Seorang anak menyeberang rel Pejompongan, Jakarta, Selasa (2/2/2021). | Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO

Iqtishodia

Menyoal Konten Eksploitasi Kemiskinan di Medsos

Konten kreator dengan segala kreativitasnya juga harus bijak dalam menciptakan konten.

MENELUSURI PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG
POVERTY PORN CONTENT

Eka Wulandari, Ressy Tri Wulandari, Ratna Nurlita (Mahasiswa Departemen Manajemen FEM IPB University)                                                                                                                                                              Ardina Rahmi Yanti (Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB University)                                                                                                                                                        Hardiana Widyastuti (Dosen Departemen Manajemen, FEM IPB University)

 

Perkembangan media sosial di Indonesia semakin masif. Menurut laporan Hootsuite (We Are Social) pada 2022, pengguna media sosial aktif Indonesia mencapai 191,4 juta. Kemasifan ini mendorong kreativitas tanpa batas yang menghasilkan berbagai macam konten yang dapat dengan mudah diakses melalui media sosial.

Namun, banyaknya konten tidak selalu menunjukkan tingkat kualitas dan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat secara umum. Beberapa jenis konten yang ditemukan pada media sosial lebih mengarah ke hal yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat.

Salah satu di antara banyak konten tersebut adalah konten yang mengarah pada eksploitasi kemiskinan atau disebut poverty porn content. Beberapa konten yang mengarah pada eksploitasi kemiskinan adalah konten live streaming di Tiktok dan konten bagi-bagi uang yang banyak ditemukan di Youtube.

Poverty porn dalam screen industry mengarah pada jenis media apa pun yang mengeksploitasi kondisi kemiskinan seseorang sebagai sajian hiburan bagi penonton (Roenigk, 2014). Poverty porn juga merujuk pada segala jenis media, baik ditulis, difoto, atau difilmkan, yang mengeksploitasi kondisi masyarakat miskin dengan tujuan membangkitkan simpati dan meningkatkan sumbangan atau dukungan untuk tujuan tertentu (Collin, 2009).

photo
Mahasiswa IPB saat melakukan riset tentang poverty porn content, beberapa waktu lalu. - (IPB)

Bentuk konten eksploitasi kemiskinan yang sering dijumpai di media sosial di antaranya konten mengemis gift di Tiktok. Ada juga tes kebaikan dengan mengetes kebaikan orang yang menjadi target konten. Jika orang yang diuji akan memberikan dengan ikhlas kepada orang yang meminta-minta, akan mendapatkan uang atau hadiah atas kebaikannya itu.

Kemudian, ada konten yang mengetes kejujuran orang. Misalnya, mengaku uang yang jatuh bukan miliknya, orang tersebut berpeluang mendapatkan uang sebagai hadiah atas kejujurannya serta masih banyak konten sejenis lainnya yang bermunculan di media sosial. Konten tersebut dapat membangkitkan simpati dan cenderung mendapatkan ratusan hingga jutaan views di media sosial.

Setidaknya, terdapat lima kanal Youtube besar yang telah mengunggah konten yang menunjukkan kemiskinan seseorang. Masing-masing kanal setidaknya telah mengunggah rata-rata 50 video. Apabila diasumsikan satu video membantu satu masyarakat miskin, dengan jumlah masyarakat miskin di Indonesia pada 2022 yang mencapai 26,16 juta (BPS, 2022), hanya 0,001 persen masyarakat miskin yang terbantu dari adanya konten tersebut.

Fokus konten poverty porn sendiri adalah menunjukkan kemiskinan dengan tujuan mengumpulkan simpati dan meningkatkan rating. Isu ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Beberapa orang berpendapat bahwa konten yang menunjukkan kemiskinan mampu membangkitkan kesadaran mengenai isu tersebut sehingga keberadaannya dibutuhkan.

Sementara, beberapa yang lain menganggap bahwa konten tersebut hanya mengeksploitasi orang tidak mampu dan memberikan keuntungan besar bagi satu pihak, yaitu pembuat konten. Sebab, konten kreator dalam satu video saja bisa mendapatkan ratusan hingga jutaan views. Tentunya, semakin besar views semakin besar penghasilan yang didapatkan.

Berdasarkan riset terhadap 394 responden pengguna media sosial di wilayah Jabodetabek, rata-rata frekuensi menonton konten eksploitasi kemiskinan adalah empat kali per pekan dengan tes kejujuran sebagai contoh konten yang paling banyak ditonton responden. Responden dalam sehari cenderung menghabiskan waktu 3,4 jam untuk berselancar di media sosial dengan Tiktok sebagai aplikasi pertama yang paling sering digunakan.

photo
Warga beraktivitas di hunian yang berada di atas laut di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (30/1/2023). - (Republika/Putra M. Akbar)

Responden juga menghabiskan waktu di media sosial dengan kegiatan menonton video atau reels. Hasil riset dari 394 responden menunjukkan persepsi negatif masyarakat terhadap konten poverty porn. Hasil ini ditandai dengan hasil keseluruhan responden yang memiliki persepsi yang rendah terhadap poverty porn.

Dari hasil persepsi tersebut, masyarakat berpandangan bahwa konten yang mengeksploitasi kemiskinan tidak bermanfaat, kurang mendidik, mengarah pada settingan, dan dikhawatirkan mendorong seseorang memiliki mental miskin.

Ditinjau dari segi ketertarikan, sebanyak 58 persen masyarakat juga memiliki ketertarikan yang tergolong rendah terhadap konten poverty porn. Ketertarikan dalam riset ini tidak dihitung berdasarkan jumlah views, like, dan lainnya. Ketertarikan responden terhadap konten eksploitasi kemiskinan dilihat dari dampaknya kepada masyarakat terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Kebanyakan responden melihat konten tersebut dikarenakan muncul di beranda ataupun FYP. Anggapan yang muncul dari responden adalah bahwa konten tersebut tidak membantu dalam mengentaskan kemiskinan, sebaliknya justru hanya menguntungkan satu pihak yaitu pembuat konten.

Hal ini dapat terlihat dari banyaknya pendapatan yang mampu diperoleh pembuat konten dari video dengan tema kemiskinan. Misalnya, video dari salah satu youtuber ternama di Indonesia yang kerap menjadikan kemiskinan sebagai konten telah ditonton lebih dari lima juta kali. Perhitungan melalui laman Influencer Marketing Hub, penghasilan yang mengalir dari satu video tersebut dapat mencapai sekitar Rp 147 juta. Terakhir, hasil riset juga menunjukkan bahwa semakin rendahnya persepsi dan ketertarikan masyarakat terhadap konten tersebut semakin masyarakat setuju untuk menghapuskan konten poverty porn.

Konten eksploitasi kemiskinan memang membantu secara finansial, tetapi hanya bersifat sementara. Adapun dalam konteks pengentasan kemiskinan, konten tersebut belum bisa mengentaskan masalah kemiskinan yang kompleks di Indonesia.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menangguhkan 58 konten live streaming eksploitasi kemiskinan yang tayang di beberapa media sosial. Di sisi lain, konten berbagi uang yang juga kerap mengarah pada poverty porn harus mempertimbangkan banyak hal sebelum konten tersebut ditayangkan, salah satunya pertimbangan terkait kebijakan privasi “korban” konten.

Hal ini karena konten kreator kerap melakukan pengambilan gambar berbagi uang tanpa seizin “korban”. Pernyataan ini juga didukung dengan hasil wawancara terhadap salah satu penerima bantuan uang yang dibagikan salah satu youtuber yang mana tidak ada perizinan terkait untuk menayangkan wajah dan kondisi penerima tersebut.

photo
Mahasiswa IPB saat melakukan riset tentang poverty porn content, beberapa waktu lalu. - (IPB)

Menjamurnya konten poverty porn sudah semestinya menjadi perhatian seluruh pihak di Indonesia. Pemerintah selaku pembuat regulasi dapat mengatur tayangan apa saja yang layak untuk ditayangkan dan bertindak tegas terhadap kemunculan eksploitasi atau kegiatan mengemis, baik secara online atau offline yang memanfaatkan orang lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, atau kelompok rentan lainnya.

Konten kreator dengan segala kreativitasnya juga harus bijak dalam menciptakan konten. Jangan hanya memikirkan keuntungan besar bagi dirinya dan merugikan bagi orang lain.

Selain itu, dengan adanya peraturan mengenai menjaga privasi dan etika dalam membuat konten di Indonesia, sudah sepatutnya diperhatikan oleh konten kreator untuk menjadi pedoman dalam pembuatan konten. Terakhir, masyarakat selaku agen kontrol sosial juga memiliki peran yang sangat penting dengan turut mengawasi dan mengendalikan konten di media sosial, sehingga tidak ada lagi konten yang merugikan khususnya bagi kelompok-kelompok rentan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat