Sejumlah warga turun dari KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (12/7/2022). Jumlah penduduk Indonesia pada 2045 akan mencapai 318,96 juta orang. | ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Teraju

Dunia yang Kian Sesak

Setiap 14 bulan, warga dunia bertambah 100 juta jiwa. Pada 2050, jumlah populasi dunia mencapai 9 miliar jiwa.

Oleh SIWI TRI PUJI B

Tiba-tiba pidato Presiden Tanzania, John Joseph Magufuli, tahun lalu kembali menjadi perbincangan tahun ini. Dalam sebuah acara di negaranya, ia mengingatkan warganya untuk tidak mendengarkan saran dari orang asing tentang kontrasepsi karena memiliki "motif jahat". Ia juga menyebut perempuan yang menggunakan alat kontrasepsi sebagai "wanita malas" - adalah tugas mereka untuk memiliki banyak anak.

Kini, menjelang Hari Populasi Sedunia yang jatuh setiap 11 Juli, namanya kembali disebut. Tepatnya, setelah badan dunia yang menangani soal kependudukan, United Nations Population Fund (UNFPA) menyebut sementara tren pertumbuhan penduduk dunia mengalami penurunan, akan stabil pada 2100 dengan angka fertilitas di bawah 2, Afrika justru melonjak. PBB memproyeksikan populasi Afrika naik tajam dari 1,34 miliar saat ini menjadi 4,28 miliar pada kurun itu. Pada tahun 2100, setengah dari bayi yang lahir di seluruh dunia diperkirakan ada di Afrika.

Setiap dua tahun, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan estimasi terbaru tren populasi dunia. Berbeda dengan dasawarsa lalu, proyeksi 2019 mengungkapkan per bedaan besar. Di seluruh Asia, Eropa, dan Amerika, stabilitas populasi telah tercapai atau segera akan terjadi, dengan proyeksi median menunjukkan peningkatan dari 6,4 miliar hari ini menjadi 6,5 miliar pada tahun 2100. Ya, kenaikannya hanya pada kisaran 2 persen, kecuali Afrika.

photo
Mantan presiden Tanzania, John Joseph Magufuli. (AP Photo, File) - (AP/STR)

Lebih dari beberapa dekade, tren populasi sangat bergantung pada perkiraan tingkat fertilitas di masa depan, yang secara inheren tidak pasti. Tetapi di semua negara maju di dunia, pola kesuburan saat ini telah bertahan begitu lama sehingga tampaknya tetap merupakan fitur yang stabil dari sebuah masyarakat.

Di semua negara maju secara ekonomi, angka fertilitas -merujuk pada jumlah anak per perempuan di sebuah wilayah atau negara- turun dengan cepat antara akhir abad ke-19. Kontrasepsi yang menjadi semakin mudah didapat dan makin tinggi tingkat pendidikan dan partisipasi yang lebih besar dalam sektor formal kaum perempuan menjadi salah satu penyebabnya.

Angka fertilitas Eropa utara dan barat turun di bawah 2 pada awal 1970-an, dan Eropa selatan mengikuti satu dekade kemudian. Kini rata-rata angka fertilitas Eropa ada pada kisaran 1,6 dan tak ada satu negarapun di atas 1,85.

Angka fertilitas Kanada tidak pernah di atas 2 sejak awal 1970-an dan saat ini berada di angka 1,53; dan angka fertilitas Amerika Serikat, yang turun di bawah 2 pada tahun 1970-an, naik sedikit di atas 2 pada tahun 1990-an karena imigran yang baru datang dari Amerika Latin pada awalnya memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi daripada populasi non-Hispanik. Tetapi dengan tingkat kesuburan kelompok Hispanik sekarang menurun juga, rata-rata angka fertilitas AS saat ini adalah 1,78.

 
Di semua negara maju secara ekonomi, angka fertilitas turun dengan cepat antara akhir abad ke-19.
 
 

Saat ini, ada fenomena yang diakui banyak kalangan bahwa; di semua negara yang telah mencapai status pendapatan menengah, dan di mana kaum perempuan mendapatkan pendidikan yang baik dan memiliki kebebasan reproduksi, maka angka fertilitas di negara itu berada pada atau di bawah 2. Bahkan di beberapa negara maju seperti Jepang, angkanya jauh di bawah itu.

Tantangan mengadang

Tapi sebelum sampai pada 2100, mari bicara kondisi saat ini. Ada sekitar 7,7 miliar pria, wanita, dan anak-anak yang berbagi hidup di planet ini, dari hanya 1,9 miliar jiwa seabad lalu. Dan meskipun populasi telah stabil di banyak wilayah di bumi, khususnya Eropa dan Amerika Utara, pertumbuhan penduduk berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, yaitu tumbuh sekitar 100 juta jiwa setiap 14 bulan. Pada tahun 2050, populasi bumi akan mencapai 9,7 miliar dan akan terus meningkat, mencapai angka sekitar 10,9 miliar pada tahun 2100.

Tantangan jelas menghadang. Yang paling sederhana, adalah ketersediaan pangan dunia. Untuk memberi makan 10 miliar jiwa, maka akan banyak hutan dan lembah yang harus dialihkan ke sektor pertanian untuk memberi makan kita. Belum lagi ketersediaan papan alias tempat tinggal. "Planet kita tidak dapat menahan jumlah sebanyak itu," kata pakar paleontologi, Peter Ward.

Hal yang sama pernah diingatkan filsuf yang hidup pada akhir abad ke-18, Thomas Malthus. Ia menulis kata-kata yang tidak menyenangkan dalam sebuah esai tentang apa yang dia lihat sebagai masa depan kemanusiaan yang mengerikan. Desakan manusia yang tak terpadamkan untuk bereproduksi, kata Malthus, pada akhirnya akan mengarahkan kita untuk kelebihan populasi planet ini, memakan semua sumber dayanya dan mati dalam kelaparan massal.

"Kekuatan populasi akan sangat unggul dari kekuatan bumi untuk menghasilkan subsistensi bagi manusia, sehingga pada akhirnya akan berujung pada kematian dini dalam bentuk tertentu akan datang pada umat manusia," tulisnya.

 
Pada tahun 2100, setengah dari bayi yang lahir di seluruh dunia diperkirakan ada di Afrika.
 
 

Banyak ilmuwan berpendapat bahwa bumi memiliki daya dukung maksimum untuk 9 miliar hingga 10 miliar jiwa saja. Salah satu ilmuwan tersebut, sosiobiolog Universitas Harvard, Edward O Wilson, mendasarkan perkiraannya pada perhitungan sumber daya bumi yang tersedia.

Seperti yang ditunjukkan Wilson dalam The Future of Life, selain ketersediaan air tawar yang terbatas, kendala utama adalah pada jumlah makanan yang dapat dihasilkan bumi, seperti yang dikemukakan Malthus lebih dari 200 tahun yang lalu.

Bahkan dalam kasus efisiensi maksimum, di mana semua biji-bijian yang ditanam didedikasikan untuk memberi makan manusia (bukan ternak). "Jika semua orang setuju untuk menjadi vegetarian, menyisakan sedikit atau tidak sama sekali untuk ternak, 3,5 miliar hektare lahan subur akan mendukung sekitar 10 miliar jiwa," tulis Wilson.

Lahan seluas itu akan menghasilkan sekitar 2 miliar ton biji-bijian setiap tahun, jelasnya. Itu cukup untuk memberi makan 10 miliar vegetarian, tetapi hanya akan memberi makan 2,5 miliar omnivora AS, karena begitu banyak vegetasi yang didedikasikan untuk ternak dan unggas di AS.

Menurut ahli biologi populasi Joel Cohen dari Universitas Columbia, faktor lingkungan lain yang membatasi daya dukung bumi adalah siklus nitrogen, jumlah fosfor yang tersedia, dan konsentrasi karbon atmosfer, dan sejumlah besar ketidakpastian dampak dari semua faktor ini. "Namun, tidak ada yang tahu kapan atau pada level berapa populasi puncak akan tercapai," kata Cohen.

Untungnya, kita dapat terhindar dari fase akhir kelebihan populasi dan kelaparan yang dibayangkan oleh Malthus. Perkiraan PBB tentang tren populasi global menunjukkan bahwa keluarga semakin kecil. "Data empiris dari 230 negara sejak 1950 menunjukkan bahwa mayoritas besar mengalami penurunan kesuburan," kata Gerhard Heilig, kepala bagian perkiraan populasi dan proyeksi di UNFPA.

Pengecualiannya, Afrika. Saat ini ada sekitar 1,2 miliar jiwa di Afrika. Pada 2100, akan ada lebih dari 4 miliar jiwa. Krisis populasi yang terus meningkat perlu ditangani di sana sebagai prioritas.

Sejarah mencatat bahwa banyak negara di Afrika cenderung menjadi sangat tidak ramah ketika pemanasan global mencengkeram bumi. Gelombang panas, kelaparan, dan kekeringan dengan mudah menyapu tanah mereka. Konflik sumber daya menjadi tak terelakkan. Ini sebabnya, pernyataan Presiden Magufuli menjadi renungan bersama.

Disadur dari Harian Republika Edisi Rabu, 10 Juli 2019.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat