
Dunia Islam
Menengok Tradisi Gamelan Sekati
Perangkat gamelan ini dibunyikan dalam rangka menyambut Sekaten atau Maulid Nabi.
Perangkat gamelan ini dimainkan para abdi dalem Keraton Yogyakarta untuk menyambut Sekaten.Para mubaligh yang disebut Wali Sanga berperan besar dalam Islamisasi tanah Jawa. Dalam menyebarkan syiar Islam, mereka melakukan pendekatan yang membumi. Dalam arti, tidak menafikan akar tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat.
Sebagai contoh, seorang dari mereka yakni Sunan Kalijaga. Ia merumuskan dan menerapkan gagasan untuk memperkenalkan Islam dengan menggunakan laku tradisi lokal. Misalnya, upacara keselamatan yang biasa diadakan pihak kerajaan-kerajaan Hindu Jawa.
Upacara tersebut, menurut Sunan Kalijaga, perlu diadakan lagi, tetapi dengan diberi muatan ajaran Islam. Inilah cikal bakal tradisi Sekaten. Nama itu merujuk pada syahadatain, yakni istilah dalam bahasa Arab yang berarti ‘persaksian dengan dua kalimat.’ “Asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah,” ‘aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.’
Untuk menarik perhatian masyarakat non-Muslim setempat, Sunan Kalijaga meletakkan dua perangkat gamelan di dekat Masjid Agung. Ketika kedua alat itu ditabuh, rakyat bergembira karena mengira ada upacara keagamaan yang selama ini mereka pahami. Sebelumnya, sejak Raden Patah berkuasa instrumen-instrumen tersebut dilarang dibunyikan.
AM Susilo Pradoko dalam artikelnya yang terhimpun dalam Proceeding Kebinekaan dan Budaya menggambarkan suasana pada waktu itu. Rakyat yang datang berbondong-bondong pada upacara versi Sunan Kalijaga itu akhirnya mendengarkan dakwah. Sebab, lirik syair yang mengiringi tabuhan gamelan serta jalan cerita wayang yang disajikan memang mengandung muatan syiar Islam.
Sebagian dari mereka kemudian tertarik masuk Islam. Orang-orang itu lalu dibimbing untuk mengucapkan syahadatain. Namun, tidak sedikit yang datang dalam upacara tersebut merasa kecewa karena yang disaksikannya bukan murni tradisi Hindu-Buddha. Yang demikian itu lantas kembali ke rumahnya sambil bersungut-sungut.
Menurut Pradoko, metode dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga cukup berhasil dalam memperkenalkan ajaran Islam. Memang, tujuannya bukanlah bahwa seluruh masyarakat menjadi Muslim. Sebab, Alquran sendiri menegaskan, tidak ada paksaan dalam beragama (QS al-Baqarah: 256).

Di Yogyakarta, tradisi islami yang membawa spirit dakwah Sunan Kalijaga masih dapat dijumpai hingga kini. Hal itu ditandai dengan keberadaan gamelan-gamelan di area pagongan kompleks Masjid Gedhe Kauman. Terdapat kelompok instrumen yang tersimpan dengan baik di sana, yaitu Gamelan Kanjeng Kiai Sekati atau Gamelan Sekaten.
Dinamakan demikian karena pengoperasiannya dilakukan menjelang Festival Sekaten. Acara rutin tahunan itu diselenggarakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Rangkaian perayaan berlangsung mulai tanggal 5 hingga 12 bulan Mulud dalam kalender Jawa-Islam—seiring dengan bulan Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah.
Beberapa hari sebelum hari H Maulid Nabi SAW, para abdi dalem telah mulai Keraton Yogyakarta mulai menabuh Gamelan Sekaten. Mereka secara bergantian melakukannya hingga tujuh hari ke depan, sebagai penanda peringatan Maulid. Seperti pada zaman Sunan Kalijaga dahulu, tradisi tersebut pun menarik khalayak ramai. Mereka dengan penuh saksama menonton dan menyimak alunan nada dari kelompok instrumen-instrumen tersebut.

Gangsa Sekati
Seperti dilansir dari laman Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kesultanan Yogyakarta memiliki sekitar 21 perangkat gamelan. Mereka dikelompokkan menjadi dua, yakni Gangsa Pakurmatan dan Gangsa Ageng. Yang pertama dimainkan untuk mengiringi upacara adat keraton. Adapun yang kedua dibunyikan sebagai pengiring pergelaran seni budaya kerajaan.
Gangsa Pakurmatan terdiri atas Kanjeng Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, Gangsa Carabalen, Kanjeng Kiai Guntur Madu, dan Kanjeng Kiai Nagawilaga. Dua yang tersebut akhir itulah Gamelan Kanjeng Kiai Sekati atau Gangsa Sekati. Pusaka tersebut khusus dimainkan pada saat perayaan Sekaten.
Sebelum adanya Perjanjian Giyanti, Gangsa Sekati sudah menjadi milik Kerajaan Mataram Islam. Baik Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu maupun Kanjeng Kiai Guntur Sari dibuat pada era Sultan Agung (1613-1645), tepatnya pada 1566 J atau 1644 M.
Sebagai bagian dari Perjanjian Giyanti, kedua kelompok instrumen itu dibagi masing-masing kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Yogyakarta mendapat Kanjeng Kiai Guntur Madu, sedangkan Surakarta memperoleh Kanjeng Kiai Guntur Sari.
Untuk mengembalikan Gangsa Sekati pada kelengkapan semula, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) membuat duplikat (putran) Kanjeng Kiai Guntur Sari yang diberi nama Kanjeng Kiai Nagawilaga.

Karena Kanjeng Kiai Guntur Madu lebih tua, setiap kali Sekaten berlangsung, gamelan tersebut selalu diletakkan di Pagongan Kidul, sebelah kanan tempat Sultan duduk di Masjid Gedhe. Kanjeng Kiai Nagawilaga dianggap lebih muda. Karena itu, kelompok instrumen tersebut diletakkan di Pagongan Lor.
Kedua perangkat gamelan itu selalu dipersiapkan secara cermat oleh para abdi dalem Keraton. Dengan begitu, penabuhan dapat berlangsung dengan baik selama masa Sekaten. Bahkan, sebelum hari H mereka tidak hanya memeriksa dua kelompok instrumen itu, tetapi juga membersihkannya (jamas).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Keliru Cara Jinjing Laptop, Berujung Bahaya Bagi Tubuh
Hindari menyeimbangkan laptop dengan satu tangan.
SELENGKAPNYAModifikasi Cuaca, Bukan Membuat Hujan
Meski orang mengenal dengan hujan buatan, tetapi BRIN tidak bisa membuat hujan.
SELENGKAPNYAbjb Kredit Usaha Rakyat, Lahirkan Brand MB Kopi Luwak ala Mas Budi
Temukan kesehatan alami dengan secangkir kopi luwak.
SELENGKAPNYA