
Kitab
Pandangan Gus Dur Ihwal Islam dan Keislaman
Gus Dur sampai pada suatu kesimpulan, Islam yang dipikirkan dan dialami seseorang adalah sesuatu yang khas.
Kita mengenang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bukan “hanya” sebagai presiden keempat RI. Cucu pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyekh KH Hasyim Asy’arie, itu telah lama dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang cemerlang sebelum naik ke kursi RI-1. Bahkan, maslahat gagasan-gagasannya meluas bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga umumnya warga bangsa dan manusia.
Dalam konteks keumatan, salah satu legasi intelektualnya adalah buku ini: Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Bagi Gus Dur, tak ada “satu Islam.” Dalam buku ini, ia cenderung tidak hanya melihat agama Islam secara subjektif, tetapi juga objektif.
Gus Dur mengatakan, pengalaman seseorang dengan yang lain tidaklah sama. Maka dari itu, pemikiran yang berbeda-beda pun dapat mencuat. Alih-alih merasa inferior dan turut dalam keseragaman pikiran, menurut dia, seseorang seharusnya merasa bangga dengan pikiran yang cenderung berbeda. Sebab, konteks ruang dan waktu tiap orang atau generasi memang berlainan, tak bisa disamakan satu dengan lainnya.
Dari kenyataan itulah, Gus Dur sampai pada suatu kesimpulan. Islam yang dipikirkan dan dialami seseorang adalah sesuatu yang khas. Inilah yang kemudian diistilahkannya sebagai “Islamku.” Oleh karena itu, sambung dia, watak perorangan seperti demikian patut dipahami dan dihargai sebagai pengalaman pribadi. Memaksakan orang agar sepaham dengan pengalaman yang berbeda-beda adalah sia-sia belaka.

Namun, terkadang sebagian kalangan sering memaksakan kehendak. Mereka mengeklaim bahwa pendapat miliknya adalah yang paling benar. Mereka ingin menekankan kepada orang lain bahwa “Islamku”—yang “aku” pahami sebagaimana “pengalamanku” sejauh ini—adalah yang paling benar. Menurut Gus Dur, cara seperti ini tidaklah rasional.
Adanya “aku” mengandaikan eksistensi “kamu” atau “Anda.” Adapun istilah “Islam Anda” dimaksudkannya sebagai apresiasi. Dalam hal ini, Gus Dur mengajak sekalian Muslimin untuk menghargai tradisi, ritual atau adat keagamaan yang sudah hidup dan mengakar dalam masyarakat. Gus Dur memberikan satu contoh, yakni haul Sunan Bonang. Di Tuban, Jawa Timur, tradisi itu dilaksanakan setiap tahunnya.
Tanpa diundang, orang-orang selalu hadir ke acara haul tersebut, utamanya untuk mendengarkan uraian penceramah tentang sang wali songo. Menurut Gus Dur, tidak penting bagi mereka apakah Sunan Bonang pernah hidup atau jangan-jangan tokoh rekaan belaka. Dalam pandangan mereka, riwayat Sunan Bonang adalah realitas yang “tidak terbantahkan.”
“Kebenaran” yang diperoleh seperti itu didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal ini yang oleh Gus Dur disebut sebagai “Islam Anda.” Kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
Dialogis
Antara “aku” dan “Anda” tidak berdiri sendiri-sendiri. Ada hubungan dialogis antara keduanya. Atas dasar itu, ulama yang wafat pada 30 Desember 2009 itu memunculkan istilah “Islam Kita.”
Gagasan “Islam Kita” mencakup “Islamku” dan “Islam Anda.” Sebab, visinya mempertimbangkan tidak hanya masa depan Muslimin orang per orang, tetapi seluruhnya, di manapun berada. Melalui tulisannya, Gus Dur mengajak sidang pembaca untuk merumuskan langkah bersama demi masa depan “Islam Kita.”
Gus Dur mengajak sidang pembaca untuk merumuskan langkah bersama demi masa depan “Islam Kita.”
Untuk itu, pertama-tama ia menolak segala bentuk pemaksaan tafsir atas “Islam Kita.” Sebab, pemaksaan itu sendiri menafikan dialog yang seharusnya terjadi. Pemaksaan juga berarti menekankan penyeragaman “Islamku” atas seluruh orang.
Dalam konteks Indonesia, Gus Dur mencontohkan bentuk pemaksaan itu pada ideologi negara Islam atau “ideologi-Islam.” Segelintir pihak kerap kali memaksakan penerapan ideologi demikian di negeri ini. Di pelbagai kesempatan, suami Sinta Nuriyah ini juga kerap menyuarakan penolakan terhadap Islam sebagai ideologi negara, termasuk dalam soal Piagam Jakarta dan sebagainya.
Gus Dur sendiri berkeinginan untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan acuan formal dalam bernegara. Untuk kasus Indonesia, ia berkali-kali menyatakan, negara ini bukanlah milik golongan Islam saja. Indonesia merupakan negara yang majemuk. Menurut dia, kebinekaan itu mesti terus dirawat dan dijaga. Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila, meskipun bukan negara agama, termasuk kriteria negara damai sehingga harus terus dipertahankan.
Bahkan, Muslimin selaku mayoritas sudah seharusnya melindungi berbagai kaum minoritas di Tanah Air. Dan, Gus Dur tak sekadar mengimbau, melainkan juga turut terlibat langsung dalam perjuangan melindungi hak-hak minoritas hingga akhir hayatnya. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang besar. Islam tak akan kehilangan kebesarannya karena menghargai yang kecil. Bahkan, dengan melindungi kalangan minoritas, kebesaran Islam dapat ditunjukkan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Standar Seleksi Hakim MK Perlu Dievaluasi
Arsul Sani terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
SELENGKAPNYAPanduan Lengkap Berumrah
Buku karya Ustaz Abdul Somad (UAS) ini memuat pelbagai aspek tuntunan untuk ibadah umrah.
SELENGKAPNYAPLN Segera Melantai di Bursa Karbon
Saat ini Pertamina NRE menjadi satu-satunya penyedia unit karbon di IDXCarbon.
SELENGKAPNYA