
Nasional
‘Orang Dalam’ DPR yang Jadi Hakim Konstitusi Persoalkan Kewenangan MK
Komisi III DPR menyepakati nama Arsul Sani menjadi calon hakim konstitusi.
JAKARTA – Komisi III DPR telah menyepakati nama Arsul Sani menjadi calon hakim konstitusi menggantikan Wahiduddin Adams. Namun, dalam pemaparan makalahnya di uji kelayakan dan kepatutan, Arsul justru mengkritik kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili gugatan terhadap Undang-Undang MK, yang terkait kepentingan lembaga tersebut.
Menurut dia, kewenangan tersebut menjadi persoalan dan melanggar asas nemo judex in causa sua atau tidak boleh ada yang menjadi hakim untuk perkaranya sendiri. Tegasnya, hakim konstitusi tidak boleh mengadili gugatan yang memiliki kepentingan terkait kepentingan langsung maupun tidak langsung.
"Dalam UU 48/2009 Pasal 17 ayat 5, asas nemo judex in causa sua dicerminkan dalam ayat tersebut yang berbunyi, 'Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila dia memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang ditangani,'" ujar Arsul dalam uji kelayakan dan kepatutan yang digelar Komisi III, kemarin.

Persoalan terkait asas nemo judex in causa sua di MK pertama kali terjadi pada 2006. Saat itu, sebanyak 31 hakim agung meminta MK untuk memutuskan bahwa Komisi Yudisial (KY) tak memiliki kewenangan mengawasi hakim agung Mahkamah Agung (MA) dan hakim konstitusi MK.
Dalam perkara tersebut, MK menyatakan, mereka tidak punya dasar konstitusional untuk menyatakan KY tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim agung. Namun, di sisi lain, MK justru menyatakan bahwa KY tak memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim konstitusi.
Dalih MK saat itu, mereka berpatokan pada asas ius curia novit yang artinya hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara. Hal tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Dalam putusan itu juga MK menyatakan bahwa asas nemo judex in causa sua hanya berlaku untuk MA dalam perkara perdata dan perkara pidana, tapi tidak berlaku untuk perkara konstitusional yang sifat putusannya adalah erga omnes atau mengikat publik," ujar Arsul.

"Ini perlu jalan tengah, dalam paper yang saya sampaikan untuk mengatasi benturan antara dua asas, asas nemo judex in causa sua di satu sisi dan asas ius coria novit di sisi lain. Maka, hemat saya, pembentuk undang-undang perlu mengatur dalam RUU perubahan atas UU MK," sambung anggota Komisi II dan Wakil Ketua MPR itu.
Komisi III diketahui telah menyepakati memilih Arsul menjadi hakim MK yang menggantikan posisi Wahiduddin Adams. Ketua Komisi III Bambang Wuryanto menjelaskan sejumlah alasan mengapa pihaknya memilih wakil ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Alasan pertama adalah kekecewaan Komisi III terhadap MK yang kerap mengabulkan gugatan untuk membatalkan sebuah undang-undang yang sudah dibahas dan disahkan oleh DPR. Padahal, selama proses pembahasannya, undang-undang tersebut sudah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Kita tidak pernah diajak (MK) bicara, tiba-tiba dibatalkan, padahal kita kerjakan, dibatalkan. Kenapa? Karena, mohon maaf, karena tidak ada satu pun yang punya profesi sebagai DPR, memahami SOP yang ada di DPR. Itu salah satu pertimbangan beberapa kawan tadi yang memilih Arsul Sani dan juga memang menguasai S-1 juga di hukum dan juga di DPR," ujar Bambang.

Perlu diketahui, MK sebagai cabang yudikatif pemerintah semestinya bekerja secara independen dari DPR yang merupakan lembaga legislatif. Yang disarankan Wuryanto, bisa dianalogikan seorang hakim pidana berkonsultasi dengan terdakwa soal vonis yang bakal dijatuhkan.
Saat diuji kelayakan, Arsul Sani memang menyanggupi hal tersebut. "Mendiskusikan di ruang tertutup karena ada dampak-dampak yang negatif, itu menurut saya bukan hal yang terlarang, Sama kok seperti kita, DPR melakukan eksaminasi terhadap putusan. Paling tidak mendengarlah, tidak kemudian bikin komitmen (dengan DPR)," ujar Arsul.
Arsul berjanji akan melepaskan semua jabatannya di DPR, MPR, dan PPP. "Di UU MK itu disebutkan bahwa hakim MK itu tidak boleh menjadi anggota parpol dan tidak boleh menjadi pejabat negara. Ya, itu memang harus ditaati. Ya sudah, kita terima," ujar Arsul.
Mendiskusikan di ruang tertutup karena ada dampak-dampak yang negatif, itu menurut saya bukan hal yang terlarangARSUL SANI, Calon Hakim MK.
Kini, tujuannya di MK adalah untuk membuat lembaga tersebut menjadi lebih baik ke depan. Meski ia berasal dari Komisi III, ia menjanjikan independensinya dan tak mengedepankan ego sektoral dalam menjabat posisi terbarunya sebagai hakim konstitusi.
"Tidak kemudian masing-masing menunjukkan ego sektoral atau ego sentralnya masing-masing dan keinginan. Saya mudah-mudahan bisa berkontribusi agar kemudian tidak ada ketegangan-ketegangan antarlembaga negara yang terjadi," ujar Arsul.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
DPR Taruh Orang Dalam di Mahkamah Konstitusi
Aesul Sani sepakat MK konsultasi ke DPR sebelum jatuhkan putusan.
SELENGKAPNYAHarapan Acep Pupus di Sawah yang Retak
Tak ada lagi yang bisa dilakukan Acep sebagai petani selama tiga bulan terakhir.
SELENGKAPNYASeberapa Penting Kehadiran Bursa Karbon untuk Lingkungan?
Dengan bursa karbon, korporasi dapat membuat komitmen pengurangan karbonnya menjadi lebih bernilai.
SELENGKAPNYA