
Wawasan
Memahat Mimpi di Indonesia demi Palestina
Amin al-Nawajha akan kembali ke Gaza setelah 13 tahun belajar di Indonesia.
Di sebuah restoran khas Palestina di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, seorang ayah bersama empat anaknya sedang menikmati hidangan. Amin al-Nawajha, nama ayah itu, memesan lima menu utama yang seragam berupa nasi biryani dengan ayam rempah. Segarnya jus mangga ikut menemani perjamuan malam itu.
Amin bersama beberapa relawan kemanusiaan dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) sedang merayakan malam terakhir mereka di Indonesia. Setelah 13 tahun tinggal di Malang dan Jakarta, Amin akan kembali ke tanah airnya di Gaza, Palestina.

Amin telah menempuh studi magister dan doktoral di bidang neurosains di Universitas Brawijaya, Malang. Mereka akan pulang ke Palestina pada Senin (18/9/2023). Sebelumnya, istri dan anak tertuanya sudah terlebih dahulu terbang ke Kuala Lumpur untuk pulang ke Palestina. Demi tiket murah, Amin sekeluarga akan menempuh penerbangan dengan tiga kali transit. Di Kuala Lumpur (Malaysia), Miskat (Oman), dan Kairo (Mesir). Dari Mesir, keluarga ini akan menempuh jalur darat untuk ke perbatasan Rafah agar bisa kembali memasuki Gaza.
Banyak cita yang ingin dia gapai setelah tiba di negerinya yang masih diblokade. Amin ingin ilmunya berguna bagi rakyatnya. Berikut perbincangan Amin bersama dengan wartawan Republika, Achmad Syalaby Ichsan, pada Ahad (17/9/2023) lalu seputar upayanya memahat mimpi di Indonesia demi rakyat Palestina.
Bagaimana Anda pertama kali datang ke Indonesia?
Peristiwa ini terjadi tahun 2010. Saya dikenalkan sama relawan BSMI Pak Basuki (Prof Dr dr SpOt Basuki Supartono), Bu Prita (dr Prita Kusumaningsih SpOG), Pak Jazuli (Jazuli Ambhari), Pak Rudi (Muhammad Rudi). Waktu itu sudah masuk ke Gaza, saya dapat beasiswa dari BSMI. Karena waktu itu visa saya sulit keluar, tapi saya dibawa keluar oleh relawan BSMI. Mereka bisa karena relawan kemanusiaan.
Kami ke Mesir, setelah itu tinggal satu-dua hari, kemudian berangkat ke Kuala Lumpur, setelah itu berangkat ke Jakarta. Saya diterima keluarga dan staf BSMI di bandara, disiapkan rumah buat saya dan keluarga. Waktu itu ada dokter Moin (dr Moin Al Shurafa SpAn) pergi dari Gaza, kami bareng (dapat beasiswa).
Saya kemudian mengajukan proses pendaftaran untuk mahasiswa. Saya mendapat pendidikan bahasa Indonesia setelah adaptasi enam bulan. Saya juga latihan di rumah sakit, bagaimana sistem di rumah sakit. Ada juga ujian namanya UKBI (ujian kemahiran bahasa Indonesia). Saya bahasa Indonesia sudah latihan dan adaptasi dan selesai. Kemudian masuk ujian kali pertama belum lulus. Itu ujian untuk dapat STR (surat tanda registrasi) karena memang buat warga negara asing (WNA) dan warga negara Indonesia (WNI) harus ada STR untuk syarat spesialis.
Pertama kali saya gagal. Karena gagal itu, saya termotivasi jika kali kedua harus lulus. Alhamdulillah, bisa. Terus sudah lebih mudah karena STR itu syarat itu yang paling sulit untuk bisa masuk pendidikan dokter spesialis. Ada persyaratannya semuanya lengkap cuma yang STR itu. Karena harus bahasa, adaptasi, STR, sudah masuk.
Setelah itu, semula saya ke Universitas Indonesia, kemudian ke Unibraw. Enggak selesai, cuma praktik selama dua tahun. Setelah itu, saya pindah ke Universitas Brawijaya untuk masuk ke program neurosains. Sudah masuk, alhamdulillah, dalam tiga semester sudah lulus.

Mengapa Anda memilih pendidikan neurosains?
Saya suka neurologi, apalagi ada banyak gap belum dipelajari atau di-eksplore di Palestina, juga ada banyak penyakit neurologi yang perlu dipelajari turut diperiksa atau diteliti. Bukan saya suka sekali neurologi. Di Palestina juga banyak yang menderita karena kurang spesialis neurologi di Gaza. Kami butuh ilmu saraf.
Saya dapat beasiswa dari Unibraw untuk melanjutkan S-3. Terus saya belajar mulai 2018, 2019, 2020 ada korona. Kampus harus tutup. Awal 2020 ada kasus (Covid-19) pertama di Brawijaya, terus ditutup semua. Setelah dibuka, proses pembelajaran sangat lambat sampai 2022 sudah normal. Alhamdulillah, akhir tahun 2022 November saya masuk ujian akhir, alhamdulillah, sudah selesai.
Di Palestina juga banyak beasiswa dengan tujuan selain Indonesia, kenapa pilih indonesia?
Mungkin dua alasan. Pertama, Indonesia itu negara Muslim. Kedua, hubungan antara Palestina dan Indonesia spesial karena Indonesia suka Palestina dan masyarakat Palestina suka Indonesia. Kalau saya datang ke sini, sudah tidak susah adaptasi di sini. Orang sini mendukung kita.
Selama 13 tahun di Indonesia, bagaimana Anda melalui proses adaptasi?
Awalnya susah. Makanan mungkin di sini beda sama di Gaza. Mungkin lebih bebas di sini. Kalau di Palestina, masyarakat Arab lebih ketat. Tapi, suasananya Islami. Kalau masuk ke jalan-jalan, tahu itu negara Islam, tapi lebih bebas pergaulannya. Itu beda kalau di sini strict.
Bagaimana anak-anak beradaptasi?
Adaptasi awalnya susah, tapi waktu ke sini bisa beradaptasi. Anak-anak saya main dengan anak-anak di sekitar rumah.
Mereka tahu Palestina sedang konflik?
Tahu. Saya cerita soal Palestina. Dari awal masalah sejarah, masalah pengusiran 1948. Peristiwa Naqba waktu perang di sana, di Gaza. Perang dengan Israel itu daerah mana saja di Palestina. Masalah agama juga. Tapi, karena mereka sudah membesar di sini, suka di sini. Tapi, saya perlu cerita ini supaya ada semangat bahwa dia harus tahu Palestina.
Setelah dari sini, apa yang akan Anda sumbangkan setelah pulang untuk Palestina?
Selesai S-3, saya dapat ilmu dari sini. Disertasi saya tentang penyakit otak. Saya banyak ilmu di sini, banyak dermawan dari sini kasih ilmu. Saya bawa pulang ke Palestina, saya kasih manfaat ke masyarakat Palestina. Di rumah sakit atau di fakultas kedokteran di kampus. Selain praktik, saya akan mengajar di Islamic University dan al-Azhar di Gaza City.
Saya bawa pulang ke Palestina, saya kasih manfaat ke masyarakat Palestina. Di rumah sakit atau di fakultas kedokteran di kampusAMIN AL-NAWAJHA
Kalau menurut Anda, apa solusi untuk mengakhiri konflik Palestina dengan Israel?
Sangat kompleks kalau masalah Palestina. Kalau mau benar-benar solusi, ya, Israel keluar, tapi itu tidak mungkin. Kalau kami, tidak bisa diam. Itu tanah kami. Al-Aqsha itu untuk semua Muslim di seluruh dunia. Kami tidak bisa diam. Jadi, harus terus diperjuangkan supaya tahu ada orang yang enggak bisa diam ini. Ini juga harus dari seluruh dunia mendukung membantu masyarakat Palestina.
Apakah lulusan dari luar negeri yang pulang ke Palestina dipantau Israel?
Enggak semua. Mungkin ada spesialis tertentu yang terkait ilmunya dengan membuat bom, seperti kimia, mungkin dianggap ilmu yang berbahaya.
Anda tidak dipantau?
Enggak, kalau saya normal. Saya kan medis, tidak berbahaya.
Bagaimana kondisi pendidikan di Palestina?
Dari awal kondisi pendidikan itu ada universitas. Cuma ada Islamic University zaman dulu. Ada fakultas satu, dua. Lumayan ada fakultas atau kampus yang lebih banyak dan lebih maju dari zaman dulu. Ada pemerintah yang bantu. Karena itu, yang mau belajar enggak mau keluar, bisa sekolah. Tapi, kalau kita bicara soal S-2, tapi yang di atasnya harus ke negeri lain.
Indonesia layak jadi tujuan pendidikan mahasiswa Palestina?
Menurut saya, kalau saya balik ke Palestina, saya sarankan ke Indonesia. Karena yang pertama, dosen bisa bantu. Saya suka sistem disini enggak strict. Sistemnya untuk bantu mahasiswa, bukan untuk menyulitkan mahasiswa. Juga ini ada dua bahasa, bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, jadi ada pilihan yang banyak.
Menurut Anda, program beasiswa untuk mahasiswa Palestina harus dilanjutkan?
Harus dilanjutkan karena masih banyak yang membutuhkan, terutama kedokteran ada ilmu cabang yang banyak di sini. Dari semua jurusan untuk membangun negara.
Anak-anak Anda ada yang lahir di Indonesia?
Ada yang lahir di Jakarta dan Malang.
Bagaimana memahamkan mereka akan pindah ke Palestina?
Ada dua anak. Muhammad, 13 tahun, lahir di Jakarta dan yang kedua lahir di Malang. Mereka belum pernah ke Palestina. Tapi, setiap hari saya bicara mengenai Palestina. Tentang berita di televisi, kalau ada perang, mereka tonton TV. Ada apa di Gaza. Itu membuat mereka mau pulang ke Gaza. Tapi, kalau dari mereka waktu lahir di sini. Mereka suka di sini, tapi sampai kapan?
Ada rencana untuk mengirim mereka ke sini?
Iya, insya Allah. Saya merasa negara yang kedua untuk saya di sini.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Akankah Saudi ‘Mengkhianati’ Palestina?
Kesepakatan normalisasi Saudi-Israel disebut kian dekat.
SELENGKAPNYATPQ Kembali Terancam Akibat Aturan Sekolah Lima Hari
TPQ terpaksa membuka kelas malam agar para siswa bisa tetap mengaji.
SELENGKAPNYAHukum Pancung di Batavia
Tiang gantungan dipasang secara permanen di halaman gedung Balai Kota.
SELENGKAPNYA