahwa eksternal menjadi faktor yang menentukan terhadap kinerja ekonomi domestik tentu menarik untuk dikaji bagaimana transmisinya terhadap faktor-faktor lainnya dalam struktur PDB kita seperti konsumsi rumah tangga (RT), pengeluaran pemerintah, maupun investasi.

Sebab, pangsa ekspor terhadap PDB tidak terlalu besar, sekitar 23 persen terhadap PDB. Di sisi lain, pangsa konsumsi RT mencapai lebih dari 50 persen dan investasi lebih dari 30 persen.

 
Bagaimana peran ekspor yang tidak terlalu besar ini dapat menggerakkan faktor ekonomi yang memiliki pangsa lebih besar?
 
 

Jadi, bagaimana peran ekspor yang tidak terlalu besar ini dapat menggerakkan faktor ekonomi yang memiliki pangsa lebih besar?

Betul bahwa ekonomi global mengalami pelemahan. Faktor Covid-19 dapat dikatakan telah selesai, sehingga tidak lagi dapat dianggap sebagai penyebab pelemahan ekonomi global.

Meskipun demikian, dampak luka memarnya (scarring effect) masih dirasakan oleh sejumlah industri. Di Cina, misalnya, akibat kebijakan zero Covid yang terlalu lama, korporasi di Cina terutama yang bergerak di sektor properti masih kesulitan untuk memulihkan kondisi keuangannya akibat tingginya utang.

Titik awal pelemahan ekonomi global saat ini dapat dikatakan bermula dari perang Rusia-Ukraina pada awal 2022. Perang Rusia-Ukraina menyulut kenaikan krisis energi di Eropa, terutama gas.

Sanksi embargo berupa penghentian pembelian energi dari Rusia yang diterapkan Eropa justru memukul ekonomi Eropa sendiri. Harga energi melonjak. Harga gas di Eropa, misalnya, mencapai 70 dolar AS per mmbtu pada Agustus 2022, lebih dari 10 kali lipat harga gas (DMO price) di Indonesia sebesar 6,5 dolar AS per mmbtu. Kenaikan harga energi ini tak hanya memukul Eropa, tetapi juga negara-negara lain.

Kenaikan harga energi juga menyulut kenaikan harga komoditas lainnya yang dibutuhkan oleh industri sebagai bahan baku. Akibatnya, dunia pun menghadapi masalah tingginya inflasi akibat kenaikan biaya produksi (cost-push inflation). Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kemampuan produksi dari berbagai industri sehingga menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini diperparah oleh kebijakan bank sentral masing-masing negara. Demi tujuan menurunkan inflasi, suku bunga acuan (policy rate) dikerek naik tinggi. Bank sentral AS (the Fed), misalnya, sejak April 2022 terus menaikan the Fed Fund Rate (FFR) dari tadinya sebesar 0,25 persen menjadi terakhir 5,5 persen pada Juli 2023.

 
Langkah the Fed ini pun diikuti oleh bank sentral lainnya. Kebijakan suku bunga tinggi semakin menyulitkan dunia usaha. Suku bunga tinggi menyebabkan likuiditas perbankan semakin ketat.
 
 

Langkah the Fed ini pun diikuti oleh bank sentral lainnya. Kebijakan suku bunga tinggi semakin menyulitkan dunia usaha. Suku bunga tinggi menyebabkan likuiditas perbankan semakin ketat.

Suku bunga tinggi juga berarti bank sentral menarik likuiditas dari masyarakat lebih banyak, sehingga secara tidak langsung membatasi aktivitas investasi dan konsumsi.

Menariknya, di tengah terjadinya tekanan terhadap perekonomian global, ekonomi Indonesia mampu tumbuh positif di level relatif tinggi. Setidaknya, hal ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi 5,31 persen pada 2022.

Namun demikian, saat itu ekonomi Indonesia sebenarnya memiliki potensi melemah. Sumber pertumbuhan ekonomi kita saat itu sama dengan sumber pelemahan ekonomi saat ini, yaitu ekspor. Komponen ekspor pada PDB Indonesia selama 2022 tumbuh sangat tinggi, yaitu 16,28 persen.

Sumber pertumbuhan dari sisi permintaan domestik (demand domestic) tumbuh kurang dari 5 persen. Selama 2022, konsumsi RT hanya tumbuh 4,93 persen. Itu pun, antara lain, karena ditopang oleh berbagai insentif pajak seperti yang dinikmati pada properti dan kendaraan bermotor.

Sedangkan, investasi hanya tumbuh 3,87 persen. Bahkan pengeluaran pemerintah justru menjadi elemen kontraktif bagi pertumbuhan ekonomi karena tumbuh negatif -4,51 persen selama 2022.

Dengan struktur pertumbuhan ekonomi yang lebih banyak ditopang oleh sumber pertumbuhan dari faktor eksternal, bukan dari demand domestic maka sebenarnya fundamental pertumbuhan ekonomi kita lemah (fragile).

Pelemahan pertumbuhan ekonomi sebenarnya tinggal menunggu saja, yaitu bila daya dorong faktor eksternal berkurang. Terlebih, kekuatan ekspor yang terbentuk selama 2022 antara lain karena pengaruh kuat dari kenaikan harga komoditas.

Sementara itu, faktor kenaikan volume ekspornya relatif rendah. Dan angka pertumbuhan ekonomi 4,94 persen (yoy) pada kuartal III 2023 telah merefleksikan mulai berkurangnya dukungan faktor eksternal terhadap pertumbuhan ekonomi kita. Sebagai informasi, sebagian besar harga komoditas global selama 2023 melemah dibanding 2022.

Pelemahan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2023 sebenarnya dapat diantisipasi manakala kebijakan ekonomi, baik fiskal dan moneter, bekerja secara efektif. Dari sisi moneter, ruang bagi terjaganya pertumbuhan ekonomi tinggi akan tetap terbuka manakala stabilitas nilai tukar tetap terjaga dan inflasi terkendali.

Sayangnya, selama 2023 ini, nilai tukar cenderung melemah meskipun inflasi relatif terkendali. Akibatnya, terkendalinya inflasi tidak dapat dimanfaatkan oleh Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuannya.

BI tetap mempertahankan level suku bunga tingginya demi mencegah terjadinya capital outflow. Suku bunga acuan yang tinggi pada akhirnya mengerek kenaikan suku bunga perbankan, terutama pada suku bunga kredit.

Kencenderungan pelemahan nilai tukar ini pada akhirnya menghambat dunia usaha dalam memanfaatkan “bonus” berupa potensi kenaikan demand domestic seiring terkendalinya inflasi.

Penjelasannya adalah nilai tukar yang melemah menyebabkan impor bahan baku menjadi lebih mahal sehingga menghambat dunia usaha, khususnya yang bergerak di industri pengolahan, untuk mendorong produksinya. Ditambah lagi dengan suku bunga kredit yang masih relatif tinggi (mahal), akhirnya turut menghambat pertumbuhan kredit untuk mendukung pertumbuhan usaha.

Kita saksikan bahwa pada kuartal III 2023, sektor industri pengolahan tumbuh relatif tinggi 5,20 persen. Namun bila kita bedah per regional, tingginya pertumbuhan industri pengolahan tidak berasal dari daerah yang selama ini menjadi basis industri pengolahan terbesar di Indonesia, yaitu di Jawa.

Pertumbuhan industri pengolahan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur relatif rendah, yaitu masing-masing 4,72 persen (yoy), 4,96 persen (yoy), dan 4,07 persen (yoy). Pertumbuhan industri pengolahan tertinggi (di atas 20 persen) terjadi di Sulawesi dan Maluku yang memang saat ini sedang terjadi kenaikan eskalasi industrialisasi melalui hilirisasi.

Dari sisi fiskal, kita juga memiliki ruang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, bila fiskal juga mendukung pertumbuhan ekonomi (pro growth).

Sayangnya, kecenderungan yang terjadi sejak tahun lalu, komponen pengeluaran pemerintah cenderung countercyclical terhadap pertumbuhan ekonomi.

Selama 2022, pengeluaran pemerintah terkontraksi -4,51 persen. Sedangkan pada kuartal III 2023, pengeluaran pemerintah kembali terkontraksi -3,76 persen (yoy) dan secara kumulatif selama 9 bulan 2023 hanya tumbuh 3,12 persen (c-t-c).

ondisi fiskal ini antara lain tercipta dari karena orientasi fiskal cenderung bersifat konsolidatif demi mengejar target defisit fiskal tidak melebihi 3 persen terhadap PDB dan menempatkan fiskal (APBN) sebagai penyerap risiko (absorber).

Kombinasi moneter dan fiskal yang cenderung ketat (tight policy) pada akhirnya menghambat laju pertumbuhan komponen lainnya seperti konsumsi RT dan investasi. Pada 2022, konsumsi RT hanya tumbuh 4,93 persen dan selama 2023 ini tumbuh 4,94 persen (c-t-c). Investasi tumbuh 3,87 persen pada 2022 dan 4,18 persen selama 9 bulan 2023 (c-t-c).

Untuk membalik kurva atau tren perlambatan pertumbuhan ekonomi ini, tentunya perlu didukung oleh kebijakan moneter dan fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pro- growth, pro-cyclical. Otoritas moneter seyogianya tidak lagi mempertahankan persepsi higher for longer terkait dengan kebijakan penetapan suku bunga acuannya.

Sedangkan otoritas fiskal dapat menempatkan kebijakan fiskalnya dalam spektrum jangkauan yang lebih luas, yaitu selain sebagai penyerap risiko, juga lebih ekspansif dan efektif dalam pengeluarannya demi mendorong pertumbuhan ekonomi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dunia yang Kian Sesak

Setiap 14 bulan, warga dunia bertambah 100 juta jiwa. Pada 2050, jumlah populasi dunia mencapai 9 miliar jiwa.

SELENGKAPNYA

Jepang Terancam Punah?

Pada pertengahan abad ini, populasi Jepang diprediksi akan turun menjadi 100 juta.

SELENGKAPNYA

Menggali Inspirasi dari Gerakan Islah

Imam al-Ghazali memotori reformasi besar untuk kebangkitan umat Islam dari keterpurukan.

SELENGKAPNYA

Gaza Bukan Arena Kata-Kata, Harus Tindakan

KTT Islam Arab dibuka dengan mengutuk agresi Israel yang masih berlangsung.

SELENGKAPNYA