Opini
Mengakhiri Kekuasaan secara Husnul Khatimah
Oleh ENZEN OKTA RIFAI; Alumni International University of Africa, Republik Sudan
Kelihaian rezim Orde Baru yang memelintir Pancasila sebagai alat pembonceng untuk berkuasa, telah melahirkan sistem kekuasaan baru yang menggeser kepemimpinan Presiden Sukarno. Padahal sejatinya, Sukarno bukanlah pemimpin yang layak digulingkan secara tak bertanggung jawab.
Namun kemudian, meskipun Orde Baru berhasil memuluskan jalan Soeharto ke tampuk kekuasaan, perwujudan Pancasila sebagai ajaran dan dasar negara, tidak bakal ternoda oleh ulah-ulah tangan licik yang bersikeras memperalatnya. Peter Dale Scott, seorang penyair dan Guru Besar Sastra di Universitas Berkeley, secara terang-terangan menyatakan kekagumannya kepada Sukarno selaku pencetus Pancasila sebagai alat pemersatu segenap bangsa.
Dalam buku 100 Tahun Bung Karno, Sebuah Liber Amicorum (Hasta Mitra, 2001) ditegaskan perihal kepiawaian Sukarno dalam menerapkan kepemimpinan dan kharisma pribadinya yang sanggup menghadapi segala tantangan besar dari kekuatan neokolonialisme, hingga klik kekuasaan Angkatan Darat di negeri sendiri.
Berkat pidato Pancasila sejak tahun 1945, Indonesia telah mampu menghindari perpecahan antara kekuatan religius dan sekuler. Pancasila telah berhasil menyatukan kekuatan nasionalisme, humanisme, dan demokrasi permufakatan dengan teguh beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Dengan cara inilah, Sukarno memberlakukan toleransi kemanusiaan di suatu negeri yang didominasi umat Islam, suatu prestasi membanggakan yang tetap valid, walaupun sering menghadapi cobaan dan tantangan berkali-kali hingga detik ini. Meski begitu, patutlah dicatat bahwa dalam kenyataannya Indonesia tidaklah ada duanya bila dibandingkan negeri-negeri Muslim lainnya di dunia manapun.
Patutlah dicatat bahwa dalam kenyataannya Indonesia tidaklah ada duanya bila dibandingkan negeri-negeri Muslim lainnya di dunia manapun.
Pencetusan Pancasila hingga disahkannya selaku ajaran dan dasar negara adalah suatu fitrah dan "nur-ilahi" bagi soliditas dan kesetiakawanan manusia Indonesia. Perubahan dari tujuh kata menjadi empat yang dipelopori Mohamad Hatta sungguh merupakan keputusan dari pemikirian yang brillian.
Tujuh kata yang berisi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya", kemudian diubah menjadi empat kata "Ketuhanan Yang Maha Esa", hal tersebut membuktikan keberanian dan kebesaran jiwa Hatta sebagai Muslim yang saleh, sekaligus berwawasan universal.
Dari ribuan kiai, ulama, dan habaib, khususnya di Ibu Kota Jakarta, barangkali ada yang “mendongkol” dan mengumbar desas-desus, hingga menyudutkan Hatta sebagai bapak bangsa yang keblinger. Tetapi, tentu saja nalar dan akal sehat manusia Indonesia mesti menyadari bahwa negeri ini bukanlah dimerdekakan oleh jasa-jasa perjuangan segelintir orang. Namun, meliputi keterlibatan semua pihak dari unsur nasionalis yang sekuler, religius, bahkan dari unsur sosialisme dan komunisme juga.
Lalu, tokoh agama dan mubaligh mana yang berani macam-macam menuduh Mohamad Hatta sebagai pengkhianat Islam, kecuali si pelakunya akan dinobatkan sebagai “oknum ulama” oleh bangsa yang majemuk ini. Di sini juga menunjukkan betapa visionernya pandangan Hatta ke depan, sebagai bapak nasionalis-Muslim yang konsisten berpikir dalam konteks persatuan-kesatuan, dan karenanya telah menyelamatkan Islam dalam arti yang lebih substantif dan komperhensif.
Validitas Pancasila
Ketuhanan Yang Mahaesa, sebagai poin yang kemudian disepakati semua pihak seakan menunjukkan nilai tauhid yang kelak menciptakan benteng pengamannya sendiri. Ia telah sanggup memberikan point of no return, tak mengenal kata mundur, melainkan maju terus bersama cita-cita luhur persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk itu, jika salah satu unsur dari kesatuan bulat Nasakom --sebagai penjabaran Pancasila-- telah dilanggar atau dikhianati, sesungguhnya Pancasila-nya tetap utuh dan kukuh, tidak bakal goyah. Tetapi, justru unsur yang melanggar dan mengkhianati itulah yang bakal tumbang dengan sendirinya.
Bila salah satu unsur berkhianat, dengan sendirinya ia telah keluar dari jalur-jalur Pancasila, baik nasionalisnya, komunisnya hingga agamisnya sekalipun. Di situlah letak kebesaran, ketangguhan, dan kemuliaan gagasan Pancasila sebagai “nur-ilahi” yang menjadi hadiah dan hidayah bagi bangsa ini.
Sama halnya dengan ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad atau Nabi Isa (Islam dan Kristen). Apabila seorang penganutnya telah menyimpang dan berpaling (atau seenaknya menafsirkan) dari prinsip ajaran agama yang luhur, maka nilai-nilai Islam dan Kristen takkan ternoda, bahkan Muhammad dan Isa sebagai pembawa risalah tetap mulia di mata sejarah. Akan tetapi, si penganut yang menyimpang itulah yang akan terpelanting dari ruh-ruh esensial keberagamaan yang baik dan benar.
Warisan korupsi
Fasisme Hitler di Jerman hanya memakan waktu 12 tahun untuk menyelenggarakan cuci-otak, yang kemudian diakui dan disadari bangsanya sebagai suatu kekhilafan dan kealpaan, dan karenanya sanggup membangkitkan diri dari puing-puing reruntuhan akibat ulah penguasanya sendiri.
Tetapi, waktu 32 tahun indoktrinasi yang melumpuhkan sendi-sendi pemberdayaan manusia, tentulah bukan masa yang sebentar untuk dapat segera bangkit dari reruntuhan peradaban itu. Pada prinsipnya, setiap rezim fasis militer yang jatuh, pasti meninggalkan sampah-sampah busuk yang harus disapu bersih. Karena bagaimanapun, kita tidak menginginkan bangunan Indonesia Baru yang didirikan di tempat sampah, pada saat sampah-sampah itu belum dibersihkan dengan sebaik-baiknya.
Pada prinsipnya, setiap rezim fasis militer yang jatuh, pasti meninggalkan sampah-sampah busuk yang harus disapu bersih.
Memang, perangkat-perangkat fasisme yang digelar selama belasan tahun di Jerman, dan telah menciptakan mesin-mesin pewaris kejahatan (korupsi) di segala bidang, pada akhirnya telah dibongkar habis, bahkan dibersihkan oleh keberanian dan kebesaran jiwa bangsanya sendiri. Semuanya digelar melalui proses pengadilan yang adil dan demokratis, tanpa sikap anarkis yang mengumbar dendam dan kedengkian.
Jadi, proses kemunculan peradaban baru yang mendewasakan, bukanlah sejenis tambal sulam, berikut gradasi macam-macam dengan menamakan diri Orbaba, Orde Baru Jilid Dua, atau Partai Kuning Keemasan, yang pada prinsipnya mengamankan jaminan kapital mereka (status quo). Bukankah seekor musang tetap saja berperilaku musang, meskipun bulunya telah berubah, atau bahkan memakai serban dan jubah putih kearab-araban?
Tapi pada dasarnya, jika meminjam istilah Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia bahwa, “Orde yang diawali dengan memanfaatkan kekerasan sejak perebutan kekuasaan di ibu kota Jakarta, hingga menggulingkan pemimpin dan bapak bangsa yang humanis itu, telah mengakhiri kekuasaannya sejak 1998 yang disertai dengan berbagai macam kekerasan pula.”
Sekarang persoalannya bagaimana kita? Mau ke mana kita generasi baru milenial, yang telah digenangi oleh warisan dan longsoran peradaban dan budaya kekerasan ini?
Kini, sangatlah penting bagi kita untuk bercermin dan meneladani jejak-langkah para bapak bangsa, Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan seterusnya, yang telah memberikan warisan keutuhan pada persatuan dan kesatuan agar bangsa ini tak lagi mengkhianati salah satu unsur yang disepakati sebagai warisan peradaban dan hikmah yang terkandung dari ajaran leluhur Nusantara sejak berabad-abad silam.
Perlu ditegaskan sekali lagi, ketika Orde Baru telah mengkhianati salah unsur kebulatan tekad pada dasar negara kita (Pancasila), juga telah mengingkari teladan bapak bangsa kita, maka mereka akan senantiasa berhadap-hadapan dengan kesepakatan bangsanya sendiri.
Untuk itu, meminjam kata-kata bersayap dari penulis novel Pikiran Orang Indonesia, jika pemimpin Indonesia tidak konsisten mengamalkan kesederhanaan dan kezuhudan para bapak bangsa, niscaya mereka akan kembali menjadikan kebodohan dan ketakutan rakyat sebagai komoditas politik semata.
Jadi pada prinsipnya, dari pihak manapun yang memimpin bangsa dan negeri ini (baik nasionalis, agamis maupun sosialis-marxis), jika ia berkhianat atau mengkhianati salah satu unsur dari keluhuran dan kemuliaan Pancasila, kelak akan terjengkang dari kekuasaan tanpa disertai husnul khatimah (happy ending), sebagaimana rezim Orde Baru pernah mengalaminya sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Habituasi Membaca
Kecintaan terhadap literasi baca atau pustaka bukan semata warisan genetik.
SELENGKAPNYABahasa Dalam Ruang Hukum
Kesulitan proses hukum akan terjadi dalam proses pemaknaan bahasa.
SELENGKAPNYAMemahat Mimpi di Indonesia demi Palestina
Amin al-Nawajha akan kembali ke Gaza setelah 13 tahun belajar di Indonesia.
SELENGKAPNYA