Petani tengah membawa lidah buaya di perkebunan lidah buaya Aloevera Centre di Pontianak, kalimantan Barat. | Republika/Agug Supriyanto

Safari

Pontianak, Negeri Lidah Buaya

Pontianak juga merupakan peti harta karun kuliner.

Amui memasukkan pelepah lidah buaya yang sudah dilepas dari pangkalnya itu satu per satu di gerobak dorongnya. Bau pupuk menguar tajam di dalam gubuk kebun itu. Beberapa karung pupuk, peralatan kebun, plastik-plastik mengisi gubuk berlantai tanah itu.

''Saya sudah puluhan tahun nanam lidah buaya, sebelum orang-orang itu ramai-ramai menanam,'' kata Ng Cong Mui, nama lengkap lelaki berumur 70-an tahun itu. ''Dulu, orang pakai lidah buaya cuma untuk sampo.''

Saya memandang Amui bergerak menjauh, mendorong gerobaknya menuju sebuah mobil pikap. Kebun Amui terletak di kawasan Parit Pangeran Dalam, Pontianak Utara.  Pontianak Utara sejak 20-an tahun yang lalu memang basis tanaman bernama latin Aloevera ini.

Baris-baris tanaman lidah buaya di kebun Amui tampak subur di tanah gambut yang hitam. Di tanah warisan seluas satu hektare itu, sebagian besar ditanami lidah buaya, sebagian kecilnya pohon pepaya dan sayuran. Amui menggarap sebagian besar tanahnya, sisanya digarap anak tunggalnya Ahwa (26 tahun). Pemuda kerempeng itu menggarap juga sebagian tanah pamannya.

photo
Petani menunjukan lidah buaya di perkebunan lidah buaya Aloevera Centre di Pontianak, kalimantan Barat. di Pontianak, kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

Memelihara lidah buaya, kata Ahwa, tidaklah sulit asalkan tidak dilanda banjir. Ia menunjuk ke arah timur. ''Banjir yang lalu, banyak tanaman yang jadi busuk,'' katanya. Pelepah lidah buaya itu dipanen setelah usia satu tahun.

Biasanya, seluruh hasil kebunnya dibeli langsung oleh pabrik. Sebuah truk datang mengambil seluruh panen dari kebun-kebun di sana. Seluruh panen Amui mencapai setengah hingga satu ton. Pembelian bisa juga untuk partai yang lebih kecil. ''Pedagang-pedagang kecil itu membeli lidah buaya yang sudah dikupas untuk dibuat minuman,'' ujar Amui sambil terus memindahkan pelepah lidah buaya yang berdaging tebal itu.

Matahari khatulistiwa

Lidah buaya dari Pontianak memang istimewa. Potongan daging tanaman itu banyak dijual hingga Jakarta untuk pencampur minuman ringan. "Satu pelepah bisa mencapai dua kilogram," kata Dr H Buchari A Rachman, mantan wali kota Pontianak.

Lidah buaya yang ditanam di Pontianak adalah jenis bibit unggulan Aloevera chinensis, berdaun lebar yang lebih cocok untuk makanan dan minuman. Jenis tanaman ini bisa terus dipanen hingga berumur 12-13 tahun.

photo
Perkebunan lidah buaya Aloevera Centre di Pontianak, kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

Adalah Buchari yang memopulerkan lidah buaya sebagai andalan dari Pontianak. Produk lidah buaya Pontianak lebih baik daripada daerah lain. ''Karena, tanaman ini hidup di lahan gambut dan di bawah matahari khatulistiwa,'' kata pria yang kini menjabat direktur RS Pendidikan Universitan Tanjung Pura.

Dari data yang beredar di dunia maya, kebun lidah buaya di Kalimantan Barat total seluas 175 hektare. Sebanyak 90 persen dari luas itu berada di Pontianak.

Mantan wali kota Pontianak dua periode pada 1999-2008 ini mengaku, semula melihat potensi lidah buaya karena dirinya berlatar belakang profesi dokter spesialisasi kulit. Sebagai dokter kulit, ia paham benar potensi lidah buaya sebagai tanaman obat. Tanaman ini mengandung bahan getah untuk luka bakar, sampo, food supplement, dan banyak vitamin, mineral, serta zat-zat bahan dasar kekebalan tubuh.

Saat memopulerkan lidah buaya Pontianak, Buchari sempat membawanya ke sejumlah negara, dari Bangkok hingga Jerman. Mempersiapkan produksi skala besar, pengembangannya pun sudah mengenakan kultur jaringan. Buchari sudah membawa lidah buaya Pontianak ke Bangkok hingga Jerman. Buchari menyayangkan, setelah ia meninggalkan kursi pertama di balai kota Pontianak, budidaya lidah buaya tak seberapa gencar lagi.

Di udara panas Pontianak, minuman es lidah buaya menjadi salah satu yang paling dicari. Segelas tinggi es sirup lidah buaya sudah cukup untuk menyejukkan tenggorokan.

photo
Petani tengah membawa lidah buaya di perkebunan lidah buaya Aloevera Centre di Pontianak, kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

lidah buaya juga masih tetap menjadi oleh-oleh yang dicari. Di pusat oleh-oleh PSP, Pontianak, kita bisa menemukan lidah buaya dalam beberapa produk. Untuk minuman, dodol, dan sejenis jelly. “Sudah beli lidah buaya?” kata seorang teman mengingatkan saat saya mengangkat ransel bersiap pulang.

Jangan Lewatkan …

Pisang Goreng Srikaya

Pisang goreng ada berbagai tempat di Pontianak. Pisang kepok goreng yang dijual tidak lembek atau terlalu matang, tapi manis rasanya. Kami  mencicipi yang disukai banyak orang, pisang goreng srikaya. Yakni, pisang yang baru keluar dari penggorengan  langsung diolesi srikaya. Rasa manis dan legit srikaya akan terasa menyatu dengan pisang hangat itu. Kami mencicipi di Warung Kopi (WK) Winny, Jalan Gajah Mada, Pontianak, yang amat ramai pada petang hari. Suasana warung kopi melayu terasa di sana. Minum kopi atau teh sambil mengobrol dan mengemil potongan-potongan kecil pisang goreng.

Kepala ikan asam

Hidangan Melayu Pontianak yang populer adalah kepala ikan asam pedas. Ikan yang disajikan adalah ikan mayong, satu jenis ikan sungai. Rasa asam dan pedas kuahnya meresap ke dalam daging yang tersembunyi di balik tulang-tulang kepala ikan, sehingga asyik untuk dinikmati. Santapan ini dibarengi dengan pajri. Yakni, nanas yang dimasak dengan kuah merah asam pedas juga. Hidangan itu biasanya didampingi rebusan daun ubi sebagai sayuran penyeimbang.

photo
Kepala Ikan Asam merupakan makanan khas di Pontianak, Kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

Kerupuk basah

Mirip pempek Palembang atau siomay Bandung. Orang Pontianak menyebutnya “temet”. Makanan khas Kapuas Hulu ini dibuat dari ikan sungai dimakan dengan sambal merah. Disajikan berupa potongan-potongan kecil dari bentuk-bentuk lanjaran. Bisa didapatkan di sejumlah tempat, termasuk di gerobak dorong.

Durian Pontianak

November hingga Desember adalah puncak musim durian di Kalimantan Barat.  Saat itu jalan-jalan di Pontianak banyak penjual durian. Panen durian tidak sama antardaerah. Durian yang dipanen adalah yang matang di pohon. ‘’Semua yang kami jual durian matang,’’ kata Iskandar, salah satu penjual di Jalan Pattimura. Pertengahan November lalu, ia berjualan durian dari Batangtarang. Harga durian di lapaknya Rp 10 ribu hingga Rp 40 ribu.

photo
Pedagang melayani melayani pembeli durian khas pontianak di pinggiran jalan di Pontianak, kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

Sultan Pun Menitahkan Membuat Bubur …

Bubur itu berwarna abu-abu, ada daun-daun di dalamnya. Permukaannya bertaburan kacang dan teri goreng. Saya memeras jeruk sambal yang tersedia di meja dan menambahkan sambal, tentu saja di atasnya.

Saya tak menemukan wujud beras di dalam piring itu. ''Berasnya diblender dan dicampur kelapa parut, semuanya disangrai,'' jelas Nana (39 tahun) pemilik Warung Burdas, bubur pedas, di Jalan Merdeka Timur, Pontianak.  

Bubur pedas adalah salah satu hidangan yang sudah saya niatkan sejak dari Jakarta. ''Tapi, itu bukan makanan khas Pontianak,'' kata Syarifuddin Usman, pengamat sejarah dan sosial Kalimantan ketika saya ungkap rencana ini.

Bubur pedas adalah hidangan khas Sambas. Menurut Din, sapaan Syarifuddin, bubur pedas ini lahir pada abad ke-18 akhir. Saat itu, musim paceklik, sementara kerajaan baru dilalap api setelah mereka berperang. Melihat kondisi seperti itu, raja menitahkan agar rakyat memasak sedikit padi yang ditumbuk yang dicampur dengan banyak sayuran.

photo
Bubur Pedas. - (Republika/Agung Supriyanto)

''Raja mengajarkan hidup sederhana sambil tetap memikirkan gizi rakyatnya,'' ujar Din.

Bubur yang dicampur dengan sayuran dan taburan ikan asin sekilas mengingatkan saya pada bubur manado. “Beda,” kata Nana dengan penuh keyakinan.

Rasanya gurih, asin, pedas, dan “sesuatu” yang lain. Bubur pedas memang memiliki aroma yang khas. Nana menyebutkan aroma khas itu diperoleh dari beras tumbuk dan parutan kelapa yang disangrai sebelum dibuat bubur. Selain itu, karena kehadiran daun kesum, daun aromatik yang digunakan.

Sayur segar

Bubur pedas Nana lumayan populer. ''Orang-orang suka, padahal aslinya bukan orang Sambas,'' ujarnya.

Tiap hari ia bisa menyiapkan sekitar 300 porsi dari pukul 09.00 hingga 21.00, habis ludes.  Bubur sebanyak itu dimasak dari delapan kg beras. Untuk itu, ia memulai hari dengan membuat bubur dari delapan kg beras sejak pukul 03.00.  Bubur itu dibuat dari hasil blenderan beras dan kelapa parut yang sudah disangrai. ''Perbandingannya dua banding satu,'' kata wanita asal Pontianak itu.

Pukul 4.30, Nana ke pasar untuk belanja sayur segar yang dibutuhkan hari itu. Ia selalu menghadirkan sayuran kangkung, pakis, ubi rambat, jagung, dan taoge. Tak lupa, tentu saja, daun kesum yang memberi aroma khas mirip kecombrang itu. Sayuran itu dimasukkan saat bubur dihangatkan, menjelang dihidangkan.

Sudah 10 tahun Nana berjualan bubur pedas. Kini, ia sudah membuka pula cabangnya di Gang Padi. Warungnya pun sudah kerap tampil di berbagai media Ibu Kota. Di Pontianak, banyak kita temukan penjual bubur pedas seperti ini.

Disadur dari Harian Republika edisi 8 Desember 2013 dengan reportase oleh Nina Chairani dan foto-foto Agung Supriyanto.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Keindahan Bernama Tana Toraja

Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.

SELENGKAPNYA

Deretan Rumah Sakral Toraja

Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.

SELENGKAPNYA

Agungnya Kematian di Tana Toraja

Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.

SELENGKAPNYA