Asma Nadia | Republika

Resonansi

Flexing, Korupsi, dan HAKI

Yang membuat kita mengurut dada ketika korupsi dan flexing dikaitkan dengan IPR atau HAKI.

Oleh ASMA NADIA

Di dunia lain mungkin tiga kata ini flexing, korupsi, dan HAKI tidak saling berhubungan. Namun di Indonesia uniknya, semua bisa terkait erat dan sering menjadi berita yang kelucuannya membuat kita mengelus dada.

Flexing bisa dikatakan kosa kata yang baru populer akhir-akhir ini pemakaiannya. Kamus online dictionary.cambridge.org menulis flex adalah kata kerja yang berarti behave proudly atau berperilaku bangga atau berbangga.

Sedangkan flexing adalah slang (bahasa informal) yang berarti: to show that you are very proud or happy about something you have done or something you own, usually in a way that annoys people (menunjukkan bahwa kamu bangga atau bahagia terhadap sesuatu yang biasanya membuat orang terusik). Dalam bahasa Indonesia informal, flexing bisa dipadankan dengan kata mamer atau memamerkan.

HAKI atau IPR adalah intellectual property rights yang biasa dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai HAKI. Merek dagang yang populer sangat menjaga HAKI-nya karena jenama tersebut mempunyai nilai mahal.

Korupsi, kita semua tahu. Kurang lebih bisa dianggap sebagai perilaku mengambil uang atau manfaat atas sesuatu dengan cara tidak halal dengan menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan.

Umar bin Khattab mengatakan, kalau ada pejabat mengambil uang di luar gaji dan mengambil manfaat pribadi atas wewenangnya itu korupsi. Umar bin Abdul Aziz bahkan menganggap kalau kita melakukan hal pribadi di kantor, pakai lampu kantor misalnya, bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang.

Lalu apa hubungannya? Di peradaban lain mungkin sulit menghubungkan satu dan lainnya, tapi di Indonesia ternyata tidak.

Misalnya, korupsi dan flexing. Pada tatanan norma umum, orang yang korupsi harusnya malu. Berusaha keras menyembunyikan hasil korupsinya dari pandangan publik dan menyimpan kekayaannya secara rahasia.

 
Pada tatanan norma umum, orang yang korupsi harusnya malu. Berusaha keras menyembunyikan hasil korupsinya dari pandangan publik dan menyimpan kekayaannya secara rahasia. Namun tidak di Indonesia. Orang yang kaya raya dari hasil korupsi tanpa ragu memamerkan kekayaan tak wajarnya.
 
 

Namun tidak di Indonesia. Orang yang kaya raya dari hasil korupsi tanpa ragu memamerkan kekayaan tak wajarnya.

Aparat atau PNS dengan gaji upah minimum regional (UMR) lebih sedikit bisa dengan terbuka menunjukkan rumah mewah, mobil mewah, atau menyatakan kegiatan atau hobi mahal, di hadapan publik. Pejabat lebih tinggi memamerkan berbagai hal yang lebih mencengangkan.

Mobil supermewah, jam tangan berharga miliaran, rumah dengan lift, istri mereka menjinjing tas ratusan juta, atau mengenakan sepatu puluhan juta, dan berbagai barang mewah lainnya. Padahal gaji mereka, sekalipun terbilang besar, tapi di atas kertas mustahil bisa memenuhi itu semua.

Seandainya mereka punya latar belakang pengusaha mungkin saja bisa menjadi penjelasan. Kenyataannya sebagian pejabat hanya mempunyai sumber penghasilan resmi dari gaji, tetapi bisa membayar semua kemewahan dalam hidupnya.

Yang membuat kita mengurut dada ketika dua kata di atas, korupsi dan flexing, dikaitkan dengan IPR atau HAKI. Apa pula hubungannya?

Ketika publik mulai menghujat bahkan mempertanyakan bagaimana para pejabat publik itu bisa sedemikian kaya raya dan hidup berlimpahan barang mewah hanya mengandalkan gaji, beramai-ramai mereka menggunakan isu pelanggaran HAKI sebagai tameng.

“Ini bukan tas mahal, ini barang palsu!”

“Ini bukan jam mahal, ini jam palsu!”

“Ini bukan sepatu mahal, ini sepatu palsu.”

Untuk lebih meyakinkan, kadang disertai tindakan dramatis. Membuang sepatu, membanting jam, merusak baju atau tas, hanya demi meyakinkan publik kesemuanya tak lebih dari barang palsu. Sungguh sebuah lelucon yang tak lucu.

Demi menghindari isu korupsi, mereka dengan terang benderang, secara berani menunjukkan telah melanggar Undang Undang Hak Cipta. Karena tidak ada celah melepaskan diri dari keduanya, seolah berkata, jika harus memilih salah satu pelanggaran hukum, lebih baik pilih yang lebih ringan.

Ada satu kata lagi yang sebenarnya terkait, yaitu penipuan. Jika pejabat flexing untuk berbangga di pergaulan, pengusaha melakukan flexing sebagai bagian marketing dan branding.

Mereka percaya pameran itu perlu untuk memotivasi. Walau kenyataan dalam beberapa kasus, yang bilang punya pesawat pribadi ternyata cuma sewa, yang bilang punya gedung ternyata milik orang lain, yang bilang pemilik saham besar ternyata namanya tidak ada di akta, dan lebih buruk lagi yang mengajak berbisnis ternyata bisnisnya tipu-tipu.

Ini sedikit penggalan fenomena pahit yang ada di Indonesia. Koruptor yang berbangga diri dengan hasil korupsinya, dan pebisnis yang memamerkan kekayaan demi menjaring korbannya.

Menghadapi ini sedikitnya ada tiga tugas kita. Pertama, mengawasi dan mengkritik para koruptor. Jangan melarang mereka menunjukkan gaya hidup mewah. Sebab, tanpa mereka memamerkannya akan sulit bagi mata umum mendeteksi tindakan korupsi yang dilakukan.

Biarkan para koruptor berbondong-bondong memamerkan kekayaan, sehingga semakin mudah terpeleset dalam radar publik.

Kedua, jangan mengikuti pola hidupnya. Terlebih, jangan jadi bagian dari perilakunya.

Ketiga, jangan sampai menjadi korbannya.

Adakah hal lain yang masih bisa dilakukan sebagai langkah terakhir? Barangkali berdoa lebih giat untuk wajah Indonesia yang lebih baik.

Para pejabat yang lebih bermartabat, yang bangga bukan pada apa yang berhasil mereka kuras dari Indonesia, tapi atas apa yang berhasil mereka berikan bagi Tanah Air tercinta.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ummu Dardah, Pinjaman Dua Kebun Kurma Berbuah Surga

Ummu Dardah meletakkan Allah dan Rasulullah di atas diri dan keluarga.

SELENGKAPNYA

Shalawat Badar, Jalan Jihad Ulama Jawa Melawan PKI

Habib Ali Kwitang mengajak agar Shalawat Badar dipopulerkan sehingga dapat menyaingi lagu “Genjer-Genjer”.

SELENGKAPNYA

Rihlah Sejarah Masjid Cut Meutia

Bangunan Masjid Cut Meutia berdiri sejak zaman penjajahan Belanda.

SELENGKAPNYA