
Kisah
Latar Pertemuan Imam Ghazali dengan Guru Sufinya
Sebelum menerjunkan diri ke dunia tasawuf, Imam Ghazali sempat alami krisis spiritual-intelektual.
Imam al-Ghazali merupakan seorang mujadid atau pembaru yang masyhur dalam sejarah Islam. Perjalanan hidupnya diwarnai lika-liku. Mula-mula, pemilik nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusiy al-Ghazali itu menekuni dunia akademis. Bahkan, ia pernah menjabat guru besar di Universitas Nizamiyah, Baghdad.
Sebagai seorang ilmuwan, wajarlah bila ia cenderung mengandalkan pencerapan pengetahuan melalui penalaran maupun pembuktian empiris. Namun, pada akhirnya ia menjadi sangsi akan kedua metode epistemologis itu. Bahkan, ia kemudian mengalami krisis spiritual dan intelektual. Seperti diungkapkannya dalam Al-Munqidz Mina adh-Dhalal, enam bulan lamanya sang profesor mengalami kegelisahan batin.
Ia bimbang, apakah meneruskan posisinya sebagai pengajar ataukah berhenti. Sebab, al-Ghazali merasa sudah teranjur skeptis pada keandalan akal rasional dan metode empiris sebagai jalan menuju kebenaran. Satu-satunya pilihan yang terbuka lebar untuknya ialah jalan salik. Ia merasa perlu merasakan pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yang tercerahkan iman kepada Allah SWT. Tasawuf diyakininya mampu menghilangkan segala kesangsian yang dirasakannya.
Sejak 1905, Imam al-Ghazali meletakkan jabatan di Universitas Nizamiyah. Ia pun mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Meski harus beranjak dari kekayaan, pangkat, popularitas, dan segala pernak-pernik duniawi, perjalanan itu ditempuhnya dengan penuh ketenteraman hati.
Sebelum momen penting itu terjadi dalam hidupnya, al-Ghazali muda juga pernah bersinggungan dengan hikmah tasawuf. Kisahnya terekam dalam kitab Muid an-Ni’ami, dengan mengutip penuturan Imam Tajuddin as-Subki.

Dikisahkan, suatu hari Imam al-Ghazali memimpin shalat di sebuah masjid. Masyarakat setempat memang biasa menjadikannya imam dalam shalat wajib yang diselenggarakan di sana. Apalagi, rumah al-Ghazali tak jauh dari tempat ibadah itu.
Namun, adik Imam al-Ghazali yang bernama Ahmad mulai menyisihkan diri begitu melihat kakaknya itu menjadi imam shalat. Ia lebih suka meneruskan shalat secara sendirian (munfarid) daripada harus ikut menjadi makmum di belakang al-Ghazali.
Orang-orang mulai membicarakan hal itu. Bahkan, lama kelamaan muncul rumor tidak sedap tentang hubungan antara Imam al-Ghazali dan adiknya itu. Alhasil, sang imam pun merasa tidak nyaman. Ia menduga, Ahmad telah menganggap shalat yang dipimpinnya tidak sah. Padahal, dirinya merasa sudah menjalankan setiap syarat dan rukun shalat secara sempurna.
Suatu ketika, ia pun menceritakan kegundahan hatinya itu kepada ibunya. Sang ibunda lantas berjanji akan menyuruh Ahmad untuk turut menjadi makmum manakala al-Ghazali tampil sebagai imam shalat. Mendengar itu, ia pun bersuka cita karena orang tidak akan lagi menyebarkan desas-desus yang bukan-bukan.
Akhirnya, Ahmad bersedia untuk ikut shalat berjamaah di masjid yang diimami al-Ghazali. Orang-orang yang menyaksikannya sempat terkejut, tetapi kemudian tidak berkata apa-apa.
Bagaimanapun, di tengah shalat Ahmad justru membatalkan dirinya. Ia keluar dari shaf dan meneruskan shalat secara sendirian. Sesudah salam dan shalat selesai, beberapa jamaah pun mulai berbisik-bisik satu sama lain. Hati al-Ghazali kian gusar. Sesampainya di rumah, ia segera meminta penjelasan dari adiknya itu.
“Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku!? Apakah kamu menganggap shalat yang aku imami tidak sah?” tanya dia dengan nada tinggi.
Aku melihat pakaianmu berlumuran darah.
“Aku melihat pakaianmu berlumuran darah,” jawab Ahmad.
Al-Ghazali tidak mengerti maksud perkataan adiknya itu. Ia melihat dengan jelas, gamis yang dikenakannya bersih, tak ada noda sedikitpun.
Ia pun beranjak ke kamarnya dan kemudian berupaya menenangkan perasaannya. Tiba-tiba, ia tersadar bahwa belakangan ini sebelum shalat dirinya sering membuka-buka kitab tentang hukum fikih. Kebetulan, sesaat sebelum berangkat ke masjid tadi dirinya sempat membuka bab tentang bersuci (thaharah). Malahan, saat sedang mengimami shalat tadi pun pikirannya terbersit pada soal hukum darah haid.
Al-Ghazali segera keluar dari kamarnya dan menjumpai adiknya itu untuk meminta maaf. “Bagaimana mungkin kamu bisa mengatahui apa yang aku pikirkan tadi saat menjadi imam shalat?” tanya dia
Ahmad menjawab, “Aku berguru kepada seorang ulama yang tidak terkenal di pinggiran kota. Namanya, Syekh al-Utaqy. Dia orang alim, tetapi sehari-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu di toko dekat pasar.”
Karena penasaran, al-Ghazali pun pergi untu menemui orang alim tersebut. Sesampainya di bangunan pertokoan pasar yang dimaksud, ia pun berhasil menemukan Syekh al-Utaqy.
“Izinkanlah aku untuk menjadi muridmu,” pintanya.
“Aku kira, kamu tidak akan sanggup mengikuti perintahku,” jawab al-Utaqy.
“Insya Alllah aku bisa melakukannya,” kata al-Ghazali lagi.
Guru adiknya itu akhirnya menerimanya. Al-Ghazali lantas diperintahkan untuk membersihkan kotoran yang ada di lantai dengan tangannya.
Meskipun sempat merasa aneh, ia tetap mematuhi perintah sang ulama yang juga salik itu. Saat akan mengambil kotoran tersebut, Syekh al-Utaqy tiba-tiba mencegahnya, lalu menyuruh al-Ghazali agar pulang.
Setibanya di rumah, Imam al-Ghazali semakin heran terhadap pelajaran pertama yang diajarkan syekh tersebut. Akan tetapi, ia akhirnya mendapatkan ilham tentang tindakan al-Utaqy. Sang sufi hendak mengisyaratkan agar dirinya membersihkan hati terlebih dahulu sebelum mengurus apa-apa yang tampak dalam pandangan mata.
Sang sufi hendak mengisyaratkan agar dirinya membersihkan hati terlebih dahulu sebelum mengurus apa-apa yang tampak dalam pandangan mata.
Mulai saat itu, Imam al-Ghazali terus berguru kepada Syekh al-Utaqy. Ia merasa terpanggil untuk menyelami lebih dalam ilmu tasawuf.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Pintar-Pintar Jaga Diri Ketika Menggunakan Whatsapp
Cara terbaik untuk menghindari penipuan WhatsApp adalah dengan berhati-hati terhadap pesan apa pun yang diterima
SELENGKAPNYATamparan Umar untuk Fatimah Berlanjut Menuju Hidayah
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan berdarah, timbul penyesalan dan rasa malu dalam hati Umar
SELENGKAPNYAEkspresi Pilihan Politik ASN yang Terbatas di Bilik Suara
ASN tak boleh terlibat atau jadi alat politik untuk memenangkan kandidat tertentu.
SELENGKAPNYA