
Resonansi
Sekjen PBB pun Dianggap Sepi oleh Israel
Kata sekjen PBB, serangan Hamas tidak terjadi dalam ruang hampa.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
Bayangkan apa yang sedang berlangsung di Gaza sekarang ini!
Satu setengah juta warga Palestina di utara Jalur Gaza terpaksa mengungsi sejauh 20 kilometer ke selatan, untuk tinggal di sisa 20 kilometer wilayah itu, bersama satu juta saudara-saudara mereka yang lain.
Mereka tidak mempunyai air, listrik atau bahan bakar. Juga tempat tinggal, apalagi akses ke rumah sakit atau sekolah. Mereka hidup di ruang terbuka tanpa pelindung dari panas matahari dan dinginnya malam.
Ini kita tidak sedang menonton film dokumenter tentang Gaza di Netflix. Pun bukan lagi menyimak berita sekilas di layar televisi. Warga di Jalur Gaza juga bukan aktor atau aktris. Gaza pun bukan lokasi syuting film kolosal.
Ini tentang ribuan jenazah yang dimakamkan secara massal, tentang ribuan orang terluka tanpa akses pengobatan, mengenai bayi tanpa susu. Ini terkait dengan ribuan orang yang terpaksa tidur di alam terbuka tanpa selimut.
Ini adalah tragedi kemanusiaan. Ini adalah dunia nyata yang kini dihadapi warga Palestina di Gaza. Ini tentang ribuan jenazah yang dimakamkan secara massal, tentang ribuan orang terluka tanpa akses pengobatan, mengenai bayi tanpa susu. Ini terkait dengan ribuan orang yang terpaksa tidur di alam terbuka tanpa selimut.
Lalu siapakah yang bisa menghentikan tragedi kemanusiaan yang sedang menimpa warga Palestina di Gaza ini?
Seorang pria, Antonio Guterres namanya, berdiri lesu di depan penyeberangan Rafah, pintu gerbang perbatasan Mesir dengan Gaza. Jabatan pria 74 tahun itu adalah Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (Sekjen PBB).
Ia mempunyai permintaan sederhana: agar penyeberangan Rafah dibuka buat masuknya bantuan kemanusiaan, untuk meringankan penderitaan warga Palestina di neraka Gaza.
Sebagai pemimpin tertinggi PBB, pria asal Portugal itu tentu juga menginginkan gencatan senjata segera diberlakukan. Pun perang yang tidak seimbang ini cepat bisa dihentikan.
Namun, Guterres, ayah dua anak, sebenarnya pun tahu betul betapa rapuhnya lembaga internasional yang ia pimpin, untuk mengambil keputusan-keputusan penting sesuai dengan tujuan pembentukannya.
Contoh terbaru adalah kegagalan PBB menghentikan perang di Ukraina. Lalu bagaimana mereka bisa memadamkan api kekerasan di Gaza?
Contoh terbaru adalah kegagalan PBB menghentikan perang di Ukraina. Lalu bagaimana mereka bisa memadamkan api kekerasan di Gaza?
Guterres tampaknya sangat paham kewenangannya sebagai Sekjen PBB sangat terbatas. Yang justru lebih berkuasa adalah Dewan Keamanan (DK) PBB, tepatnya lima negara anggota tetapnya — Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina.
Perang di Ukraina gagal dihentikan lantaran aktor utamanya Rusia. Sedangkan pendudukan Israel atas Palestina bisa terus berlangsung sampai sekarang karena dukungan AS dan sekutu Baratnya — Inggris dan Prancis — pada negara Yahudi itu. Hingga kini AS telah menggunakan 88 kali hak veto, sebagian besar terkait dengan Israel.
Itulah sebabnya Guterres memilih apa yang ia bisa: memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan tadi, lewat gerbang Rafah.
Dengan jaminan veto AS, Israel menjadi semakin membabi-buta menyerang Gaza. Mereka pun menganggap sepi semua pernyataan Sekjen PBB. Bahkan Israel berani mengkritik habis pemimpin tertinggi di lembaga internasional itu, saat ia mengomentari Operasi Badai al-Aqsa di hadapan para anggota DK PBB beberapa hari lalu.
Kata Guterres, serangan 7 Oktober 2023 yang dilancarkan Hamas ‘tidak terjadi dalam ruang hampa’. Maksudnya, serangan Hamas itu ada sebab-musababnya.
Ia pun menunjuk pada penderitaan warga Palestina di bawah pendudukan yang terus berlanjut, tanah mereka yang dirampas untuk dibangun permukiman Yahudi, perekonomian mereka yang hancur, rumah-rumah mereka yang dirusak, dan harapan solusi politik atas penderitaan mereka yang semakin hilang.
Dan, kendati Guterres juga mengutuk serangan Hamas sama seperti ia mengecam hukuman kolektif yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, tapi tetap saja ia menjadi sasaran kecaman Israel. Bahkan mereka menuntut agar Guterres mundur dari jabatannya sebagai Sekjen PBB.
Bagi Israel, tidak ada bahasa lain kecuali balas dendam. Serangan Hamas justru mereka anggap sebagai peluang emas untuk menghabisi rakyat Palestina.
Mereka juga menyerukan masyarakat internasional untuk mengutuk dan mengecap Hamas sebagai teroris. Mereka tidak ingin ada pihak yang membenarkan tindakan Hamas dan sebaliknya mengecam hukuman kolektif Israel terhadap rakyat Gaza.
Mereka juga menyerukan masyarakat internasional untuk mengutuk dan mengecap Hamas sebagai teroris. Mereka tidak ingin ada pihak yang membenarkan tindakan Hamas dan sebaliknya mengecam hukuman kolektif Israel terhadap rakyat Gaza.
Di mata Israel, menghancurkan Hamas harus disertai dengan menghancurkan Gaza. Inilah yang dikatakan juru bicara militer Israel Daniel Hagari. Ia bersumpah Israel akan melakukan pengeboman terus menerus yang akan ‘mengubah Gaza menjadi lautan tenda’.
Hal ini bermakna mereka akan terus melanjutkan kebijakan hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina, tidak peduli berapa banyak warga sipil, anak-anak, dan perempuan yang terbunuh.
Namun yang harus diingat, mengutip analis politik Timur Tengah dan hubungan internasional Otman Mirghani, jika pun Israel, yang didukung Amerika dan sekutu Baratnya, mampu melenyapkan Hamas dari muka bumi — dan ini sangat mustahil —, tetap saja tidak akan membawa keamanan dan perdamaian bagi Israel.
Apa yang terjadi di Gaza kini, menurut Mirghani, justru akan melahirkan generasi baru Palestina yang marah, tidak hanya terhadap Israel, tapi juga kepada mereka yang mendukung Negara Yahudi itu untuk menghancurkan Gaza dan membunuh ribuan warganya.
Apa yang terjadi di Gaza kini, menurut Mirghani, justru akan melahirkan generasi baru Palestina yang marah, tidak hanya terhadap Israel, tapi juga kepada mereka yang mendukung Negara Yahudi itu untuk menghancurkan Gaza dan membunuh ribuan warganya.
Mereka inilah yang akan menjadi generasi perlawanan Palestina. Mereka inilah yang akan terus membuat mimpi buruk Israel.
Mengutuk Hamas dan melabelinya sebagai teroris, kata Mirghani, juga tidak akan menjadi solusi bagi Israel. Di masa lalu, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibasmi, dikejar ke mana-mana, dan diusir dari Beirut hingga Tunisia. Namun hal ini tidak membawa keamanan, perdamaian, dan stabilitas bagi Israel. Pun tidak mengakhiri perjuangan Palestina.
Pada akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi Israel waktu itu, selain duduk bersama PLO dan bernegosiasi hingga terjadi Perjanjian Oslo (Norwegia) pada 1993.
Kesalahan yang terus berulang tampaknya menjadi ciri konflik yang panjang ini. Menyalahkan krisis yang terjadi saat ini kepada Hamas — karena melancarkan serangan Badai al-Aqsa, 7 Oktober lalu —, tapi mengabaikan penderitaan rakyat Palestina yang terus berlanjut di bawah pendudukan Israel, bukan hanya merupakan kesalahan dalam membaca peristiwa. Akan tetapi justru akan membawa banyak risiko di masa depan.
Sayangnya, AS dan sekutu Baratnya tidak hanya membisu, tapi justru mendukung buta pengeboman kejam yang dilakukan militer Israel terhadap warga Palestina di Gaza. Padahal bisa saja mereka mengadopsi wacana yang dapat meredam kekerasan, mengadopsi wacana perdamaian untuk menemukan penyelesaian yang adil, dan menjamin kehidupan aman bagi Israel dan Palestina.
Namun, apa yang kita saksikan adalah justru sikap standar ganda yang dipertontonkan AS dan sekutunya. Mereka mengutuk tindakan Hamas yang menarget warga Israel, sebaliknya mereka justru mendukung tindakan Israel membumihanguskan Gaza. Standar ganda ini jelas tidak akan menghasilkan perdamaian dan keamanan, baik bagi Israel maupun Palestina.
Namun, apa yang kita saksikan adalah justru sikap standar ganda yang dipertontonkan AS dan sekutunya. Mereka mengutuk tindakan Hamas yang menarget warga Israel, sebaliknya mereka justru mendukung tindakan Israel membumihanguskan Gaza. Standar ganda ini jelas tidak akan menghasilkan perdamaian dan keamanan, baik bagi Israel maupun Palestina.
Menurut Otman Mirghani, kecaman atas pembunuhan warga sipil harus adil, harus sama antara kedua belah pihak, Hamas dan Israel. Sayangnya, kita masih sering mendengar dari pihak AS dan sekutunya, bahwa pengeboman terhadap warga sipil tidak bisa dihindari dalam operasi balas dendam Israel.
Kata juru bicara Dewan Kemanan Nasional AS John Kirby, gencatan senjata ‘hanya akan menguntungkan Hamas’.
Pertanyaannya di sini, bukankah gencatan senjata akan menyelamatkan warga sipil di Gaza yang tewas dalam jumlah ratusan setiap hari akibat pengeboman Israel yang kejam dan terus-menerus?
Bukankan gencatan senjata juga akan menguntungkan suara-suara yang menyerukan jalur perdamaian sebagai satu-satunya solusi yang adil dan logis?
Siklus kekerasan yang terjadi saat ini tidak bisa menjadi solusi, tapi bisa menjadi peluang untuk melanjutkan upaya perdamaian, jika Israel menginginkannya. Pun apabila masyarakat internasional, terutama AS dan sekutunya, memaksanya.
Siklus kekerasan yang terjadi saat ini tidak bisa menjadi solusi, tapi bisa menjadi peluang untuk melanjutkan upaya perdamaian, jika Israel menginginkannya. Pun apabila masyarakat internasional, terutama AS dan sekutunya, memaksanya.
Negara-negara Arab, yang kini menuntut gencatan senjata di Gaza dan masuknya bantuan kemanusiaan, selalu menekankan proses perdamaian adalah satu-satunya cara menyelesaikan krisis dan mencapai keamanan, perdamaian, dan stabilitas bagi semua pihak.
Yang jadi masalah, masih menurut Otman Mirghani, Israel tidak mau mendengarkan pandangan yang menyuarakan perdamaian. Suara-suara ekstremis di dalam pemerintahan Israel telah berhasil meredam suara-suara di kubu perdamaian.
Perpolitikan Israel sudah dikangkangi para ekstremis kanan yang ingin melikuidasi perjuangan Palestina, melalui penghancuran Gaza dan pengusiran warganya. Mereka ini selalu bermimpi melakukan ekspansi lebih lanjut, seperti yang dipertontonkan PM Benjamin Netanyahu di podium PBB beberapa pekan lalu, ketika menunjukkan peta Israel Raya yang mencakup Tepi Barat dan Gaza.
Arogansi dan mentalitas para pemimpin Israel inilah yang menyebabkan situasi saat ini, yang membawa kawasan ke jurang yang lebih dalam. Karena itu, harus ada tekanan kuat untuk menghidupkan kembali proses perdamaian dan upaya untuk mencapai penyelesaian yang adil.
Tidak ada alternatif lain, bila ingin tercipta perdamaian dan stabilitas kawasan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Giliran Israel Ancam Elon Musk
Starlink akan memperluas layanan ke organisasi bantuan yang diakui secara internasional di Jalur Gaza
SELENGKAPNYAHamas Ancam Permalukan Israel di Mata Dunia
Hamas menyatakan telah menyiapkan kekuatan penuh hadapi serangan darat Israel.
SELENGKAPNYAIsrael tak Pedulikan Sandera di Gaza
Keluarga sandera yang ditahan Hamas lebih takut serangan Israel.
SELENGKAPNYAHamas Masih Punya Jaringan Komunikasi Bawah Tanah
Hamas memasang infrastruktur komunikasi di jaringan terowongannya yang luas di bawah Jalur Gaza
SELENGKAPNYA