Opini
Bahasa Dalam Ruang Hukum
Kesulitan proses hukum akan terjadi dalam proses pemaknaan bahasa.
Oleh FAHMY LUKMAN, Departemen Linguistik FIB Unpad
Saling lapor akibat penggunaan bahasa di ruang publik terjadi di tengah eskalasi wacana politik yang semakin panas. Peribahasa "musang berbulu domba", kata "pengkhianatan", frase "tidak jujur", dan berbagai kata lainnya menimbulkan wacana negatif yang ditujukan pada seseorang atau sekelompok orang.
Begitu pula pidato dengan menggunakan nomina "bajingan" disertai dengan ajektiva "tolol, pintar, pengecut" memicu persoalan baru karena ditujukan kepada seorang pejabat tinggi negara atau pemerintahan.
Apakah hal ini masuk delik hukum penghinaan ataukah bukan, maka wajib dibuktikan di ruang pengadilan. Kesulitan proses hukum akan terjadi dalam proses pemaknaan bahasa.
Apakah hal ini masuk delik hukum penghinaan ataukah bukan, maka wajib dibuktikan di ruang pengadilan. Kesulitan proses hukum akan terjadi dalam proses pemaknaan bahasa.
Jika pemahaman kebahasaan para penegak hukum, polisi, jaksa, dan hakim minim, bisa berdampak fatal dalam pengambilan keputusan. Keputusan polisi melanjutkan proses pengaduan penghinaan, pelecehan melalui ucapan bernuansa hate speech, hoaxes sangat bergantung pada aparatur kepolisian memahami esensi masalah kebahasaan dalam pelaporan tersebut.
Kegagalan polisi memahami substansi kebahasaan maka berdampak pada setiap delik aduan berpotensi berproses menjadi berkas yang ditindaklanjuti tanpa memahami apakah hal itu layak ditindaklanjuti ataukah tidak. Penyebabnya adalah tidak terdapat saringan awal pemahaman bahasa terkait kelayakan pengaduan tersebut, yaitu esensi bahasa yang dipersoalkan disebabkan tidak terdapat pakar linguistik yang mendampinginya.
Proses pemberkasan itu pun akan berlanjut di ruang kejaksaan dan ruang peradilan. Celakanya, jika di ruang kejaksaan pun tidak terdapat saringan memadai dari para ahli linguistik tentang esensi kebahasaan yang dipersoalkan, maka dapat dipastikan perkara masuk ruang pengadilan. Proses pengadilan adalah proses penentuan nasib orang yang diperkarakan.
Dapat dibayangkan suasana ruang pengadilan, ketika para jaksa dan hakim pun memiliki pemahaman kebahasaan minimalis (perlu dibantu saksi pakar linguistik), maka proses pengadilan sangat bertele-tele. Persoalan-persoalan yang tidak esensial masuk dalam bahasan yang tidak diperlukan.
Perhatikan beberapa ruang pengadilan dengan delik aduan hate speech, hoaxes, penghinaan, pelecehan terkait undang-undang ITE. Contohnya kasus ungkapan "jin buang anak" yang seolah-olah bernuansa SARA.
Pada konteks ini, para linguis wajib terlibat dalam proses, mulai dari tingkat pemeriksaan kepolisian sampai ruang pengadilan. Tujuannya agar persoalan yang tidak esensial, tidak perlu ditindaklanjuti; buang-buang energi.
Manusia merupakan makhluk yang berargumen dalam bertutur dan tidak ada aspek lain dari perilaku khas manusia selain dari ujaran dan bercakap-cakap. Bahasa telah berkembang terutama sebagai vokal, meskipun terintegrasi erat dengan perilaku nonvokal: gestur, mimik wajah, body language.
Bahasa dan proses pemaknaan
“Manusia bukan hanya homo loquens; melainkan dia adalah homo grammaticus”.
Homo loquens artinya bahwa manusia merupakan makhluk yang berargumen dalam bertutur dan tidak ada aspek lain dari perilaku khas manusia selain dari ujaran dan bercakap-cakap. Bahasa telah berkembang terutama sebagai vokal, meskipun terintegrasi erat dengan perilaku nonvokal: gestur, mimik wajah, body language.
Dalam relativitas linguistik, kita melihat dunia dipengaruhi bahasa. Anda berbicara dan berpikir dalam bahasa Inggris, maka Anda memiliki persepsi berbeda tentang lingkungan dan dunia dengan orang berbicara bahasa Arab atau Sunda.
Dampaknya, terdapat dua orang atau lebih yang memiliki pandangan tentang dunia, cara berpikir, pemahaman berbeda. Sama halnya dengan bahasa, budaya tempat Anda dibesarkan memengaruhi cara Anda memandang lingkungan sekitar. Anda tidak hanya akan memiliki nilai atau moral yang berbeda, tetapi juga pola pikir dan logika yang berbeda.
Perhatikan ungkapan kalimat yang pernah viral dalam media sosial beberapa waktu lalu:
"Odading Mang Oleh...rasanya aaannnjing banget....!!!" mendapat respons luar biasa masyarakat Kota Bandung.
Implikasi tuturan itu menyebabkan penuturnya terkenal, menjadi duta kuliner, dagangan kue laris. Begitu pula, diksi "anjing", "anjiiing", "anjiiingggg", "anjiiir", "anjiiiirrrr", "anjay", "anjoy", "anjeeer" merupakan diksi dengan acuan hewan (anjing) yang sama, tetapi memiliki cita rasa bahasa berbeda.
Kata itu saat diujarkan yang dipadukan dengan keras atau lembutnya suara, intonasi, ritme, alunan bunyi, maka maknanya memiliki daya emosi psikologis yang rumit, tidak mungkin dituliskan. Jika seseorang dipanggil sebutan "Hai...anjoy, mau lari ke mana lu...?" apakah ungkapan ini masuk kategori penghinaan.
Jawabannya bergantung pada persoalan kompleks pemaknaan bahasa dan ruang realitas sosial-budayanya. Ada dimensi nonlinguistis, emotif berperan dominan dalam pemaknaan; bersifat ekstralinguistik.
Era tahun 2000-an, kita dikejutkan ungkapan pidato George W Bush pascaperistiwa 9/11. Pernyataannya, "Every nation and every region now has decion to make. Either you are with us, or you are with terrorists".
Implikasi ucapan ini merujuk pada kekuasaan AS dan setiap penentangan dikelompokkan teroris dan melawan Amerika. Daya bahasa Bush "menyihir" semua negara; tidak berkutik "mengunci mati" pendapat lain yang berbeda.
Rekomendasi
Bahasa harus ditempatkan dalam linieritas waktu dan budaya karena kompleksitas yang dimilikinya. Bahasan renik bahasa, mikrolinguistik, yaitu fonologi-fonetik, morfologi, sintaksis, dan semantik, sementara makrolinguistik terkait bagaimana bahasa diproduksi, digunakan ruang sosial-budaya, politik, ekonomi, ideologi.
Mikro dan makrolinguistik seperti tatanan planet-planet dalam galaksi. Masing-masing galaksi terhubung satu dengan lainnya dan kita menyebutnya alam makrokosmos. Berkelindan dan takterpisahkan.
Kompleksitas hubungan bahasa dan budaya menggambarkan komunikasi manusia melalui paralanguage digunakan untuk mengirimkan pesan. Paralanguage khusus untuk budaya merupakan komunikasi dengan kelompok etnis lain yang memungkinkan menyebabkan kesalahpahaman. Pitch, intonasi, tingkat bicara, ekspresi wajah, dan suara ragu-ragu adalah paralanguage.
Pada konteks inilah, kehadiran para pakar linguistik wajib dalam ruang kepolisian, kejaksaan, kehakiman dalam mengawal proses hukum.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.