
Khazanah
LPPOM MUI Pastikan Produk Berbahan Karmin Halal
Penetapan kehalalan produk adalah wewenang Fatwa MUI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Oleh FUJI EP
JAKARTA -- Direktur Utama Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muti Arintawati angkat bicara seputar adanya fatwa dari LBM NU yang mengharamkan produk berbahan karmin. Terlebih, Muti menjelaskan, ada produk hasil audit LPPOM MUI yang juga menggunakan bahan tersebut.
Menurut Muti, LPPOM MUI telah melakukan pemeriksaan untuk memastikan semua produk --termasuk berbahan pewarna alami karmin-- halal sesuai dengan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). "Atas dasar inilah Komisi Fatwa MUI memberikan fatwa halal dan BPJPH mengeluarkan sertifikat," tegas Muti lewat keterangan tertulis kepada Republika, Jumat (29/9/2023).

Muti menjelaskan, produk-produk yang memakai pewarna alami karmin juga sudah memiliki izin edar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat. "Dengan penjelasan ini, kami mengimbau kepada seluruh pihak untuk tidak lagi menyebarkan informasi simpang siur pewarna alami karmin,"ujar dia.
Menurut Muti, pewarna alami karmin (carmine) adalah pewarna merah yang biasa digunakan untuk pewarna makanan dan minuman juga kosmetika. Bahan ini berasal dari serangga cochineal yang hidup di tanaman kaktus. Serangga tersebut pun tidak hidup dari memakan najis.

Bahan baku tersebut juga sudah menjadi pembahasan dalam Fatwa MUI No 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal. Fatwa itu menyebutkan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Bahan aditif pangan yang berasal dari serangga, carmine atau karmin, dihukumi haram oleh Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU). Lembaga itu memutuskan, pewarna dengan bahan karmin hukumnya najis dan haram dikonsumsi. Karena itu, pewarna dengan bahan karmin tidak boleh digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman, perlengkapan make up, dan lainnya.
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, saat mengisi ceramah di haul ke-47 KH. Atqon Pondok Pesantren Mambaul Ulumayong pada Ahad (24/2023). Kiai Marzuki Mustamar yang juga pimpinan Pondok Pesantren Sabilirrosyad, Gasek, Malang, Jawa Timur, mengatakan bahwa LBM NU Jatim telah memutuskan tentang hukum penggunaan karmin.

Menurut Kiai Marzuki, serangga yang menjadi asal pigmen tersebut dibudidayakan di negara-negara Eropa. Setelah dipanen dan dikeringkan, serangga yang juga disebut kutu daun itu digiling untuk selanjutnya dijadikan campuran zat pewarna makanan olahan yang disebut carmine atau karmin. Kiai Marzuki mencontohkan, karmin biasanya digunakan pada makanan seperti es krim berwarna merah. Begitu pun dengan yoghurt berwarna merah yang biasanya menggunakan karmin. Makanan-minuman yang menggunakan karmin biasanya menyertakan keterangan kode E-120.
Fatwa tersebut juga sudah disikapi oleh Ketua Komisi Fatwa MUI KH Asrorun Niam Sholeh. Dia menegaskan, pihaknya menghargai pembahasan dan hasil keputusan LBM NU Jawa Timur terkait dengan hukum penggunaan Karmin untuk kepentingan pewarna makanan. Menurut dia, hal tersebut merupakan bagian proses ijtihad yang perlu dihormati.
"Pada hakikatnya, MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan, khususnya masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fikih," kata Kiai Niam melalui siaran pers yang diterima Republika, Kamis (28/9/2023).
Kiai Niam menambahkan, penetapan hukum MUI dan LBM NU berbeda karena perbedaan tashawwur masalah. MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detail jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sementara itu, LBM NU, jika dibaca dari hasilnya, menyebutkan hukum serangga secara umum.
Ia menjelaskan, pendekatan al-ihtiyath (hati-hati) dan al-khuruj min al-khilaf atau sedapat mungkin keluar dari perbedaan pandangan fuqaha. Hal ini bisa dilihat dari fatwa-fatwa MUI, khususnya yang saat ini sedang dibahas berkaitan dengan hasyarat atau serangga secara umum.
"Khusus terkait masalah pewarna hewan cochineal ini, MUI sebelum menetapkan fatwa, mengundang khusus ahli entomologi dari Departemen Proteksi Tanaman dan ahli bioinsektisida yang disertasinya khusus meneliti soal ini di Cardiff University Inggris, dan memberikan informasi utuh mengenai jenis hewan cochineal yang digunakan sebagai pewarna," jelas Kiai Niam.

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali juga menghargai keputusan LBM PWNU Jawa Timur. Meski demikian, Kiai Abdul Muiz menegaskan, penetapan kehalalan produk adalah wewenang Fatwa MUI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014."Fatwa MUI tersebut dikeluarkan secara independen dan sesuai dengan pedoman penetapan Fatwa MUI, termasuk di antaranya didahului dengan kajian-kajian yang melibatkan para pakar di bidangnya, untuk kemudian menjadi bahan dalam pembahasan fiqihnya," kata Kiai Muiz Ali.
Dalam kasus ini, Kiai Muiz Ali menjelaskan setelah dilakukan kajian mendalam, baik dari aspek sains maupun fiqih, diputuskanlah secara jama'i (kolektif) fatwa dengan hasil sebagaimana termaktub dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011. Kiai Muiz Ali menerangkan, sebagai salah satu masalah yang substansinya masuk dalam wilayah ijtihad, adalah dimungkinkan terjadinya perbedaan dengan hasil ijtihad lainnya tentang masalah dimaksud. Bahkan jika dirujuk sumber-sumber mu'tamad dari mazhab-mazhab fiqih, masalah yang sama juga tidak lepas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
"Terkait dengan perbedaan antara Fatwa MUI dengan hasil LBM PWNU Jawa Timur dalam masalah ini, kiranya dapat dilihat sebagai perbedaan hasil ijtihad. Masing-masing ada argumen dan hujjah yang mendasari, maka oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan berlebihan, dan hasil ijtihad tidak membatalkan satu sama lain," ujar Kiai Muiz Ali.
Kiai Muiz Ali mengatakan, sebagai perbandingan setidaknya ada dua lembaga fatwa luar negeri yang mengatakan bahwa cochineal itu halal. Sebagai catatan, jika diperhatikan ibarat-ibarat fikih pada keputusan LBM PWNU Jawa Timur, terlihat justru banyak argumen yang menguatkan tentang kehalalan cochineal tersebut.
"Dengan adanya perbedaan fatwa, masyarakat diharapkan dapat diberikan edukasi yang tepat dalam menyikapi perbedaan. Masing-masing pendapat dapat menjadi pilihan untuk diikuti, dan hendaknya tidak sampai menimbulkan keresahan," ujar dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Abu Hurairah dan Fatwa Nirbijak
Abu Hurairah beristighfar, merasa bersalah karena telah berfatwa tanpa terlebih dahulu konsultasi dengan Rasulullah SAW.
SELENGKAPNYAFatwa Haram LBMNU Jatim Soal Karmin Berbeda dengan MUI
MUI menilai fatwa LBMNU Jatim merupakan ijtihad yang harus dihormati
SELENGKAPNYALBMNU Putuskan Haram Konsumsi Karmin
Serangga yang menjadi asal pigmen tersebut dibudidayakan di negara-negara Eropa
SELENGKAPNYA